INDONESIA-KU
Kebiasaan mengucapkan Selamat Hari Raya bagi agama mana pun adalah kebiasaan yang baik di negri ini. Umat dapat melihat, tatkala saudara-saudara Muslim merayakan Hari Raya Lebaran, pasti sering dijumpai spanduk-spanduk di depan Gereja yang mengucapkan “Selamat Hari Raya Lebaran”. Ada pun demikian, ketika saudara-saudara Budha merayakan Waisak mau pun saudara-saudara Hindu merayakan Nyepi, ada spanduk ucapan selamat yang dipasang di teras-teras Gereja. “Hal ini hendak mengatakan bahwa gereja pun turut berbahagia dalam merayakan Hari Raya yang berlangsung. Oleh karenanya, perlu juga kita umat Katolik untuk mengucapkan selamat Lebaran kepada saudara-saudara Muslim sebagai bentuk sukacita kebersamaan di dalam keragaman hidup beragama di Indonesia,” tutur Yoseph Kristinus Guntur, frater yang sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Seminari Stella Maris Bogor.
Ia menambahkan bahwa memaafkan adalah salah satu tindakan kasih yang universal. Momentum Lebaran juga menjadi kesempatan yang tepat untuk saling memaafkan dan berani menjadi ‘manusia yang baru’. Ajaran memaafkan dan menjadi pribadi yang lebih baik adalah ajaran yang umum dan sudah pasti juga terdapat dalam ajaran Katolik.
Makna memaafkan dan menjadi pribadi yang lebih baik sangat kuat terdengar dalam Kisah Anak Yang Hilang (Lukas 15:11-32). Sang ayah sudah tidak lagi mengungkit-ungkit kesalahan anak bungsunya tetapi lebih mengajak siapa pun (bahkan kepada anak sulung) untuk bersukacita bersama karena sang anak bungsu yang hilang telah didapat kembali (Luk 15:32). “Semoga makna memaafkan dalam momentum Lebaran bisa sampai ke arah sana, yakni bukan persoalan melupakan kesalahan dan cacat-cela orang lain melainkan betapa manusia kembali dimanusiakan setelah kerap kali terjatuh, berbuat dosa, dan bahkan pernah melukai hati kita,” harap Frater Diosesan Bogor itu.
(Anggi)