Sekolah Ramah Anak adalah sekolah yang secara sadar berupaya menjamin dan memenuhi hak-hak anak dalam setiap aspek kehidupan secara terencana dan bertanggung jawab. Prinsip utama adalah non diskriminasi kepentingan, hak hidup serta penghargaan terhadap anak. “Untuk mencegah diskriminasi dan sikap-sikap negatif anak yang merugikan orang lain perlu adanya kerja sama antara sekolah dan orang tua, karena pendidikan yang pertama adalah di dalam keluarga. Sekolah tidak lepas tanggung jawab namun orang tua juga harus terlibat,” ungkap Kepala Sekolah SMA Budi Mulia Bogor, Cecilia Hendrawati kepada Berita Umat, Kamis (4/8).
Penny Widiyanti (Kepala Sekolah SMP Mardi Waluya Bogor) mengungkapkan sekolah ramah anak dapat diwujudkan dengan kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur kebersamaan. “Untuk mencegah bullying kami banyak mengadakan kegiatan kebersamaan seperti pramuka dimana setiap pembentukan kelompok diacak antara murid kelas 7, 8, dan 9. Kelompok serupa juga dibentuk untuk bersih-bersih sekolah setiap hari Jumat terakhir setiap bulannya,” tutur Kepala Sekolah SMP Mardi Waluya sejak tahun 2011 itu.
Ia menambahkan bahwa tindakan bullying yang mengakibatkan anak depresi akan dikenakan sanksi berat, seperti pemanggilan orang tua, skorsing, sampai pengembalian anak ke orang tua.
Sementara itu, di SMA Budi Mulia, pencegahan praktik bullying dilakukan melalui pelajaran khususnya Bimbingan Konseling (BK). Dalam mata pelajaran ini siswa ditanamkan bahwa bullying bukanlah suatu hal yang baik dan dapat merusak mental orang lain. “Tentu jika ada anak yang ketahuan melakukan bullying terhadap temannya maka sekolah akan memberikan sanksi khusus kepadanya,” tukas Cecilia.
Kemudian jika sebaliknya terjadi, artinya guru yang melakukan tidakan bullying terhadap anak, keduanya menjawab hal tersebut akan diserahkan ke Yayasan masing-masing.
Di Sekolah Regina Pacis Bogor, baru-baru ini digelar sosialisasi mengenai undang-undang perlindungan anak nomer 35 tahun 2014. Informasi yang dihimpun undang-undang itu bukan hanya bertujuan untuk melindungi anak/siswa dari tindak kekerasan baik verbal maupun non-verbal yang dilakukan temannya, tapi juga untuk melindungi guru dari ancaman kurungan penjara. Berbeda sebelum undang-undang tersebut dituangkan, ancaman kurungan pidana kini menanti guru bahkan untuk tindakkan yang menyerempet kekerasan, seperti mencubit anak, atau tindakan yang dinilai melecehkan anak seperti menepuk bahu atau mengusap lengan. “Padahal guru bukan bermaksud melecehkan, tetapi sekadar memuji anak, tapi jika salah persepsi maka itu dinilai melecehkan,” kata sumber tersebut.
Baru-baru ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) juga menghimbau sekolah-sekolah khususnya SMP dan SMA untuk mengubah sistem Masa Orientasi Siswa (MOS) yang identik dengan perpeloncoan menjadi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). MPLS tidak boleh dikelola oleh Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) melainkan langsung ditangani oleh para guru. Himbauan ini merupakan salah satu usaha pemerintah untuk mewujudkan sekolah ramah anak.
Guna mendukung terciptanya sekolah ramah anak, salah satunya sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak, untuk itu guru dan orang tua tidak boleh menjadikan belajar sebagai beban bagi anak-anak. “Biarlah anak-anak belajar dengan cara mereka. Jangan dipaksakan dan diberi beban supaya mengikuti cara kita. Guru dan orang tua sebagai pendidik harus bersedia menjadi pembelajar, jadikanlah anak-anak kita menjadi orang yang mau belajar, mau mencintai belajar,” kata Anies Baswedan Senin (18/7) saat masih menjabat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada ratusan orang tua murid dan guru SDN Polisi 1 Kota Bogor.
Dia mengapreasiasi orang tua yang mau mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. “Dengan mengantar anak-anak ke sekolah ini merupakan wujud kepedulian kita pada dunia pendidikan. Pendidikan itu adalah kolaborasi antara orang tua sebagai pendidik di rumah dan guru sebagai pendidik di sekolah. Maka mengantar anak bukan hanya terlepas dari mengantar pada pintu gerbang saja, akan tetapi ada pertemuan, kolaborasi, dan komunikasi antara orang tua dengan guru,” ujarnya. Sekolah, kata Anies, juga harus menjadi sarana menimba pengalaman yang berkesan bagi anak. “Belajar bukan hanya soal angka saja, yang penting anak mencintai belajar. Tugas pendidik adalah mendorong anak untuk mau belajar,” ujarnya.
Kepada anak-anak, Anies berpesan agar belajar dengan rajin dan mengikuti pesan para guru. “Belajarlah yang rajin, kerjakan tugas-tugas dari para guru, wali kelas dan kepala sekolah. Jadikan saat sekolah menjadi pengalaman yang berkesan,” pesannya.
Sementara itu pengganti Anies Baswedan, Mendikbud Muhadjir Effendy berjanji akan meneruskan program dari Mendikbud sebelumnya Anies Baswedan. “Program-program dari Mendikbud sebelumnya akan kami teruskan termasuk menolak setiap bentuk kekerasan di sekolah apa pun alasannya, dan mengupayakan agar sekolah menjadi tempat yang ramah bagi semua peserta didik,” ujar Muhadjir.
(John/Jam)