Anda di sini
Beranda > Mutiara Biblika > Merantau

Merantau

Loading

Lukas 4:16 Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab.

situasi kampung dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan yang sangat berarti sekalipun dunia sudah memasuki masa milenial. Perubahannya paling terletak pola hidup yang berbeda, setidaknya emak-emak yang dulu biasa memegang centong nasi, sekarang sudah bisa pegang HP untuk selfie. Sekarang kampung itu menjadi kenangan bagi siapa saja yang pernah tinggal dan kini merantau. Pada umumnya orang-orang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pekerjaan di kota. Orang-orang merantau itu biasanya tidak kembali lagi karena kebanyakan mereka meneruskan hidup berkeluarga di tempat rantauan. Ketika mempunyai waktu, mereka akan mudik sebentar sekadar  menengok saudara-saudara yang masih ada, sekaligus biasanya ziarah ke makam leluhurnya.

Kampung itu memang mempunyai pesona tersendiri bagi setiap orang yang pernah hidup di dalamnya. Kesulitan hidup saat hidup di kampung pun tidak pernah membuat seorang melupakan. Justru kejenuhan hidup di perantauan sering kali menghantarkan angan yang begitu dalam ke masa lalu untuk kembali. Masa-masa lalu ingin mereka rasakan kembali dengan kembali kepada tindakan sederhana. Mengunjungi sanak saudara, handai tolan yang tentunya sudah berubah bentuk, tetap menjadi tujuan. Semua itu terjadi karena setiap manusia pasti mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri. Semua kenangan itu pasti akan muncul saat merasa penat di perantauan. Kerinduan yang mendalam akan kampung halaman susah diobati. Semuanya hanya bisa diobati dengan pulang sebentar, seraya menghilangkan kepenatan. Kepahitan hidup di perantauan akan segera hilang dan tersembuhkan ketika orang bisa pulang kampung dan menikmati alam kampung yang tidak banyak berubah. Semua itu adalah bentuk dari rasa memiliki kampung, setidaknya kampung itu telah ikut mewarnai hidupnya.

Demikian juga Paijo, orang yang setia menunggui kampung halamannya. Dia pun juga merindukan kebersamaannya dengan teman-temanya yang kebanyakan sudah merantau dan sukses di kota. Ingat kala nonton wayang bersama, nonton layar tancap, bahkan kadang mancing belut dan mencari ikan di sungai. Sekalipun hasilnya tidak seberapa, kebersamaan itu membuat rasanya ingin terulang lagi. Kini angan-angan Paijo itu mesti tertunda karena pandemi masih melanda. Semua orang menahan kerinduannya untuk melihat kampung halamanya. Semuanya mempunyai rasa yang sama, yaitu keinginan bertemu dan bergembira bersama sekalipun hanya sebentar.

Kini Paijo hanya sendiri di rumah dengan kambing-kambingnya, hidupnya hanya dari serabutan kerja kasar di kampung. Kambing-kambing yang sudah besar dijual dan hidupnya dari situ. Sementara kebon kecil samping rumah ditanami sayur dan singkong untuk menambah kehidupannya. Setidaknya usaha itu masih bisa menghidupi dirinya sendiri. Pacul dan sabit menjadi pegangan setiap hari, itu menjadi alat kerjanya. Situasi memang telah berubah, Paijo harus menghadapi itu dengan tabah. Sebab semua akan mengalami situasi seperti ini.

Siang itu Paijo sedang mencangkul dan menanam sayuran di kebon samping rumahnya. Matahari saat itu sangat terik, tetapi Paijo tidak menghiraukan semua itu. Jika ingin makan ya bekerja itu nasihat Simbok saat masih bersamanya. Ternyata nasihat itu pun diambil dari kata-kata Santo Paulus. Jadi nasihat itu sangat mengena dalam diri Paijo. Maka Paijo tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk bekerja. Setelah beberapa waktu, Paijo melihat pohon pisang sudah siap dipanen. Maka sabit itu segera diayunkan dan dipotonglah pohon pisang itu. Lumayan bisa untuk makan. Kebon itu pun sepertinya tahu bahwa Paijo butuh makan, maka pisang-pisang itu pun silih berganti bisa dipanen tanpa henti.

“Kring, kring, kring,” terdengar suara bel sepeda berdering di depan rumah. Namun, Paijo tidak menggubrisnya karena masih di kebon membersihkan pohon pisang yang baru saja ditebang.

“Kring, kring, kring, Jo, Paijo,” suara bel sepeda disertai seruan memanggil nama Paijo.

“Iya, saya ada di kebon, sebentar,” jawab Paijo seraya teriak. Paijo pun belum juga beranjak karena Paijo ingin merampungkan kerjaannya biar tidak berantakan.

“Kringgggggg, Kringgggg, Kringgggg,” suara bel sepeda itu makin keras seakan meledek Paijo. Bahkan suara sepeda itu terdengar lebih dari satu.

“Ah, siapa ini, ganggu orang kerja saja,” gerutu Paijo. Segera Paijo pun menemui tamu yang teriak-teriak.

“Iya, bu, ibu mencari siapa?” tanya Paijo karena kedua tamu itu tertutup mukanya dengan masker. Sementara itu, Paijo dengan baju dinas di kebon, alias kaos sobek-sobek dengan menggunakan topi lusuh.

“Apakah ini rumahnya Paijo?” tanya salah satu ibu itu dengan gaya bahasa orang kota.

Iya, betul bu, betul bu,” silakan duduk. Biar saya ganti sebentar.

Tidak usah Jo, Paijo,” biar pakai begitu saja biar asli.

Hmmmmm,” Paijo mulai mengenal gerak dan suaranya, tetapi sungkan bertanya.

Boleh kami ke kebon?” tanya salah satu tamu itu.

Iya, boleh, tetapi kotor. Ibu-ibu ini bersih masa mau pergi ke kebon,” jawab Paijo

Iya, gak papa,” jawab salah satu ibu.

Wah baru panen pisang ya, boleh dong digoreng sambil minum teh?” tanya salah satu ibu sekalipun dalam hatinya ibu itu tersenyum-senyum karena Paijo belum berani nebak.

Oh silakan, silakan jika ibu-ibu berkenan, saya tidak mempunyai minyak dan teh untuk menjamu ibu-ibu,” sahut Paijo.

Dahhhhh, tenang saja, kami membawa kok, semua itu,” seru ibu.

Maaf, saya tidak masak enak,” sahut Paijo

 “Ahhhh tenang, saja, biar saja saya yang masak,” sahut ibu itu.

Ahhhhhhh,” Paijo mulai curiga bahwa itu pasti Menik dan Yanti yang sengaja ngerjain dirinya. Tidak mungkin ada tamu minta pisang terus mau masak di rumah dan semua perlengkapan sudah disiapkan. Namun, kedua ibu itu pun belum membuka maskernya yang tertutup rapat bahkan mereka berdua juga memakai kacamata hitam sehingga Paijo tidak mengenai dengan baik. Paijo merasa heran dan senang, karena ia dapat kunjungan sekalipun misterius. Akan tetapi, Paijo sudah mulai mengenal saat mereka berdua berjalan di depan, karena mulai mengenalinya.

Menikkkkkkk, Yantiiiiii, dasar ya,” teriak Paijo dari belakang.

Haaaaaaa. Haaaaaa,” Menik dan Yanti pun berbalik sambil tertawa. Mereka pun akhirnya berjabat tangan dan segera masak pisang goreng dan minum teh panas. Mereka pun akhirnya duduk di depan rumah tempat biasa bertemu.

Jo, Paijo. Saat masih ada Simbok, semua disiapin, kini kamu harus mandiri,” seru Menik dengan logat aslinya, tidak dibuat-buat seperti tadi.

Iya, semua ada waktunya, kalau istilah milenial saya menjalani new normal, alias tanpa Simbok” jawab  Paijo sambil tersipu.

Dalam rangka apa, kalian pulang kampung?” tanya Paijo.

Ya, kangen kampung Jo. Kan Yesus saja juga mudik ke kampung tempat dibesarkannya heeee,” jawab Yanti seraya minum teh panas.

Ohhhhh, aku kira kangen aku, heeee,” jawab Paijo.

Ahhhhh, enggaklah,” jawab Menik dan Yanti serentak seraya meledeknya.

Haaaaaa, iya Jo, Paijo. Pasti kami kangen kamu yang ndesonya tidak bisa hilang-hilang. Di kota jenuh dengan keseriusan, kerja, bising dan susah rasanya menemukan kegembiraan seperti di kampung ini,” seru Menik sambil seruput tehnya dan mengunyah pisang.

Iya pasti, kedamaian itu memang tidak bisa dibeli. Kegembiraan itu juga tidak bisa dibuat-buat, dan kerinduan itu adalah anugerah Allah sendiri,” jawab Paijo.

Wuihhhh so sweet juga Jo, Paijo,” seru Yanti

Kampung ini memang menyimpan banyak kenangan. Sejarah hidup bagi semua orang yang pernah tinggal di sini. Jadi mari kita pelihara kampung kenangan yang indah ini,” seru Paijo seraya minum teh dan makan pisang goreng.

Ayoooo selfie bersama, untuk kenang-kenangan,” sahut Yanti mengeluarkan kameranya yang bagus.

Kami pun akhirnya ber-selfie ria bersama dengan pakaian dinas Paijo dan dua pakaian kota. Sangat kontras.

Satu, dua, tiga, senyummmmm,” seru Yanti dan Menik serentak disertai blitz foto.

 “Duar duerrrr” kilatan blitz yang keluar dari kamera Yanti itu ternyata adalah kilatan petir. Paijo pun terperanjat dan kaget. Ternyata Paijo tertidur pulas di gubuk tempat biasa menggembalakan kambing-kambingnya. Kilatan blitz selfie itu ternyata petir yang sekaligus membangunkan Paijo untuk segera pulang karena kambing-kambingnya sudah pulang semua.

Semprulllllllll, semprul, ternyata hanya mimpi, heeeeee,” seru Paijo menertawakan diri sendiri seraya pulang ke rumah.

Penulis: RD Nikasius Jatmiko | Editor: Bernadus Wijayaka

Leave a Reply

Top