[BOGOR] Meski berciri khas sekolah Katolik, pluralisme begitu kental terasa manakala menginjakkan kaki di SMA Mardi Yuana Bogor. Berdiri di bumi Jawa Barat, membuat murid-murid terbiasa dengan budaya Sunda, bahkan mampu mengangkat pamor budaya Sunda.
Saat rombongan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor Shahlan Rasyidi datang ke sekolah tersebut, Rabu (22/10) dalam rangka mencanangkan program Rebo Nyunda, para siswa nampak tak canggung melakukan interaksi mempergunakan bahasa Sunda. Bahkan, mereka kompak mengenakan ikat kepala (totopong) saat menyambut tim rombongan.
Rupanya pelajaran bahasa Sunda telah menjadi muatan lokal yang diajarkan kepada para siswa sejak 1999 silam. “Mereka sudah tak asing lagi dengan budaya Sunda meski berbeda ras, suku dan agama,” kata guru bahasa Sunda SMA Mardi Yuana, Taryat Abdurahman.
Dijelaskan Taryat, hingga kini banyak anak didiknya yang cukup fasih berbahasa Sunda meski mereka berasal dari suku yang berbeda. Tak cuma mahir nyunda, mereka pun kerap menggunakan baju kampret dan celana pangsi khas sunda. “Makanya sebelum program Rebo Nyunda ada, kami sudah lebih dahulu melakukannya,” ungkapnya.
Tumbuh suburnya budaya Sunda di tengah pluralisme yang ada di Sekolah Mardi Yuana, kata Taryat, lantaran pendiri yayasan begitu mencintai budaya lokal yang ada. “Sebelum tutup usia, pendiri Yayasan Mardi Yuana pernah mengamanatkan agar segenap pengurus dan pendidik harus melestarikan budaya Sunda kepada anak didik,” kenangnya.
Sekolah Mardi Yuana bernaung di bawah yayasan yang dikelola oleh rohaniwan Katolik. Salah satu penggagas sekolah tersebut, almarhum Mgr. NJC Geise OFM, Uskup Bogor pertama, seorang warga Belanda yang dikenal sebagai pencinta kebudayaan Sunda. Mgr. Geise di masa hidupnya sangat fasih berbahasa Sunda halus, selain hafal dengan aneka keseniannya. Dia juga memiliki kedekatan hubungan dengan suku Badui, hingga dijuluki “Juragan Niti Ganda”, sebuah gelar kehormatan yang diberikan orang Badui untuk pendatang.
Tak hanya pluralisme yang dilahirkan Mgr. Geise, akulturasi yang ada hingga saat ini di sekolah tersebut adalah juga buah tangannya. Perpaduan antara budaya lokal (Sunda) dengan ciri khas Katolik menjadi bentuk kepedulian gereja untuk menghargai budaya setempat. Wakil Kepala Sekolah SMA Mardi Yuana, Albert Sinuor mengungkapkan, dulu sekolah ini milik Yayasan Pendidikan Tionghoa. Seiring perjalanan waktu, sekolah tersebut dibeli oleh gereja berikut tanahnya. Waktu itu era Mgr. NJC Geise, Uskup Bogor pertama, yang memiliki inisiatif membeli tanah dan sekolah tersebut. Jual beli dilakukan dalam suasana damai dan kekeluargaan. Kini usia sekolah sudah 52 tahun.
Pada masa kolonial Belanda, kawasan Sukasari dan sekitarnya, seperti Jalan Siliwangi dan Jalan Suryakencana, dilimpahkan Belanda kepada warga Tionghoa. Tak heran hingga kini kawasan tersebut dijuluki Pecinan.
Selain pluralisme, semangat akulturasi juga dibuktikan sekolah tersebut dengan mempopulerkan budaya Sunda, bentuk dari rasa memiliki sekolah terhadap Jawa Barat. “Tiap hari Rabu, murid-murid diwajibkan berbahasa Sunda, bahkan banyak yang piawai memainkan alat musik Sunda, itu yang kita sebut Rebo Nyunda,” kata Albert.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor Edgar Suratman mengatakan, seluruh sekolah yang ada di Kota Bogor telah memasukkan budaya lokal dalam kurikulum kegiatan belajar mengajar. “Bahkan tingkat sekolah dasar sudah dimulai sejak 2 tahun lalu,” terangnya. Dengan masuknya budaya lokal dalam dunia pendidikan, pihaknya berharap dapat meningkatkan karakter berbudaya, religi serta mengembangkan wawasan nasional.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor Shahlan Rasyidi mengungkapkan, SMA Mardi Yuana menjadi sekolah pertama yang dikunjungi dalam pencanangan program Rebo Nyunda. Pihaknya pun akan mendatangani setiap sekolah untuk lebih mendekatkan siswa kepada budaya lokal. “Jangan sampai budaya kita hilang dan ditinggallkan oleh generasi muda,” tegasnya.
(Jam)