Liburan adalah saat yang selalu dinanti oleh siapa saja. Bersama-sama dengan keluarga, teman-teman, atau pergi sendirian adalah bentuk menghabiskan masa liburan. Ada juga orang-orang migran ke kota ingin merasakan suasana kampung yang telah membesarkannya. Kerindunan akan kampung yang telah membesarkannya dengan aneka budaya telah menjadi pemicu keinginan mengulagi masa-masa lalu. Rutinitas dan kebisingan kota telah membuat manusia pingin sejenak meninggalkan suasana itu dengan kehidupan yang lebih tenang dan jauh dari hiruk pikuk.
Liburan ini juga dimanfaatkan teman-temanku masa kecil pulang kampung dan pingin menghabiskan masa liburan dengan mengulang keindahan masa kecil di kampung. Demikian juga kiranya Menik dan Yanti pun pulang kampung. Waktu yang sangat singkat pasti dimanfaatkan secara maksimal untuk pergi bersama keliling kampung.
Pagi itu Yanti dan Menik telah datang ke rumah dan seperti biasa langsung ikut nimbrung Simbok masak di dapur. Kedua teman masa kecil itu seperti tidak berubah sekalipun guratan kota telah membalutnya. Mereka kembali seperti anak kampung jaman itu. Mereka memakai pakaian ala kampung dan tidak dandan seperti wanita pada umumnya. Bersama Simbok mereka telah mempersiapkan masakan untuk kami. Sementara saya sibuk dengan kambing yang terus mengembik minta perhatian. Bisa jadi embikan kambing itu minta perhatian Menik dan Yanti.
Selang beberapa waktu, semua makanan tersedia. Bau aroma masakan yang lain dari pada biasanya telah menusuk hidup sekalipun dekat kandang kambing. Baunya sedah sekali sehingga membuat perut ini segera ingin makan. Namun sayangnya, Simbok belum memanggil untuk makan. Mereka masih sambil ketawa-ketiwi di dapur dan juga hilir mudik ke ruang makan. Kesibukan mereka nampaknya masih berlangsung sehingga makan pun belum siap. Selesai memberi pakan kambing, Simbok memaggil untuk makan bersama. Hari ini waktu yang luar biasa, biasanya kami pagi hanya sarapan singkong rebus dan air teh kini kami makan pagi ala pesta berkat Menik dan Yanti.
“Jo, Paijo. Aya sarapan dulu,” seru Simbok memanggil dari ruang makan.
“Iya Mbok, Simbok,” seru Paijo segera meninggalkan kandang kambing dan mencuci tangan dulu.
“Wah, makanan yang sangat enak,” seru Paijo seraya mau mengambil tempe yang nampaknya enak sekali.
“Hussssss. Doa dulu,” seru Simbok sambil memukul tangan Paijo seraya bercanda seperti anak kecil.
“Haaaaaa, syukurin,” seru Menik dan Yanti serentak seraya tertawa.
“Heeeee,” senyum Paijo dengan malu-malu.
“Jo, Paijo. Sebagai hukuman, kamu berdoa sebelum makan,” suruh Simbok.
Sejenak kami semua berdiam dan mengawali semua dengan berdoa. Sekaligus bersyukur atas kebersamaan hari ini dan makan pagi yang luar biasa. Pagi ini menu makan di luar kebiasaan, ada telor dadar, ayam goreng, sambal, dan lalapan. Minumannya pun tidak lagi teh, melainkan susu yang dibawa Menik dan Yanti. Lebih special lagi, hari ini kita sarapan berempat, seperti mengulang masa kecil saat itu. Selesai doa kami pun siap menyantap makanan enak di pagi hari.
“Ayo, nak Yanti, Menik makan yang banyak, mumpung di kampung,” seru Simbok seraya memberikan centong nasi.
“Iya mbok, terima kasih,” seru Yanti dan Menik serentak
Suasana menyenangkan kami rasakan bersama di rumah itu seraya makan bersama. Seperti biasa perbincangan kami sangat hangat dan tidak ada rasa canggung sebab kami seperti keluarga yang sudah terbangun sejak kecil hingga dewasa. Makan menjadi sarana berkumpul dan mengigatkan pada sebuah perjamuan Yesus dengan para murid-Nya. Matius memberikan gambaran “15:32 Lalu Yesus memanggil murid-murid-Nya dan berkata: “Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu. Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di jalan.”15:33 Kata murid-murid-Nya kepada-Nya: “Bagaimana di tempat sunyi ini kita mendapat roti untuk mengenyangkan orang banyak yang begitu besar jumlahnya?”15:34 Kata Yesus kepada mereka: “Berapa roti ada padamu?” “Tujuh,” jawab mereka, “dan ada lagi beberapa ikan kecil.”15:35 Lalu Yesus menyuruh orang banyak itu duduk di tanah. 15:36 Sesudah itu Ia mengambil ketujuh roti dan ikan-ikan itu, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya memberikannya pula kepada orang banyak.15:37 Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, tujuh bakul penuh”.
“Jo, Paijo. Nambah, gak usah malu,” seru Menik seraya mengambilkan nasi ke piring.
“Ini ayamnya sekalian, biar lengkap,” tambah Yanti juga ambilin ayam ke piring.
“Hmmmmmm,” Simbok seperti terbatuk-batuk melihat tingkah kami.
“Heeeeeee, ah Simbok sok so sweet,” seru Paijo dengan semangat makan banyak.
“Menik, Yanti, dan Simbok. Inilah peristiwa yang luar biasa bagi kita hari ini. Biasa makan singkong dan minum teh, namun hari ini ada makanan melimpah. Tangan Tuhan tidak berhenti berkarya untuk setiap manusia. Melalui tangan Menik dan Yanti hari ini kita makan enak ya, Mbok, Simbok.” Seru Paijo.
“Jo, Paijo. Memang anugerah Tuhan itu berlangsung melalui manusia. Hari ini kita patut bersyukur, bahwa dalam kekurangan Tuhan masih menyapa kita. Persis dalam Injil Matius, ketika banyak orang mengharapkan belas kasihan karena kekurangan makan, Tuhan menggandakan roti. Sehingga semua orang bisa makan sampai kenyang. Memberikan dari kekurangan akan menjadi melimpah ketika kita rela dan senang. Demikian kiranya Tuhan menggandakan itu demi semua orang. Demi kehidupan Yesus menggandakan roti itu,” seru Simbok.
“Ah Simbok. Biasa saja, mumpung ada berkah kita bisa makan bersama,” Seru Menik seraya tersenyum.
“Iya, Mbok, Simbok. Persaudaraan itu tidak diukur dengan makanan, tetapi harus didasarkan rasa saling mengasihi dengan berbagai bentuk, salah satunya makan bersama yang tidak seberapa ini,” timpal Yanti.
“Justru itu, seperti Yesus mempunyai rasa belas kasih. Nampaknya itu telah terpancar dalam diri kalian sehingga kami dapat makan dengan enak,” seru Paijo sambil mengunyah makanan itu.
“Jo, Paijo. Kebersamaan ini lebih berharga dari pada sekedar makanan. Maka Yesus juga pernah menegaskan carilah makanan yang menghidupkan, yakni roti surgawi. Ini menandakan bahwa kebersamaan adalah ikatan orang yang telah disatukan dalam makanan roti surgawi,” seru Menik
“Wuihhhhh, hebat juga ya kamu,” sela Paijo.
“Iya donkkkkk,” seru Menik sambil ketawa
“Makanan biasa ini adalah wujud kebersamaan kemanusiaan, namun yang lebih dalam adalah rasa belas kasih terhadap sesama. Itu telah ditampilkan Yesus. Bersatunya kita dengan Yesus ditandai dengan makan bersama dalam perjamuan ekaristi. Rasa kebersamaan kita ditandai dengan makan bersama juga,” Seru Yanti
“Iya, ya, saya setuju,” seru Simbok
“Yesus pun juga selalu menyadarkan para muridnya dengan makan. Seperti Peristiwa emaus, seperti menemui para murid, selalu makan menjadi sarana. Jadi kalian sering-sering datang ya, biar makan enak terus,” timpal Paijo
“Uhhhhhh, Paijo. Itu maumu. Istilah sekarang itu modus,” heeeee seru Simbok
“Wahhhhhh, Simbok gaul juga nih,” seru Yanti dan Menik serya tertawa.
Suasana itu semakin gembira ketika kami saling bercanda seraya makan. Kebersamaan itu begitu indah, sebuah harta yang tidak dalat dinilai.Persaudaraan itu tetap terjaga tidak pernah lekang oleh jaman. Makan menjadi salah satu sarana melepaskan sekat-sekat kehidupan dan semakin mempererat persaudarran kirannya Yesus pun selalu menggunakan sara makan itu berkumpul dengan para rasul dan juga sebagai sarana mempererat persaudaraaan.
“Dutttttttt,” terdengar suara dari perut Paijo
“Aduhhhhh, maafffff, gak biasa makan enak, jadi sakit perut,” seru Paijo sambil lari duluan ke belakang.
“Jo, Paijo, dasar wong deso, gak GO PUBLIC,” seru Yanti dan Menik sambil ketawa disambung Simbok yang ikut ketawa karena Paijo sakit perut.
(RD Jatmiko)