Gereja Katolik akhirnya mengakui bahwa pihaknya sempat abai terhadap penderitaan sejumlah korban pelecehan seksual yang terjadi di sejumlah keuskupan di dunia. Tidak hanya abai, Gereja Katolik pun mengungkapkan sesalnya karena telah melindungi para imam yang bersalah dan membungkam suara korban yang menderita. Hal tersebut terungkap dalam doa yang diucapkan oleh Kardinal John Dew dari Wellington, Selandia Baru di Liturgi Tobat yang mengakhiri Konferensi Tingkat Tinggi para pimpinan Gereja Katolik sedunia, 21-24 Februari lalu.
Konferensi yang dihadiri oleh ratusan uskup dan kardinal tersebut menjadi pertemuan tingkat tinggi yang dianggap begitu penting oleh Bapa Suci guna mengatasi pedofilia dan pelecehan seksual. Bagi Paus, hal ini mendesak untuk dilakukan, terlebih sejumlah kasus pelecehan seksual terjadi di institusi moral yang ia pimpin. Ia berharap, para uskup akan memiliki pandangan yang jelas mengenai permasalahan keji yang disebutnya sebagai perpanjangan tangan iblis tersebut.
Skandal Seksual di Tengah Gereja
Pertemuan yang baru pertama kali diselenggarakan oleh Gereja Katolik di Roma, Vatikan tersebut salah satunya dilatarbelakangi oleh laporan-laporan pelecehan seksual yang dilakukan oleh sejumlah imam di berbagai keuskupan di dunia. “Awalnya, Gereja hanya menganggap hal ini sebagai perbuatan oknum imam saja, namun akhirnya Paus menyadari bahwa skandal ini telah menjadi krisis sistemik,” ungkap Pastor Stéphane Joulain, seorang imam dari kongregasi White Fathers yang bertugas sebagai psikoterapis dan kerap menangani kasus korban pelecehan seksual.
Berbagai kasus pelecehan seksual sebenarnya telah mengemuka sejak 2002 yang lalu, beberapa di antaranya adalah ditemukannya fakta bahwa setidaknya terdapat 300 imam terlibat pelecehan seksual terhadap seribuan anak di Pennsylvania dalam 70 tahun terakhir, kasus penodaan biarawati yang dilakukan seorang uskup di India, dan skandal lain yang melibatkan kardinal, uskup, maupun imam di sejumlah negara. Tak ayal, Paus pun sempat mengemukakan penyesalannya bahwa Gereja yang ia pimpin terlambat bertindak dan tidak memedulikan penderitaan anak-anak korban pelecehan seksual.
Komitmen Gereja di Akhir Konferensi dan Ketidakpuasan Penyintas
Konferensi yang berakhir 24 Februari tersebut akhirnya membawa Gereja Katolik pada komitmen melakukan “all out battle” guna mengatasi skandal yang mempermalukan muka institusi warisan Santo Petrus tersebut. Paus juga menyatakan akan menerbitkan Motu Proprio atau dekrit kepausan yang berisi panduan bagi para klerus untuk melawan pelecehan. “Kita sedang berperang menghadapi kejahatan keji yang harus dihapus dari muka bumi,” ujar Paus dalam pidato pamungkasnya.
Akan tetapi keputusan akhir konferensi tidak disambut kegembiraan dari para penyintas kejahatan seksual. Pasalnya, pidato akhir Paus dianggap masih terlalu normatif dan minim solusi konkret, karena tidak memberikan penjelasan apapun mengenai tindakan tegas yang akan dilakukan bagi para iman yang melakukan pelecehan seksual. “Saya tidak dapat berharap pada Gereja untuk membersihkan apa yang sudah mereka lakukan,” ungkap pesimis Peter Saunders, salah satu penyintas sekaligus pegiat antikekerasan seksual asal Inggris yang juga mantan penasihat kepausan untuk perlindungan kaum minoritas.
Semoga dalam waktu dekat Gereja dapat memberikan keadilan bagi para penyitas dan ke depan hal serupa tidak terjadi kembali.
(Ari sudana)