Umat Katolik penyandang disabilitas khususnya yang berdomisili di Keuskupan Bogor patut bersyukur. Pasalnya, Gereja Keuskupan Bogor semakin memberi perhatian kepada penyandang disabilitas atau yang disebut juga umat berkebutuhan khusus (UBK). “Setiap tahun Keuskupan Bogor memperingati Hari Disabilitas Internasional dengan menggelar misa bersama UBK, pendamping dan keluarga UBK. Gereja juga terus mendorong agar UBK memperoleh hak yang sama dalam pelayanan sakramen. Selain itu, gereja juga memperhatikan aksesibilitas sarana dan prasarana yang memudahkan penyandang disabilitas. Hal ini patut disyukuri,” ungkap aktivis disabilitas, Ignatius Herjanjam kepada bmvkatedralbogor.com, Selasa (3/12).
Hari ini bertepatan dengan peringatan Hari Disabilitas Internasional, di mana para penyandang disabilitas dan para penggiat kemanusiaan memaklumatkan akan pentingnya menghargai hak-hak penyandang disablitas dalam berbagai sektor kehidupan. Keuskupan Bogor sendiri akan menyelenggarakan misa peringatan hari disabilitas pada Minggu, 8 Desember mendatang.
Terkait dengan kegiatan disabilitas selama ini, Herjanjam berharap terbentuk komunitas-komunitas disabilitas baik di paroki maupun dekanat. “Untuk mengakomodasi pelayanan terhadap disabilitas maka perlu dibentuk komunitas-komunitas di paroki-paroki. Di Paroki Maria Bunda Segala Bangsa (MBSB) Kota Wisata misalnya, beberapa tahun lalu sudah terbentuk komunitas disabilitas untuk melayani UBK sekitar. Ini bisa menjadi percontohan, karena tidak mungkin seluruh umat di Keuskupan Bogor dapat terlayani oleh komunitas KOMPAK yang selama 2 Minggu sekali melakukan kegiatan bina iman di sekolah Budi Mulia,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, bila di Paroki belum memungkinkan di bentuk, bisa di bentuk per dekanat. “Jadi bisa gabungan antara paroki yang terdekat membentuk komunitas disabilitas. Ini akan memudahkan penyandang disabilitas terutama dalam mengatasi kendala jarak dan waktu, karena mobilitas menjadi kendala utama mereka,” tutur pengurus Komsos Katedral Bogor ini.
Dia optimistis, bila komunitas disabilitas terbentuk di paroki atau di dekanat, pelayanan terhadap disabilitas akan lebih efektif. “Pelayanan akan lebih jauh efektif, dan mereka bisa menerima program-program dari paroki. Sebab, lingkungan dan wilayah di paroki lebih mengenali umatnya,” katanya. Herjanjam juga meyakini bahwa akan ada banyak pihak yang membantu jika komunitas disabilitas terbentuk. “Secara informal saya pernah utarakan hal ini kepada pengurus PSE, Mitra Perempuan, dan PCC. Mereka siap bekerja sama untuk membantu penyandang disabilitas khususnya yang berada di Paroki Katedral Bogor. Karena kebutuhan disabilitas bukan hanya soal pembinaan iman, tapi juga pemberdayaan ekonomi, pemberian vokasi, dan pemberian konseling,” katanya.
Pada 1998 Herjanjam mengalami gangguan penglihatan yang parah. Kesehatan matanya memburuk, akibatnya ia mengalami kebutaan, dan satu penglihatannya tinggal menyisakan ketajaman 25%. Dua tahun terakhir, kesehatan matanya terus tergerus karena penyakit gloukoma yang dideritanya. Rasa empatinya kepada sesama disabilitas pun menggunung, karena ia pernah mengalami penderitaan yang serupa. “Disabilitas adalah kenyataan yang pahit. Dunia bisa terasa menyempit. Pilihan dan gerak terbatas, masa depan tampak tidak jelas. Karena itu wajar bila banyak disabilitas menjadi begitu pasrah dan tergantung. Tetapi di tengah-tengah penderitaan yang mereka alami, saya mengapresiasi Gereja yang melalui Bapa Uskup Paskalis, Pastor Paroki, Romo Tukiyo, Dewan Paroki, para pembakti, dan umat yang senantiasa bersedia membantu kami,” pungkasnya.
(Luki/AJ)