Anda di sini
Beranda > Artikel > Hari Buruh: Sejarah, Harapan, dan Tantangan

Hari Buruh: Sejarah, Harapan, dan Tantangan

Loading

Penetapan 1 Mei sebagai momentum peringatan hari buruh sedunia tidak terlepas dari kejadian besar serta memilukan yang dikenal dengan nama peristiwa  Haymarket.  Pada 1 Mei 1886, sekitar 400.000 buruh  di Amerika Serikat turun ke jalan mengadakan demonstrasi besar-besaran menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari.  Aksi ini berlangsung 4 hari sejak 1 Mei tersebut. Peristiwa besar dan memilukan terjadi 4 hari kemudian ketika para demonstran melakukan pawai  dan aparat kepolisian Amerika Serikat bersikap represif dengan menembaki para pengunjuk rasa. Ratusan jiwa korban dari para demonstran melayang dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati.

Dari peristiwa inilah para pekerja sedunia mulai memahami bagaimana tuntutan atas kelayakan hidup dan kondisi kerja yang manusiawi memang harus senantiasa diperjuangkan. Peristiwa  Haymarket ini juga menggaris bawahi bahwa dalam setiap proses perjuangan, sangat diperlukan pengorganisasian yang baik, strategi, dan taktik yang mumpuni untuk memberi penekanan pada pihak-pihak yang dianggap memiliki kepentingan agar status quo tetap berlangsung. Dengan kata lain, peletakan perjuangan itu memiliki basis kuat untuk ikut mempengaruhi pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan nasib penghidupan mereka.

Sejak May Day diperingati sebagai hari buruh sedunia, berbagai peristiwa menandai dinamika perjuangan pekerja. Benturan kepentingan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam ruang kapitalisme-industri masih tetap berlangsung. Namun arena pertarungan ini semakin bervariasi dalam cakupan dimensi yang lebih luas. Bila di masa-masa awal bergulirnya kapitalisme-industri abad 19 di Eropa dan Amerika Serikat, perjuangan kaum buruh lebih berkisar pada tuntutan perbaikan jam kerja, maka pada saat ini, tuntutan perjuangan buruh lebih bercorak kontekstual dan berskala lokal.

Hal ini memang disebabkan karena tingkat kesejahteraan dan ruang aktualisasi diri para pekerja ini semakin lama semakin bervariatif antara berbagai negara, kota, serta perusahaan tempat mereka bekerja. Seiring laju waktu dan pertumbuhan teknologi yang demikian pesat, setiap negara, kota maupun perusahaan memiliki cara tersendiri dalam mempertemukan berbagai kepentingan yang terjadi di sekitar persoalan industrial ini. Dengan demikian, isu-isu yang menjadi titik tekan perjuangan kaum buruh juga mengalami corak beragam. Namun barang kali yang masih mempertautkan seluruh energi perjuangan kaum buruh sedunia adalah perjuangan “menepis paradigma buruk”. 

Sejarah panjang perjuangan kaum buruh memang tidak terlepas dari sejarah panjang “pertarungan”  ideologis yang berkembang di dunia. Bahkan dalam takaran tertentu, image dan persepsi yang terbentuk menjadi demikian sarat dengan warna ideologis. Sehingga yang terjadi adalah sebuah paradigma dengan nilai realitas yang demikian bias.

Setidaknya, setelah Indonesia merdeka terdapat tiga periode rezim politik yang menunjukkan episteme yang berlainan dalam meregulasikan kata buruh. Pertama, era demokrasi terpimpin (1959-1965). Inilah era Soekarno, revolusi menjadi kata kunci yang amat magis untuk mengatasi semua persoalan.

Daya pesona revolusi itu dikaitkan dengan kekuatan dalam melawan musuh, baik yang berasal dari dalam negeri sendiri maupun dari luar negeri. Mereka yang dianggap sekutu direngkuh dalam perkawanan dengan memakai konsep progresif-revolusioner. Itulah kelompok yang dianggap memiliki visi dan pergerakan politik yang maju. Sebaliknya, mereka yang diposisikan sebagai lawan diberikan label sebagai kaum reaksioner atau kontrarevolusi yang berpikir terbelakang.

Kedua, era orde baru (1965-1998). Pada era Soeharto itu muncul jenis kuasa yang justru melenyapkan konsep dan bahkan kata buruh. Orde Baru adalah tatanan politik yang menekankan pada harmoni sosial dan stabilitas politik. Orde Baru pun mengambil jarak dan secara sistematis membedakan dan selalu berhasrat dibeda-kan dengan era rezim demokrasi terpimpin.

Orde baru lalu melabeli periode politik itu sebagai orde lama. Seluruh konsep tentang politik yang revolusioner dilucuti. Hasil yang kemudian digulirkan rezim Soeharto adalah pembangunan. Soeharto sebagai Bapak Pembangunan menggantikan Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi. Buruh terkena imbasnya, tidak hanya dari segi kata, namun juga eksistensinya.

Ketiga, era reformasi (1998-sekarang). Pada periode politik ini jenis kuasa yang bercokol ialah pasar bebas. Indonesia tidak bisa terlepas dari jejaring korporasi-korporasi multinasional yang makin menguat. Kapitalisme global menjadikan negeri ini sebagai pemasok tenaga kerja berharga murah, sekaligus pasar bagi konsumen yang sebegitu meriah. Ideologi dianggap tidak penting lagi karena kapitalisme telah dilihat sebagai pemenang yang berhasil menjungkalkan komunisme dan sosialisme.

Buruh ditemukan lagi kehadirannya. Bukan sebagai ancaman yang menakutkan akibat kehendak untuk menjalankan revolusi sosialisme atau komunisme, melainkan sebagai faktor produksi yang berfungsi untuk merealisasikan kepentingan akumulasi modal dan menambah keuntungan bagi para majikan.

Konklusinya ialah buruh pada masa demokrasi terpimpin diposisikan sebagai kekuatan politik yang radikal. Pada era orde baru, buruh ditelanjangi radikalismenya dan diberi predikat sebagai pekerja yang menyokong suksesnya pembangunan. Buruh dikembalikan lagi arti denotatif (makna lugasnya), pada era reformasi sampai saat ini, sebagai pekerja yang tidak perlu ditakutkan lagi kekuatan revolusionernya.

Kata buruh pun tidak dianggap lagi sebagai ancaman. Sebab, pada kata buruh itu terdapat arti konotatif (makna kias) sebagai tenaga kerja untuk menambah pundi-pundi harta majikannya. Kalau 1 Mei tahun ini mulai dijadikan libur nasional ialah penghormatan bagi kaum buruh yang tanpa henti dieksploitasi untuk tumbuhnya kapitalisme.

Perjuangan buruh adalah perjuangan tentang kemanusiaan serta perjuangan tentang kelayakan hidup yang mengharapakan hasil yang mereka peroleh sebanding dengan kerja yang telah mereka lakukan. Namun bagaimana pun, pertarungan persepsi dan paradigma ini menyebabkan perjuangan kaum buruh mengalami pasang surut yang penuh dengan berbagai penyesatan dalam keberadaannya.

Paradigma negatif bisa menjadi dominan bila apa yang menjadi tujuan perjuangannya ditelikung oleh berbagai kepentingan politik jangka pendek oleh kelompok-kelompok avonturir  politik. Tantangan terberat dari perjuangan kaum buruh saat ini memang berkisar pada bagaimana mereka mulai membuka diri pada kelompok sosial lain serta menepis berbagai persepsi buruk di sekitar aksi perjuangan mereka.

Sejarah perjuangan kaum buruh dan pekerja, bagaimana pun merupakan sejarah tentang sebuah harapan untuk memperoleh hidup yang lebih manusiawi. Sesungguhnya, harapan ini sangat sederhana dan memang menjadi bagian yang melekat pada peri-kehidupan manusia. “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam sila ke-5 Pancasila dengan tegas menggariskan hal tersebut. Yang diperlukan adalah bagaimana menjadikan tujuan perjuangan ini menjadi bagian dari gelombang frekuensi yang sama dari  seluruh nilai-nilai kemanusiaan kita. Sehingga aksi dan perjuangan kaum buruh dan pekerja sedunia ini juga menjadi aksi dan perjuangan manusia untuk hidup lebih layak dan bahagia di muka bumi ini.

(Enoz Raja/AJ *dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Top