Anda di sini
Beranda > Nusantara > Romo Magnis Misionaris Pewaris Nilai-Nilai Keberagaman

Romo Magnis Misionaris Pewaris Nilai-Nilai Keberagaman

Loading

Di tengah keresahan masyarakat karena kebangkitan kelompok garis keras yang mengancam keutuhan bangsa, masih ada sejumlah tokoh yang memiliki komitmen untuk menjaga persatuan dan kebhinnekaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu tokoh itu adalah Romo Franz Magnis Suseno SJ.

Magnis dilahirkan di keluarga bangsawan Jerman. Pada saat itu terjadi perang antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Magnis kecil pun sempat tinggal di kamp pengungsian. Magnis muda tertarik untuk bergabung dengan Serikat Jesus (SJ). Itu artinya ia harus meninggalkan keluarga dan negaranya untuk menjadi misionaris. Magnis tiba di Jakarta pada Januari 1961.

Tinggal di komunitas Jesuit Kulonprogo, DIY, mengharuskan sulung dari enam bersaudara ini belajar bahasa Jawa dulu sebelum bahasa Indonesia. Dalam tiga belas bulan, Romo Magnis bisa menguasai bahasa Jawa. Romo Magnis memilih Indonesia sebagai tanah airnya dan bahkan menggunakan nama Jawa (Suseno) sebagai nama keluarga, sebagai bukti kecintaannya pada budaya Indonesia. Ia resmi menjadi WNI pada 1977.

Dalam proses asimilasinya, Romo Magnis memperoleh proses pembelajaran mendalam akan pentingnya komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar melalui dialog antar keyakinan. Ketika kini muncul ekstremisme atas nama agama, tantangan baru hadir dalam hubungan antarumat beragama. Untuk itu, semakin diperlukan adanya dialog dalam bahasa yang bijaksana.  Baginya, Indonesia adalah milik bersama, bukan milik mayoritas.

Persoalan intoleransi yang memicu perpecahan bangsa menjadi keprihatinan Profesor Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta ini. Karena itulah ia giat dalam dialog antar umat beragama. Pastor Jesuit yang memiliki kegemaran naik gunung ini dekat dengan kalangan pemikir Islam seperti almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).“Almarhum Gus Dur adalah salah satu manusia yang paling penting dalam hidup saya,” kata penulis buku Etika Jawa dan Etika Politik ini.

Pada tahun 2015, Romo Magnis mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputera dari Presiden RI. Baru-baru ini, biarawan kelahiran Eckersdorf, Silesia, Jerman bagian timur (kini wilayah Polandia), 26 Mei 1936 ini mendapat penghargaan “Bhinneka Tunggal Ika Award 2017” yang diselenggarakan LKBN Antara bersama Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) di Wisma Antara. Romo Magnis dipandang sebagai tokoh dengan kontribusi mendasar bagi dialog antarkeyakinan, baik dalam bidang sains dan akademik maupun diskusi publik. Ia juga dinilai telah berdedikasi tanpa lelah dalam advokasi terhadap toleransi antarkeyakinan di Indonesia.

Meski telah meraih berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri, Romo Magnis tak silau dengan harta. Ia menolak penghargaan Bakrie Award 2007. Hadiah uang sebesar Rp 250 juta tak diterimanya karena solidaritasnya kepada korban lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebagai seorang Pastor Jesuit, Magnis tak punya harta pribadi. Bahkan seumur hidupnya, ia belum pernah memiliki rekening bank.

Enam puluh enam tahun tinggal di Indonesia, Romo Magnis tak pernah terpikir melepas status warga negara Indonesia. “Saya bangga dan senang sebagai orang Indonesia,” kata Pastor Jesuit yang di usia senjanya 81 tahun masih aktif menulis dan menjadi pembicara ini. Ialah misionaris pewaris nilai-nilai keberagaman. 

(Ivonne Suryanto, berbagai sumber)

Leave a Reply

Top