[KATEDRAL] Dua pembicara dalam seminar Kawin Campur yakni RD. Tri Harsono (Vikaris Keuskupan Bogor) dan RD. Yohanes Driyanto (Vikaris Judisial Keuskupan Bogor) menekankan kepada semua umat Katolik untuk melakukan pernikahan secara katolik, jika terpaksa memiliki pasangan beda agama atau beda gereja.
Alasannya, sudah banyak kasus kekerasan dan tindakan–tindakan negatif lainnya berkaitan dengan kawin capur dan di banyak kasus juga perkawinan tersebut tidak dilakukan di Gereja Katolik sehingga statusnya tidak sah dan Gereja tidak dapat melindungi pasangan tersebut.
Ratusan orang mengikuti seminar kawin campur yang diadakan oleh Persekutuan Doa Pembaharuan Karismatik Katolik (PDPKK) Santa Maria Fatima – Paroki BMV Katedral Bogor pada Sabtu, 24 Januari di Gedung Pusat Pastoral Keuskupan Bogor. Tema kawin campur ini merupakan jawaban atas isu yang sedang berkembang di masyarakat khususnya Indonesia mengenai perkawinan beda agama.
Tujuan Perkawinan
Dalam materinya RD. Driyanto menyampaikan hakekat perkawinan menurut pandangan Gereja. Dalam peristiwa penciptaan Tuhan bersabda, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja : Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia”(Kej 2 : 18). Dari kutipan perikop tersebut tampak bahwa Tuhan menciptakan perempuan (Hawa) agar laki – laki (Adam) itu menjadi baik. Tuhan menciptakan pasangan untuk kebaikan dengan harapan bahwa dengan kehadiran pasangan itu manusia dapat saling bergembira dan bersukacita (bdk. Kej 2 : 23).
Berdasarkan kebenaran tersebut Gereja melalui Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1938 Kan. 1055 ayat 1 dengan tegas dan jelas merumuskan bahwa tujuan perkawinan adalah kebaikan pasangan atau suami-istri, perkembangbiakan atau kelahiran, dan pendidikan anak. Ketiga tujuan ini satu dan tidak dapat terpisahkan, urutan penulisan tidak menunjukan prioritas namun lebih menunjuk pada proses yang terjadi : adanya hubungan yang memungkinkan kelahiran anak dan kelahiran anak mengharuskan pendidikan. Oleh sebab itu tidak dibenarkan mengutamakan yang satu dan meremehkan yang lain atau memperjuangkan yang satu dan mengurbankan yang lain.
Identitas Perkawinan
Identitas adalah jawaban atas pertanyaan “Apakah perkawinan itu?” Jawaban yang langsung dari Kitab Suci adalah dua pribadi yang menjadi satu daging (bdk. Kej 2 : 24). Bertumpu pada hal tersebut, Konsili Vatikan II menyatakannya sebagai komunio hidup dan kasih (Communio vitae et amoris). Sedangkan Kan. 1055 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah kesenasiban seluruh hidup (consortium totius vitae).
Yang pertama menunjuk perkawinan sebagai hubungan yang sangat erat. Yang kedua menunjukan perkawinan sebagai persekutuan laki–laki dan perempuan yang meliputi fisik (tubuh), tabiat, psikhis, psikologis, hati, intelektual, kehendak, cita-cita dan sebagainya. Yang ketiga menegaskan perkawinan sebagai hubungan kasih antarpribadi yang konkrit dan sehari-hari. Secara bersamaan, ketiganya menegaskan perkawinan sebagai hubungan yang eksklusif, total, dan perpetual atau selamanya. Hubungan itu eksklusif karena tertutup bagi pihak lain, hubungan itu total karena tidak menyisakan sesuatu, dan hubungan itu perpetual atau selamanya karena tidak ada saat untuk berhenti.
Menyatu dengan indentitas itu adalah misi perkawinan. Misi yang dimaksud adalah tanggungjawab yang harus dilaksanakan oleh orang yang merengkuh hidup perkawinan. Rumusannya adalah menjaga, menyatakan, dan mengkomunikasikan kasih. Menjaga berarti mempertahankan kasih yang telah ada dan tumbuh antara pasangan agar tetap ada dan terus tumbuh. Menyatakan berarti membuat kasih itu memiliki bentuk, mempunyai wujud, mungkin diinderai, dan dapat dialami. Mengkomunikasikan kasih berarti mengupayakan kasih itu sampai kepada pihak lain yaitu pasangannya.
Lisensi dan Dispensasi Dalam Perkawinan
Dalam Gereja Katolik perkawinan beda baptisan atau beda gereja dihalangi dan perkawinan beda agama dilarang. Perkawinan yang dihalangi harus mendapat lisensi dan yang dilarang harus mendapat dispensasi sehingga Gereja Katolik mempunyai kebijakan untuk menfasilitasi perkawinan yang berbeda tersebut dengan lisensi dan dispensasi sesuai dengan ketentuan–ketentuan yang berlaku sehingga perkawinan yang berbeda tersebut tetap sah walaupun bukan sebuah sakramen. Sebuah perkawinan akan otomatis menjadi sakramen ketika pasangan tersebut kedua–duanya adalah katolik.
(John)