Seusai Homili, pada tata liturgi secara umum, kita biasanya mengucapkan Syahadat Para Rasul; “Aku percaya akan Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, ….” dan seterusnya. Dua kata di awal syahadat itu, yakni “Aku percaya”, diucapkan oleh Imam atau Pastor.Suara Umat biasanya, sekali lagi biasanya, baru terdengar di sambungan kalimat setelahnya. Lha, yang percaya, apa hanya Imam?
Pembaca yang memiliki harga diri tinggi mungkin langsung terusik dan tak terima dikatakan demikian. Pembaca dengan selera humor yang cukup baik, barangkali tersenyum-senyum mendengar penuturan tersebut. Tetapi, tulisan ini bukan tentang kelucuan dan sejenisnya, walau boleh saja menjadi hal yang dapat ditertawakan sebagai renungan bersama. Pandangan tadi juga bukan menggeneralisir Umat secara umum. Ini hanya berasal dari pengamatan, temuan lapangan, yang kemudian mengusik hati untuk menyampaikannya.
Syahadat atau credo Para Rasul adalah pengakuan iman yang resmi dari Gereja Katolik Roma yang berakar dari tradisi Gereja, yang terbagi atas tiga bagian utama, yaitu pengakuan iman terhadap Allah Bapa dan penciptaan kita; pengakuan iman terhadap Allah Putera dan penebusan kita; dan pengakuan iman terhadap Allah Roh Kudus dan pengudusan kita1. Siapa yang berkata “Aku percaya (Credo)” menegaskan bahwa “Saya setuju dengan apa, yang kita percaya”, demikian dituliskan oleh Mgr. John Liku-Ada, Uskup Agung Makassar dalam suratnya “Sekitar Syahadat Apostolik dan Syahadat Nisea-Konstantinopel”2. Pengakuan iman “Aku percaya”, merupakan pengakuan imanku, iman saya, iman Anda, iman siapa saja yang menyebutnya.
Ketika Umat tak sempat mengucapkan dua kata penting pertama, kita dapat mengasumsikan beberapa hal. Asumsi bukanlah fakta, baru dugaan, maka belum tentu benar. Pertama, Umat menganggap bahwa memang demikianlah tata caranya: Imam mengucapkan dua kata pertama, Umat melanjutkan.Kedua, penutup homili berakhir tiba-tiba, seperti grafik menukik, dengan suara Imam yang menjadi pelan atau samar, atau tertelan kebisingan, sehingga Umat tak menyadari bahwa homili telah usai, sehingga tak siap untuk segera berdiri dan mengucapkan bagian awal “Aku Percaya”. Ketiga, barangkali Umat terlena, semoga tidak sampai terlelap, dan lagi-lagi tak siap untuk berdiri karena masih nyaman bersandar di tempat duduknya. Meskipun, tanpa mengurangi rasa hormat, ada sebagian Umat yang karena keterbatasan fisiknya, sakit, dsb, memerlukan waktu untuk bangun dan berdiri. Keempat, mungkin Imam kurang peka untuk memastikan bahwa Umat telah berdiri dan siap mengucapkan Syahadat. Umat baru saja bersiap berdiri ketika Syahadat diucapkan Imam. Kelima, barangkalimemang Imam tak perlu menunggu Umat; sudah semestinya Umat tanggap dan segera bangkit berdiri begitu homili ditutup. Keenam, jarak waktu antara penutup homili dan ajakan Syahadat sangat singkat; Umat baru saja meresapkan pesan dalam homili, masih ada sisa-sisa gagasan dalam pikiran, kemudian terlambat menyadari bahwa rangkaian Misa sudah berganti babak menuju pengucapan Syahadat.
Mengenai asumsi yang terakhir, seseorang yang sedang menyerap informasi, mungkin menciptakan gambaran dalam benaknya, membuat asosiasi, pembandingan, atau kesimpulan. Bolehlah kita mengutip hasil penelitian dalam bidang pendidikan, bahwa diperlukan waktu jeda (pause) sekitar 3 sampai 5 detik agar konten informasi dapat diserap dengan baik, demikian menurut Patricia A. Jennings (2015), dalam bukunya “Mindfulness for Teachers: Simple Skills for Peace and Productivity in the Classroom,”3. Dapat dikatakan, pendengar memerlukan waktu diam (silence) selama 3-5 detik untuk memproses informasi. Dapat disimpulkan pula, pada jangka waktu 3-5 detik ini, seseorang belum siap untuk kita ajak beralih ke aktivitas berikutnya, kecuali kita memang tidak ingin ia menyerap informasi dengan baik.
Kembali pada konteks peralihan antara Homili dan Syahadat, informasi di atas barangkali dapat menjadi masukan kepada Imam yang memimpin Misa. Bahwa dengan memberikan jarak waktu 3-5 detik antara penutup Homili dan ajakan Syahadat, Umat mendapat kesempatan untuk menyerap pesan Homili dan menyiapkan diri untuk mengucapkan Syahadat. Ketika Umat sudah siap, semoga suara Umat juga terdengar ketika bersama-sama Imam mengucapkan Credo (“Aku Percaya”).
(Mia Marissa)