Anda di sini
Beranda > Artikel > Bolehkah Menghapus Abu?

Bolehkah Menghapus Abu?

Loading

Rabu Abu merupakan salah satu peristiwa penting dalam kalender liturgi Katolik. Rabu Abu adalah pembuka masa pra-Paskah atau retret agung. Abu di dahi adalah tanda ketidakabadian kita umat manusia.

Lalu, apakah kita harus menjaga abu selama satu hari penuh, atau kita boleh membersihkan abu selepas perayaan ekaristi?

Walaupun jatuh pada hari biasa (bukan hari libur), sebagian besar umat Katolik tetap menghadiri misa untuk menerima abu yang nantinya digoreskan pada dahi membentuk Salib. Pemberian tanda salib dengan abu ini disertai dengan kata-kata, “Bertobatlah, dan percaya pada Injil” (Markus 1:15) atau “Ingat bahwa kamu berasal dari debu, dan kamu akan kembali menjadi debu” (Kejadian 3:19). Kata-kata yang diucapkan Imam tersebut sebagai pengingat bahwa kita adalah manusia yang tak abadi dan harus bertobat sebelum semuanya terlambat.

Tidak Ada Aturan, Semuanya Benar

Secara spesifik, Gereja tidak membuat suatu aturan khusus mengenai berapa lama kita harus menjaga abu di dahi. Umat Katolik dapat menentukan sendiri berapa lama dia menjaga abu di dahi. Meskipun, sebagian besar umat memakai abu sepanjang hari setelah menerimanya saat misa, ada juga umat memiliki kebebasan untuk membersihkan abu tepat setelah misa selesai.

Menjaga abu sepanjang hari merupakan tindakan yang dapat membantu mengingatkan umat mengapa abu tersebut ada di dahi. Hal ini tentu memacu kita untuk lebih merendahkan diri di awal masa pra-Paskah. Meskipun begitu, umat yang merasa tidak nyaman menunjukkan abu di luar Gereja, ataupun karena tuntutan pekerjaan, tentu belum bisa menjaga abu selama satu hari. Jikalau abu secara alamiah jatuh, atau umat tidak sengaja menghapuskan abu, umat tidak perlu khawatir akan hal ini.

Pemaknaan Puasa dan Pantang

Adapun yang jauh lebih penting dari abu di dahi kita adalah memahami aturan pantang dan puasa selama masa pra-Paskah ini.

Kitab Hukum Kanonik Kanon 1249 menetapkan bahwa semua umat beriman kristiani wajib menurut cara masing-masing melakukan tobat demi  hukum ilahi; tetapi agar mereka semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari-hari tobat, di mana:

  • Umat beriman Kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk berdoa.
  • Menjalankan karya kesalehan dan amal kasih.
  • Menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia.

Berpuasa dan berpantang menurut norma kanon-kanon berikut:

  • Kanon 1250-Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap Jumat sepanjang tahun, dan juga masa 40 hari atau prapaskah.
  • Kanon 1251-Pantang makan daging atau makan lain menurut ketentuan Konferensi Para Uskup hendaknya dilakukan setiap Jumat sepanjang tahun, kecuali Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada Rabu Abu dan Jumat Agung, memperingati sengsara dan wafat Tuhan kita Yesus Kristus.
  • Kanon 1252-Peraturan pantang mengikat mereka yang telah berumur genap empat belas tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun ke enam puluh; namun para gembala jiwa dan orangtua hendaknya berusaha agar juga mereka, yang karena usianya tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina ke arah cita rasa tobat yang sejati.
  • Pantang berarti tidak makan makanan tertentu yang menjadi kesukaannya dan juga tidak melakukan kebiasaan buruk, misalnya: marah, benci, berbelanja demi nafsu, boros, tidak memaafkan, selalu menggunakan HP tanpa peduli anggota keluarga yang berada bersamanya. Tetapi berusaha lebih mengutamakan dan menggandakan perbuatan, tutur kata baik kepada sesama.
  • Puasa berarti makan satu kali dalam sehari.

Mari kita mulai merenungkan makna dari abu itu sendiri dan mengawali masa pra-Paskah dengan hati yang penuh penyesalan akan dosa-dosa.

(Alexander Ones/AJ)

Leave a Reply

Top