Anda di sini
Beranda > Artikel > Natal, Masihkah Bermakna?

Natal, Masihkah Bermakna?

Loading

Malam terasa berbeda, tidak seperti biasanya. Malam ini dingin, rintik hujan mulai turun, suara gemericiknya menjadi warna tersendiri. Dalam keheningan tiba-tiba terdengar suara langkah kaki, sepertinya beberapa orang. Iramanya teratur, langkahnya kompak, dan terasa sakral. Memecah keheningan, terdengar sayup-sayup orang menyanyikan “Malam kudus, sunyi senyap, dunia terlelap, hanya dua berjaga terus, ayah bunda mesra dan kudus, anak tidur tenang”. Terdengar suci, sakral, dan kudus. Seketika aku tersadar sedang berada di dalam sebuah gereja tua bersama orang-orang yang akan menyambut kelahiran-Nya.

Ya, hari ini, tepat 24 Desember orang-orang Nasrani bersiap menyambut kelahiran Sang Juru Selamat Yesus Kristus. Sebagian orang menyebutnya malam Natal, sebagian lainnya Vigili Natal, artinya kurang lebih sama. Natal menjadi momen yang ditunggu-tunggu banyak orang. Mungkin karena maknanya yang mendalam, mungkin juga karena liburnya yang panjang. Maklum, liburan akhir tahun memang menjadi senjata ampuh untuk melepas kepenatan selama satu tahun melakukan rutinitas. Bagaimana denganmu? Entah apa alasannya, yang pasti Dia tetap lahir untuk menebus dosa umat manusia, seluruhnya. Ya, itu yang kami orang Nasrani imani.

“Setiap tahun merayakan Natal, masihkan bermakna?” Pertanyaan refleksi yang entah darimana tiba-tiba hadir di dalam benakku malam ini. Banyak orang menjalani Natal hanya sekadar rutinitas tahunan. Mereka pergi ke gereja, menjalani ibadahnya masing-masing, lalu pulang ke rumah atau jalan-jalan menikmati hari libur. Entah kemana perginya kehangatan Natal, cahaya Natal yang lahir di palungan 2.000 tahun silam.

Bagiku? Ya sering kali tahun demi tahun berlalu saja tanpa ada makna khusus. Malam itu, seusai ibadah, aku terdiam, duduk di sebuah kursi kosong. Aku berpikir, merenung, melihat sekitar, mencoba memaknai hari itu. Tanpa tersadar, air mata menetes, mungkin karena beban yang berat selama ini perlahan dipikul bersama oleh Dia yang lahir malam itu. Hati yang beberapa waktu ini terasa kosong, mulai terisi. Mungkin kerinduan yang selama ini tidak tahu kepada siapa, kudapatkan jawabannya.

Aku melihat orang-orang sekitar yang masih belum pulang padahal ibadah sudah usai 30 menit yang lalu. Mereka yang memilih tinggal sejenak, menemukan Natalnya dalam diri sesama. Entah kenapa malam yang tadinya dingin berubah jadi hangat. Interaksi, canda, dan tawa menutup Natal tahun ini dengan sempurna.

Bagiku Natal tahun ini punya ceritanya sendiri. Aku menemukannya dalam hening dan diam, yang lain menemukannya dalam interaksi sosial, ada juga yang menemukannya dalam doa dan keluarga. Yup, ternyata Natal itu sederhana, hanya soal kehangatan, walaupun maknanya dalam, tapi ada di hati kita masing-masing.

Malam itu aku memilih pulang berjalan kaki, mencoba bertemu lebih banyak orang, berbagi kehangatan Natal dengan mereka.

Selamat Natal kawan!

(AJ)

Artikel ini telah tayang di kompasiana.com dengan judul yang sama.

Leave a Reply

Top