[TAMAN YASMIN] Pernikahan beda agama selalu menimbulkan problem atau konflik di antara pasangan tersebut. Paling tidak terdapat 3 problem utama pernikahan beda agama, yakni pelaksanaan kekatolikan, pembaptisan anak, dan pendidikan anak secara katolik demikian dijelaskan Vikaris Judisial Keuskupan Bogor RD Yohanes Driyanto kepada umat Wilayah St. Hieronimus yang menggelar sarasehan di rumah keluarga M. Indra Wahyudi, Sabtu (20/8).
Pelaksanaan Kekatolikkan, bisakah orang Katolik dapat menjalankan kekatolikkannya dengan baik bersama pasangannya? Pembaptisan Anak, bagaimana pelaksanaan pembaptisan anak? Pendidikan Anak secara Katolik, apakah akan terjadi pendidikan anak secara Katolik?
Kegiatan yang dihadiri sekitar 70 orang ini mengangkat tema Problema Perkawinan Beda Agama. Sarasehan diawali dengan doa dan sambutan oleh Ketua Wilayah St. Hieronimus Kristianus Irwan Wangsaputra, “Kegiatan ini diadakan untuk mewujudkan program paroki dalam prioritas kebijakan pastoral keluarga,” tuturnya.
Romo Driyanto mengajak umat yang hadir untuk memahami apa identitas dan misi perkawinan. Dasar Perkawinan Katolik ada dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, misalnya dalam Kej. 2:24, “sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. “Hal ini membuktikan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan oleh manusia,” jelas Romo Dri, sapaan akrab vikaris yudisial ini.
Menanggapi kenyataan yang tidak mungkin ditolak adanya perkawinan campur, maka Gereja menetapkan norma-norma untuk pelaksanaanya. Bagi pasangan yang keduanya dibaptis yang satu baptis Katolik, yang satunya baptis bukan Katolik. Perkawinan dilarang, untuk keabsahan perkawinan itu harus ada lisensi atau izin dari Ordonaris dengan memenuhi persyaratan tertentu. Bagi pasangan yang satunya baptis Katolik, dan yang satunya tidak baptis misalnya, Islam, Hindu, Buddha. Perkawinan ini istilahnya dihalangi, untuk licitnya perkawinan itu, karena lebih berat, harus ada dispensasi dari Ordonaris.
Akhirnya untuk direnungkan kembali, bahwa perkawinan bukan dilaksanakan berdasarkan hawa nafsu semata, melainkan berlandaskan cinta, kesetiaan, dan ketulusan hati untuk dipelihara sampai mati. “Ingat tujuan perkawinan bukan “kebahagiaan”, tetapi Tuhan memberi penolong yang sepadan agar menjadi baik, secara kodrati terarah untuk kebaikan pasangan, kelahiran, dan pendidikan anak,” tukas Romo Driyanto.
Kembali membahas problem perkawinan beda agama kata Romo Driyanto, kenyataan tak terpungkiri gereja memang tidak menghalangi atau menutupi kemungkinan perkawinan beda agama. Alasan diizinkannya perkawinan beda agama karena dua hal, pertama alasan teologis, pengakuan akan kebebasan beragama.” Iman itu agunerah Tuhan dan hidup perkawinan itu panggilan,” jelas Romo Dri.
Kedua alasan sosiologis, ”Jumlah orang katolik minoritas, orang katolik membaur dan tersebar,” ujar Romo Dri. Namun demikian kendati dibolehkan gereja memandang sejatinya pernikahan yang sesuai dengan harapan gereja adalah pernikahan seiman secara katolik.
(Benediktus Waluyo)