Peristiwa ini terjadi pada perayaan Jumat Agung 2015 di Katedral BMV Bogor. Di bawah tenda besar di halaman parkir depan gereja, penulis bertugas sebagai panitia Perayaan Paskah. Seperti biasa, perayaan Jumat Agung pukul 15:00 WIB penuh disesaki umat yang hadir. Dalam sekejap bangku-bangku di dalam gereja telah dipenuhi umat. Pintu pagar di tangga depan gereja pun di tutup. Umat yang datang belakangan, mengambil tempat duduk di luar gereja di bawah tenda besar itu.
Datanglah sepasang suami-istri, terbilang lansia, mencari jalan masuk ke dalam gereja. Penulis beserta beberapa petugas Tata Tertib Kolektan (TTK) segera membantu mengarahkan pasangan itu ke tempat duduk yang kosong di bawah tenda besar. Mereka menolak dan bersikeras ingin masuk ke dalam gereja. “Kami tidak sreg ikut perayaan ini kalo hanya melihat layar itu,” ujar bapak lansia sambil menunjuk layar besar yang berdiri tegak di depan deretan kursi-kursi. Petugas TTK pun mengalah dan mengantar serta mencari tempat duduk bagi pasutri tersebut di dalam gereja melalui pintu samping.
Hal ini menunjukkan bahwa masih ada umat merasa kurang pas bila hadir mengikuti acara/perayaan di gereja secara tidak langsung. Kemantapan hati mereka adalah harus hadir dan melihat langsung. Bukan melihat lewat layar besar atau televisi.
Contingency Plan
Tetapi apa yang terjadi sekarang? Covid-19 datang menyerang siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Mau tak mau gereja menyelenggarakan Misa Jarak Jauh (MJJ) untuk melayani umatnya. Dan itu terjadi merata hampir di seluruh negeri. Juga terjadi di mancanegara, bahkan di Vatikan sekalipun. Ini adalah upaya yang paling mungkin diselenggarakan. Umat pun menerimanya.
Upaya inilah yang kemudian dikenal sebagai Contingeny Plan (Rencana Pelayanan Darurat). Dalam dunia bisnis, sudah lama dikenal adanya Business Contingency Plan (BCP). Sejatinya BCP dalam bisnis bertujuan agar kegiatan bisnis harus tetap berjalan walaupun ada gangguan di sana-sini. Entah gangguan karena aksi pemogokkan, kebakaran, bencana alam (banjir, tanah longsor dll.), putusnya aliran listrik (ingat beberapa tahun lalu listrik padam sepulau Jawa & Bali), pandemi (serangan virus penyakit yang mendunia), penyerangan virus komputer, dan masih banyak lagi.
Apa Tanggapan Kita?
Kendati tidak bermaksud menyamakan kegiatan bisnis dan gereja, tetapi kini waktunya kita memikirkan dan membuat Program Pelayanan Darurat (PPD) menghadapi serangan Covid-19. PPD di gereja bukan saja bertujuan agar umat bisa mendapat pelayanan rohani, tetapi juga untuk melindungi, setidaknya menghindarkan umat dari serangan Covid-19.
Seperti diketahui, Covid-19 sangat aktif bekerja, menyebar ke mana-mana lintas batas tanpa peduli agama, ras, etnik, status sosial, dan pangkat. Virus ini merasuk ke segala penjuru. Dan yang menakutkan adalah virus ini berpotensi mematikan orang yang dihinggapinya.
Program Pelayanan Darurat
Di dalam PPD, ada arahan dan petunjuk tentang hal-hal penting yang mesti dilakukan pada saat kedaaan darurat terjadi. Baik keadaan saat Covid-19 sudah menyerang dan juga saat berjaga-jaga sebelum ia menyerang. Isi PPD seyogyanya rinci, sederhana dan jelas, karena ia merupakan pedoman bertindak pada situasi darurat. PPD diharapkan menjadi alat bantu bagi pelaksana dilapangan, sehingga ketika keadaan mendesak dan keputusan harus segera diambil, tidak perlu lagi berhubungan dengan birokrasi pada hirarki yang panjang dan lama.
Isi PPD harus dirancang dengan cermat dan teliti. Namun demikian, mempertimbangkan serangan Covid-19 yang gencar ini kita tak bisa berlama-lama menyusunnya. Gerak cepat dibutuhkan agar PPD segera lahir dan bisa disosialisasikan kepada pelaksananya.
Tak perlu khawatir akan ketidaksempurnaan PPD. Sebab, tetap terbuka kesempatan di masa yang akan datang untuk dilakukan perbaikan bila memang diperlukan. PPD bersifat dinamis mengikuti perkembangan zaman.
PPD yang Terintegrasi
Mencermati keterangan di atas, kita tahu bahwa isi PPD terdiri atas dua bagian besar yaitu keadaan di mana Covid-19 sudah menyerang dan di mana Covid-19 belum menyerang (unsur pencegahan). Ketika Covid-19 sudah menyerang dan berakibat si sakit meninggal, lalu apa yang harus diperbuat? Bagaimana melayani orang meninggal menurut tata cara agama Katolik? Bolehkah hanya dengan doa dan pemberkatan jarak jauh? Bagaimana bila orang yang diserangnya masih terkapar sakit dan membutuhkan sakramen pengurapan orang sakit?
Sementara itu ada hal–hal lain yang bisa dilakukan pada keadaan yang sifatnya sebagai pencegahan Covid-19. Misalnya tentang perjumpaan atau kerumunan orang banyak. Himbauan pemerintah sudah mengatakan, hindari hal itu. Tetapi tetap dibutuhkan petunjuk teknis agar supaya pelaksana dilapangan (baca: Ka.Wil dan Ka. Ling) dapat menjalankan sesuai garis komando.
Contoh, berkumpulnya umat melaksanakan Aksi Puasa Pembangunan (APP). Keputusan untuk tidak berkerumun sudah dikeluarkan. Tapi belum selesai. Bagaimana dengan pengumpulan dana APP? Selama ini pengumpulan dilakukan manual oleh wilayah dan lingkungan dengan berkumpul di Aula Paroki dan menghitung serta menyerahkan kepada Sie. PSE secara bersamaan. Itu pun sudah diputuskan cara pengumpulannya secara elektronik saja.
Sayangnya, keputusan semacam ini selain parsial sifatnya juga tidak sinkron antara satu hirarki dengan hirarki di atasnya. Artinya kita perlu duduk bersama membuat PPD yang terintergrasi agar umat mendapat keterangan yang utuh (lengkap) dan jelas.
“Jadi, siapakah pengurus rumah yang setia dan bijaksana yang akan diangkat oleh tuannya menjadi kepala atas semua hambanya untuk memberikan makanan kepada mereka pada waktunya ?” (Lukas 12: 42).
(Henricus Poerwanto/AJ)
*Penulis adalah Koordinator Wilayah Paroki BMV Katedral Bogor Periode 2019–2021.