[KATEDRAL] Seksi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Paroki BMV Katedral, bekerja sama dengan Komisi Kerasulan Kitab Suci (K3S) Keuskupan Bogor, berhasil melaksanakan pelatihan fasilitator pada Sabtu (28/1). Latihan peran pelayanan yang dalam praktiknya kerap dihindari dan ditolak umat itu diadakan di Aula Paroki.
Menjelang APP ini, PSE mencoba membenahi akar keraguan umat dalam menjadi fasilitator di lingkungan, yakni kurangnya kepercayaan diri berbicara di depan umum. Tetapi, menurut pemateri Fred Mandolang, hal teknis ini relatif bukan faktor utama. “Yang penting mau. Yesus mencari murid itu yang mau, bukan yang mampu. Mampu itu bisa dilatih, tapi mau itu dari dalam!” tegasnya.
Menurut orang yang terkenal dengan track record melalang buana menjadi pembicara itu, melatih diri secara konsisten adalah hal yang tidak boleh terlewat saat menjadi fasilitator. Dalam konteks menggereja, menjadi fasilitator tidak hanya mengenai memudahkan pemahaman umat tentang ajaran gereja, tetapi juga menggerakkan mereka agar mau kembali kepada Allah. Ditambah situasi umat yang heterogen, hal ini bisa menjadi cukup tricky jika hanya dipandang remeh.
Berbicara mengenai kemauan dan semangat sendiri, Fred dan RD Paulus Haruna yang turut hadir dalam acara juga kompak mengangkat Wilayah Cigudeg sebagai contoh. Bercermin dari banyaknya kegiatan gereja, wilayah terjauh di Paroki Katedral itu dipandang memiliki antusiasme dan sifat proaktif yang adanya cukup menyegarkan. Semangat yang meski dihadapi oleh tantangan jarak ini, menurut keduanya, patut untuk diteladani seluruh peserta.
Menjadi Fasilitator yang Terampil
Selain menguatkan komitmen 117 peserta yang hadir, Fred beserta pemateri lainnya dari tim P3S Beatrix Arisekundiatmi (Ari) juga memperkaya peserta dengan edukasi menjadi fasilitator yang terampil.
Fred menjabarkan tips tentang berbicara secara baik dan menarik di depan umum. Mulai dari dukungan penampilan, prinsip 3S (senyum, salam, sapa), menjaga kontak mata, bahasa tubuh, hingga memperhatikan aspek-aspek suara (volume cukup, artikulasi jelas, tempo, dsb). “Jangan lupa juga untuk disiplin waktu. Usahakan agar tidak terlalu ngaret, karena umat biasanya tidak terlalu menyukai sesi diskusi yang lama dan bertele-tele,” sarannya.
Ari di sisi lain menyoroti bagaimana fasilitator juga adalah seorang animator. Artinya, mereka perlu untuk memercik kegembiraan dan ketertarikan pada umat. Dengan berbekal materi yang telah disusun oleh para ahli, fasilitator harapannya bisa melanjutkan materi yang bersifat baik tersebut dengan semangat dan penyampaian yang sama.
Tanggung jawab ini bagi beberapa orang mungkin terdengar berat. Namun, menurut wanita yang telah berkecimpung lama di dunia pendidikan ini, hal teknis-teknis tersebut bisa dipelajari dan tidak sulit. “Intinya mau berlatih. Cobalah mulai dari belajar mendengarkan, memimpin jalannya proses diskusi, dan memikirkan bagaimana membuat lingkungan yang nyaman untuk umat,” ujarnya.
Di akhir acara, peserta juga berlatih praktik bersama dalam kelompok-kelompok kecil. Tidak hanya melakukan simulasi menjadi fasilitator, peserta juga mendapat masukan serta waktu untuk saling berbagi cerita bersama kelompok.
Terobosan yang baik ini sayangnya belum diikuti oleh semua, masih terdapat beberapa lingkungan yang belum mengirimkan perwakilannya. Semoga karya pendalaman iman dapat semakin baik lagi ke depannya dan umat semakin antusias mengikutinya.
Penulis: Celine Anastasya | Editor: Agnes Marilyn