Tiga puluh lima tahun lalu kita belum kenal telepon genggam (handphone). Kala itu yang kita kenal hanyalah telepon kabel yang terpasang di rumah atau di kantor atau di toko dan lain-lain, di mana pesawat teleponnya hanya “berdiam” di satu tempat saja. Tidak bisa dibawa kemana-mana. Bila kita ingin menelpon seseorang yang lokasinya berada di dalam kota, maka umum disebut dengan istilah Telepon Lokal. Tarifnya lebih murah ketimbang kita menelpon seseorang di lokasi yang jauh dan atau berbeda dengan kota di mana kita berada.
Kini, di mana perangkat komunikasi sudah sedemikian canggihnya, telepon genggam amat membantu kita dalam berkomunikasi. Bukan saja bisa mengirimkan dan mendengarkan suara, merekam suara dan memotret pun bisa. Ia ibarat komputer kecil dalam genggaman.
Di era Industri 4.0 ini, dunia komunikasi memang berkembang amat pesat. Kemajuan itu ditujukan untuk memudahkan hidup manusia. Tetapi seperti keping mata uang, ada sisi baik dan ada sisi buruk dimana kita tak bisa hanya mau menerima satu sisi saja dan menolak sisi lainnya.
Misa Jarak Jauh (MJJ) dan Polemik di Dalamnya
Kalau dalam dunia perteleponan pernah dikenal istilah SLJJ, maka kini kita pun “dipaksa” untuk mengenal MJJ (Misa Jarak Jauh) alias Live Streaming. Ini adalah misa yang diadakan dari lokasi di mana umat yang hadir tidak berada dilokasi yang sama dengan tempat misa diselenggarakan. Seseorang di Bogor, misalnya, bisa “menghadiri” misa yang diselenggarakan di Semarang, sejauh ia bisa mendapatkan link yang menghubungkannya. Seseorang berlokasi di Palembang, bisa mengikuti misa yang diselenggarakan di Katedral BMV Bogor. Demikian seterusnya.
Mengapa disebut “dipaksa”? Karena sesungguhnya di dalam Katolik ada tata cara tersendiri untuk hadir mengikuti misa. Kita diminta berpakaian pantas (menurut ukuran kita dan umum) untuk hadir di gereja. Terlebih lagi kita sangat dianjurkan untuk menyiapkan hati dan pikiran untuk menghadiri misa. Lalu siapa yang “memaksa”? Dia adalah Virus Corona (Covid-19). Dan sekarang sedang terjadi serangan kilat Covid-19 ke banyak negara, termasuk Indonesia. Dunia dibuat kalang kabut menghadapinya. Dan Bogor termasuk di dalam kalang kabut ini.
Live Streaming Perdana
Penulis ingin menyampaikan kesan sebagai seorang umat yang “hadir” pada MJJ yang pertama kali di Paroki BMV Katedral Bogor pada Minggu (22/3) pukul 18:00 WIB.
Ada rasa bangga ketika Romo Dominikus Savio Tukiyo, pastor Kepala Paroki bersama Romo Paulus Piter tampil keluar dari Sakristi menuju meja altar. Gambar yang tampil di laptop penulis, jernih, jelas, bening. Sayangnya, suasana sekitar altar sepi, sunyi, dan kering. Tanpa kemeriahan bunga dan tanaman di kaki altar.
Kesunyian semakin terasa ketika ada bagian di mana umat biasanya menjawab amin dengan suara kor, tetapi kali ini hanya lamat-lamat terdengar suara romo Piter menjawab dari sisi belakang romo Tukiyo.
Apapun itu, ini adalah MJJ pertama yang boleh dibilang sukses. Kita boleh berterima kasih kepada romo Tukiyo dan romo Piter yang telah mempersembahan misa. Juga kepada tim Komsos, Koster dan teman-teman lainnya yang bekerja di belakang layar. Ucapan terima kasih yang tulus ini memang layak dilayangkan, karena sehari jelang Minggu (22/3), ada persiapan dan kerja keras mereka. Waktu, tenaga, pikiran, tersedot untuk persembahkan MJJ yang terbaik.
Bagaimana dengan umat yang “hadir” pada MJJ perdana ini? Dari pantauan penulis, konon viewers-nya mencapai angka 1200-an. Artinya kalau secara fisik 1200 umat hadir bersamaan di Katedral Bogor, pasti tidak tertampung. Kita boleh bergembira mendapat viewers sebanyak itu. Dengan kata lain bisa disebutkan bahwa ada kerinduan umat untuk menghadiri Misa Kudus (Perayaan Ekaristi).
Kerinduan tersebut tercermin dari beberapa foto yang dikirimkan umat melalui (lagi-lagi karena ke canggihan telepon genggam) WhatsApp Group (WAG). Pada sebuah foto, tampak layar lebar di tembok ruangan sebuah rumah. Rupanya seorang umat memancarkan siaran langsung MJJ melalui peralatan infocus. Umat ini bukan saja serius mempersiapkan peralatannya, tetapi tentu saja ia juga mempersiapkan hati dan pikirannya menyambut Tuhan Yesus.
Pada foto lain di rumah yang berbeda, tampak sebuah televisi menyala menyajikan siaran MJJ di mana di depannya tersedia sebuah meja kecil bertatakan selembar kain putih layaknya altar dan di atas meja terdapat salib Kristus yang diapit oleh dua buah lilin menyala di kanan dan kirinya. Situasi ini seperti yang umum kita temui saat akan ada misa di Lingkungan atau Wilayah.
Sementara itu pada foto yang lain lagi, di rumah dan di Wilayah yang berbeda pula, tampak dari sisi belakang, dua orang ibu berdaster, duduk di sofa empuk menghadap televisi dengan kedua kaki tertekuk di muka dada, di atas sofa dan kedua tangan memeluk kedua lututnya.
Kendati telah banyak anjuran disampaikan lewat media sosial tentang “Tata Cara yang Baik” untuk hadir dalam MJJ, kiranya bukan karena anjuran itu maka kita harus “layak” tampil, tapi semata-mata karena kita sadar akan “berhadapan” dengan Tuhan. Semoga pada MJJ berikutnya kita tampil lebih siap dan lebih baik lagi. Ya…, semoga. Tuhan memberkati.
(Henricus Poerwanto/AJ)
*Penulis adalah Koordinator Wilayah Paroki BMV Katedral Bogor Periode 2019–2021.