I Korintus 13:13
“Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan, dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih”.
Pagi itu, terlihat Mbah Mitro membawa cangkul ke sawah. Tampaknya peristiwa itu biasa saja jika menempatkan Mbah Mitro itu sebagai petani. Itulah kegiatan sehari-hari di desa kami, yakni setiap pagi pergi ke sawah melakukan aktivitasnya di sawah. Keanehan Mbah Mitro itu terlihat bahwa musim panas, air sudah mengering dan sawah-sawah mulai tidak menampakkan tetumbuhan, tetapi Mbah Mitro itu tetap pergi ke sawah seraya membawa cangkul. Mbak Mitro mencangkul sawah yang tidak lagi bisa ditanami pada saat musim kemarau.
Mbah Mitro menghabiskaan waktunya di sawah dengan mencangkul tanah kering itu. Sekali-kali Mbah Mitro menyeka keringat yang membasahi tubuhnya dengan tangan yang kotor oleh debu. Tetesan keringat yang jatuh itu seperti sebuah pengharapan yang tiada habisnya bahwa dalam kekeringan masih ada air yang tercurah ke tanah itu. Air itu tidak seberapa, tetapi keyakinan Mbah Mitro memberikan pengharapan bahwa di dalam kekeringan masih ada air yang membasahi, sekalipun dengan tetesan keringat Mbah Mitro sendiri.
Siang setelah tengah hari, Paijo pergi ke sawah membawa kambing-kambing untuk mencari makan, sekalipun rerumputan hampir mengering semuanya. Kambing mulai mengais-ais rerumputan yang mulai berwarna coklat karena kering. Sawah itu sudah tidak menampilkan tananam hijau, kecuali sedikit rumput siap mengering di pematang sawah itu. Ketika Paijo sampai di sawah, ia melihat Mbah Mitro sedang menyulut rokoknya seraya istirahat di pematang yang ada gubuk kecil untuk mengurangi sengatan matahari. Badan hitam tersengat matahari telah mewarnai sekujur tubuhnya, tetapi itu tidak membuat Mbah Mitro takut akan udara panas. Waktu sejenak istirahat itu digunakan untuk mengisap rokok dan membuka bungkusan kecil yang dibawa dari rumah.
“Selamat siang mbah,” sapa Paijo terhadap Mbah Mitro.
“Ohhhhh, Paijo. Ayo ke sini, duduk sambil istirahat sebentar,” seru Mbah Mitro.
“Nak Paijo, ayo makan,” kata Mbah Mitro sambil makan nasi tanpa lauk, hanya sayur singkong dan sambel.
“Trima kasih, mbah, saya barusan makan di rumah,” sahut Paijo dengan senyum.
Mbak Mitro pun menghabiskan makanan dalam bungkusan kecil itu sambil tersenyum. Beliau menampilkan wajah yang penuh syukur sekalipun tanah yang digarapnya sudah mengalami kekeringan. Wajah Mbah Mitro tidak menampilkan kesedihan, kecemasan, ataupuan GALAU untuk istilah KIDS JAMAN NOW. Selang beberapa waktu, Mbah Mitro selesai makan dan kembali menyalakan rokok untuk kedua kalinya, beliau juga tidak lupa membuat tanda salib sekalipun di tengah sawah.
“Mbah Mitro, kenapa Mbah Mitro tetap menggarap sawah ini sekalipun tidak ada air yang mengaliri sawah ini,” tanya Paijo.
“Jo, Nak Paijo. Setiap makkluk hidup itu perlu beristirahat sesuai alamnya masing-masing. Tanah ini juga biar beristirahat, janganlah manusia memaksa untuk berproduksi terus-menerus. Jadi saya ini hanya mempersiapkan tanah ini sesuai alamnya dengan cara mencangkul,” jawab Mbah Mitro dengan hati senang.
“Ohhhh, gitu ya Mbah,” seru Paijo kagum dengan penjelasan Mbah Mitro.
“Jo, Nak Paijo. Mengolah tanah kering ini ibarat mengolah pilar hidup kita sebagai orang Kristiani, yakni iman, harapan, dan kasih,” seru Mbah Paijo.
“Lho, maksudnya bagaimana Mbah?” tanya Paijo.
“Jo, nak Paijo. Soal iman, itu soal interaksi manusia dengan Allah dan ciptaan. Bumi dan seisinya itu juga ciptaan Allah, maka kita juga perlu membangun relasi dengan baik. Alam itu punya cara memberikan kehidupan kepada manusia ketika manusia bersahabat dengan alam. Sebaliknya alam akan mengancam manusia ketika merusak alam itu sendiri. Dengan sendirinya, merusak alam merusak karya Allah. Berarti merusak relasi itu, berarti merusak iman itu sendiri,” jelas Mbah Mitro.
“Oh gitu ya Mbah. Kalau soal harapan?” tanya Paijo.
“Jo, nak Paijo. Tanah ini seperti sebuah padang kering tidak mengasilkan apa-apa. Musim panas ini memberikan dampak kekeriangan luar biasa bagi tanah ini. Namun, manusia tidak harus putus harapan. Kita harus percaya ada masanya bahwa tanah itu akan menghasilkan kala musim hujan tiba. Rotasi alam inilah yang mesti kita harapan, menunggu turunnya hujan itu adalah bagian dari harapan manusia kepada Allah sang pemberi rahmat,” seru mbah Mitro.
“Waaaaaahhhhh, hebat juga Mbah Mitro ini,” seru Paijo.
“Terus terakhir, kaitan dengan kasih?” tanya Paijo lagi
“Jo, nak Paijo. Hidup tanpa kasih seperti sebuah peperangan. Situasi tidak damai dan semua bermusuhan satu dengan yang lain. Tanah ini adalah hidup kita juga. Ketika kita tidak mengasihi tanah yang menghasilkan aneka ragam makanan buat manusia bagaimana kita akan hidup. Bisa nak Paijo bayangkan ketika tanah tidak lagi mau menghasilkan tetumbuhan, semua akan mati kelaparan. Oleh karena ini, gerakan mengasihi bumi dan isinya adalah gerakan mengasihi kehidupan itu. Itulah ajaran Kristiani. Kalau pastor-pastor Belanda ketiga itu disebut keutamaan Kristiani: FIDES, SPES, et CARITAS”. Ingat nak Pak Paijo, UBI CARITAS DEUS IBI EST, di mana ada kasih di situ ada Tuhan,” jelas Mbah Mitro dengan senang hati.
“Wahhhhhh, tidak menyangka, ternyata pengetahuan iman Katolik Mbah Mitro luar biasa, bahkan masih hafal apa yang diajarkan para pastor Belanda itu. Semoga ajaran gereja itu, bisa kita laksanakan dengan baik,” seru Paijo.
“Emmmmmbekkkkkkk, Embekkkkk,” terdengar suara kambing Paijo ngajak Pulang. Ternyata hari telah sore saatnya membawa kambing pulang ke kandang.
“Embekkkkk, embek,” suara Paijo menirukan suara kambing seraya minta pamit Mbah Mitro yang masih di sawah seorang diri.
“Jo, Paijo, Pengetahuanmu masih dangkal Jo, Paijo” seru Paijo dalam hati menyadari betapa pengetahuan kekatolikannya sangat terbatas.
(RD Nikasius Jatmiko)