Diceritakan ada 2 orang saling bersahabat, yang satu adalah pebisnis dan yang lain adalah pelukis. Suatu hari pebisnis datang ke rumah pelukis, namun karena ia sedang melukis maka pebisnis menunggu di luar rumah tersebut. Saat bersamaan pebisnis melihat tetangga sebelah menjemur pakaian koq masih terlihat kotor. Hal ini terjadi hingga tiga kali menurut pebisnis, yang akhirnya tidak tahan menyimpan dalam hatinya, dia menceritakan dan menanyakan kepada pelukis, mengapa hal tersebut dilakukan oleh tetangga pelukis.
Cerita tersebut diperoleh dari sharing pemandu retret Kursus Pendidikan Kitab Suci, Santo Yohanes Penginjil, Keuskupan Bogor tanggal 01-03 Juli 2016, di Marsudirini, Kahuripan-Parung, Bogor, bahwa akhirnya pebisnis berkesudahan akan penasarannya, mendapat jawaban dari pelukis, mengapa peristiwa di atas terjadi. Pelukis mengajak pebisnis untuk membersihkan kaca yang menghalangi pebisnis untuk melihat orang menjemur pakaian yang tetap kotor walau setelah dicuci. Setelah kaca dibersihkan maka tampak bahwa sebenarnya pakaian yang dijemur adalah bersih dan tiada noda apapun. Dan pelukis mengatakan kepada pebisnis, sebenarnya persepsi awal kita yang mengatakan bahwa pakaian masih kotor walau sudah dicuci.
Ada faktor lingkungan yang membangkitkan persepsi negatif, dan pebisnis belum menyadari hal tersebut.
Memang sulit bagi kita menerima semua yang di sekitar selalu baik adanya, kadang-kadang kita me-meterai-kan negatif terlebih dahulu bila ada orang yang terasa aneh, sebelum kita mengenali lebih dengar istilah “don’t judge a book by its cover”, yang dapat diterjemahkan bebas, janganlah kita menyimpulkan hanya dari tampilan luarnya saja. Dalam kehidupan kita berlaku faktor penting saat berinteraksi dengan orang lain, yakni persepsi, yang dapat didefinisikan suatu tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi yang ditangkap oleh syaraf sensoris melalui alat panca indera, yang
memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. Persepsi tiap seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi seseorang sejak balita hingga dewasa, dan persepsi ini tergantung pada orang-orang di sekitarnya. Persepsi berhubungan dengan pusat emosi dalam otak manusia adalah suatu organ yang disebut amigdala, berbentuk seperti almond jaringan saraf yang terletak di temporal (sisi) lobus otak. Organ ini dianggap sebagai bagian dari sistem limbik dalam otak, yang bertanggung jawab untuk emosi, naluri bertahan hidup, dan memori, yang selalu mengkoordinasi kemauan kita untuk bersukacita, gembira, marah, frustasi, rasa berbelas kasih dan sebagainya. Apabila organ yang super ini mengalamai hal-hal yang rutin cenderung menyebabkan seseorang sering negative pada suatu objek, maka emosi dan perasaan juga cenderung selalu demikian.
Bisa kita bayangkan telah terjadi pada lebih 2000 tahun yang lalu, ketika para Farisi yang merasa heran mengapa Yesus duduk bersama di rumah Mateus, pemungut cukai, bukankah orang ini sangat dibenci dan merugikan orang Yahudi. Atau juga orang Farisi yang selalu berdoa berlama-lama di pinggir jalan sehingga dipersepsikan oleh orang Yahudi yang melihatnya, sebagai orang yang mahasuci dan selalu benar perilakunya. Atau juga dalam Perjanjian Lama berlaku mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, sehingga persepsi berbeda saat ketika Yesus menggenapi Hukum Taurat tersebut. Maka senantiasa persepsi dapat dibangun menjadi lebih bijaksana manakala seseorang menghadapi suatu persoalan
Manusia merupakan ciptaan Allah yang sempurna, bahwa Allah menciptakan manusia menjadi sesuatu hal yang lebih baik adanya dibanding makhluk lain pada periode penciptaan bumi dan seisinya. Maka sudah selayaknya membangun persepsi yang baik dengan berkumpul dengan orang-orang yang baik di sekitar kita sangat diharapkan, sekalipun kita tidak diperkenankan meninggalkan orang-orang yang tidak kita senangi bahkan memusuhi kita, sebagaimana Yesus memberikan teladanan agar kita mencintai sesama.
(Michael Indra W)