“Kita perlu belajar merubah sikap, yang dituntut dari kita bukan menutup-nutup aib Gereja. Gereja sadar, bahwa ia terdiri atas para pendosa. Kita harus tanpa ragu membela para korban, dan memastikan bahwa kejahatan tidak diteruskan,” kata Pastor Franz Magnis-Suseno SJ dilansir Majalah Hidup edisi 30 tahun 2020.
Baru-baru ini, di banyak media kasus pelecehan atau kekerasan seksual di Gereja kembali mencuat. Kasus yang paling baru adalah kekerasan seksual di Paroki Herkulanus Depok. Majalah Tempo (22-28 Juni 2020) melaporkan kasus tersebut sepanjang 10 halaman. Yang ditangkap polisi adalah Ketua Seksi Liturgi yang sejak 2000 mengurusi misdinar. Ia dituduh telah melecehi sekurang-kurangnya 21 misdinar. Pada 2014, ia pernah dilaporkan kepada Pastor Paroki, tetapi tuduhan itu diselesaikan secara damai dan yang bersangkutakan tidak diberhentikan. Pastor paroki baru malah tidak diberitahu, dan pelecehan berjalan terus.
Kasus di Depok baru satu dari sedikit kasus yang ada di Indonesia. Di Eropa, Amerika, Australia, dan beberapa wilayah lain telah terjadi kasus kejahatan pedofil dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh sekitar 300 rohaniwan dan menimbulkan ribuan korban.
Pelecehan seksual adalah masalah gawat universal, bukan hanya di dalam Gereja Katolik. Hal tersebut juga terjadi di dunia olahraga, perfilman, perkantoran, bahkan keluarga. Walaupun demikian, jika hal tersebut dilakukan oleh aparat Gereja, apalagi oleh rohaniwan maka yang dipertaruhkan adalah kepercayaan terhadap Gereja itu sendiri.
“Tetapi sepertinya Gereja sering masih hanya berpikir ‘jangan sampai aib Gereja diketahui di luar’. Lalu permasalahan tersebut diselesaikan secara ‘damai’. Korban diberikan santunan dan pelaku dimutasi sehingga kemungkinan pelecehan akan terus berjalan,” ujar Pastor Magnis.
Lebih lanjut ia menjelaskan, yang membuat marah umat Katolik di banyak negara adalah aparat Gereja hanya memperhatikan ‘nama baiknya’ saja, tetapi tidak peduli dengan para korban. Padahal pelecehan seksual, terutama para korban muda diketahui meninggalkan trauma (luka jiwa) berat sampai dengan kehilangan iman.
Beruntung, Paus Fransiskus sudah mulai bertindak tegas untuk mengambil sikap terhadap berbagai kasus yang terjadi. Dalam surat Apostoliknya Vos Estis Lux Mundi (Kalian adalah Cahaya Dunia’, Paus mewajibkan konferensi uskup sedunia merumuskan protokol yang jelas dan tegas, bagaimana kasus-kasus pelecehan seksual ditindaklanjuti baik oleh Gereja maupun pihak berwajib.
“Gereja sadar, bahwa ia terdiri atas para pendosa dan kemungkinan bahwa kejahatan seksual bukan hanya masalah Gereja Katolik tidak menjadi alasan untuk membiarkannya. Kita harus mengakhiri segala toleransi terhadap ‘kelemahan’ itu. Kalau kita mengetahui ada anak, pemuda/i, suster, seminaris, atau siapapun mendapatkan pelecehan seksual oleh rohaniwan atau petugas gereja lain, kita harus berpihak pada korban. Kita wajib menghentikannya. Setiap pelecehan harus dilaporkan, dan si peleceh disingkirkan dari posisi di mana ia dapat melakukannya lagi,” tutup Romo Magnis.
(AJ/*dari berbagai sumber)
Tindakan yang diambil gereja seolah mendapat dukungan dari Alkitab, seperti yang termaktub dalam 2 Samuel 13:11-12, 14, 20
Tamar “dibungkam”