Lukas 15:32 “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”
Kegembiraan merupakan harapan setiap manusia, bahkan semua makhluk hidup pun ikut bergembira karenanya. Pandemi mulai mereda, suasana kehidupan mulai semarak lagi. Orang-orang telah kembali beraktivitas seperti biasa, sekalipun orang harus tetap menjaga protokol kesehatan. Selama pandemi, kita terbatas melakukan aktivitas baik baik kerja, berdoa, maupun sekolah. Anak-anak mengalami kekosongan mengenal gereja dan sekolah secara langsung setidaknya dua atau tiga tahun. Kerinduan manusia berkumpul untuk bercanda ria mempertegas kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial. Akan tetapi, di balik kerinduan itu ada juga orang yang sudah menikmati masa kesendirian, enggan ke gereja, enggan bertemu, bahkan enggan pula ke gereja. Efek dari pandemi itu pasti beraneka ragam. Semua tergantung bagaimana manusia menyikapi itu semua.
Minggu pagi itu, suasana sangat indah. Paijo mengambil sepedanya dan mengayuh seorang diri seraya refreshing jauh dari suara kambing yang selama ini menemani dengan setia. Paijo biasa mengikuti misa Sabtu sore sebab perayaan ekaristi itu menggunakan bahasa Jawa. Jadi hal itu membuat Paijo lebih mantap. Bahasa Jawa telah melekat dalam diri Paijo, bahkan logatnya pun tidak dapat diubah lagi. Itulah budaya yang telah menyatu dalam dirinya hingga kini.
Paijo mengayuh sepedanya ingin mencari suasana baru. Ia ingin memancing di sungai yang kini menjadi luas karena dampak bendungan. Memancing bukan profesinya, tetapi Paijo berusaha, siapa tahu mendapat ikat sebagai tambahan lauk. Bermodal seutas tali senar dan pancing diikat di joran dari bambu buatannya, ia pun berangkat dengan membawa umpan cacing. Sebuah pengalaman baru yang menyenangkan, apalagi suasana sangat mendukung untuk melakukan itu. Semua itu adalah tindakan tambahan untuk mengurangi kejenuhan. Sesampai di tempat itu, Paijo telah melihat banyak orang yang juga memancing, tetapi Paijo tidak mengenalnya. Mereka membawa peralatan yang sangat lengkap, mungkin mereka mempunyai hobi atau profesi sebagai pemancing. Paijo pun mencari spot yang cocok dengan joran bambu buatan sendiri untuk memancing.
Hari makin panas, satu ekor ikan pun belum terpancing oleh Paijo. Sementara itu, Paijo melihat mereka menarik ikan yang menyambar umpannya. Kegembiraan para pemancing itu selalu diluapkan dengan teriakan seraya menarik ikan dari sungai itu. Adapun Paijo hanya bisa mendengarkan kegembiraan mereka. Waktu sudah melewati tengah hari, perut Paijo pun juga mulai berbunyi, tetapi ikan tidak ditangkapnya juga. Paijo pun merasa bosan dan putus asa sehingga ia pun mulai asal-asalan memancing. Niat Paijonya ingin pulang saja karena harapan mendapatkan ikan untuk lauk menjadi gagal.
Saat Paijo berkeinginan untuk meninggalkan tempat, tiba-tiba pancingnya ditarik ikan besar. Paijo bergembira dan kaget mendapat tarikan ikan itu. Namun sayangnya, Paijo bukan mendapat ikan besar, tetapi ia terpeleset dan tercebur di tempat pemancingan itu. Spontan ada seorang bapak membantu Paijo untuk kembali ke darat. Sementara beberapa orang bukan berbelas kasih melihat Paijo kecebur, malah tertawa terbahak-bahak.
“Wahhhh, ikannya, besar sekali,” seru seseorang yang bercanda melihat kejadian itu.
“Wkwkkwkwk,” tertawa serentak melihat kejadian lucu itu.
“Heeee, Hiiiii,” Paijo hanya bisa senyum-senyum kecut seraya menahan malu. Baju basah, ikan tidak tidak di dapat, diketawain banyak orang.
“Aduhhhhhh, malu bingit,” seru Paijo dalam hati.
“Pak, terima kasih ya, telah menyelamatkan saya dari sungai,” seru Paijo kepada seorang bapak yang tadi membantu mengangkat Paijo dari sungai.
“Iyaaaa, nak, tidak apa-apa,” jawab bapak itu yang juga ikut basah karena harus terjun ke sungai menolon Paijo. Sementara lainnya, hanya melihat seraya tertawa tidak ada habis-habisnya. Penderitaan Paijo justru menjadi ruang kegembiraan bagi mereka di sungai, tempat orang-orang memancing.
“Nakkkk, dah pulang saja, ini bapak kasih beberapa hasil pancingan bapak, biar nanti biasa dimasak di rumah,” seru bapak yang baik itu seraya memberikan beberapa hasil pancingan.
“Terima kasih banyak pak, terima kasihhhh,” seru Paijo dengan riang.
Paijo pun segera pulang membawa beberapa ikan dengan baju basah. Kembali sepeda dikayuh seraya mengucap syukur. Pertama selamat dari sungai sebab jika Paijo tidak dibantu bapak, pasti paijo akan hanyut. Kedua, Paijo mendapatkan hadiah. Ketika banyak orang menertawakan, masih ada seorang bapak yang berbelas kasih memberikan hasil pancingannya agar Paijo bisa merasakan nikmatnya makan ikan.
“Syukur Tuhan, masih ada orang yang baik di dunia ini. Saat orang-orang menertawakan, menghina, meremehkan, tetapi masih ada orang berhati malaikat membantu orang lain dalam keterpurukan. Bapak itu contohnya,” seru Paijo dalam hati seraya mengayuh sepeda.
“Kringgggg, kringggg,” Paijo mengayuh dengan membunyikan bel sepeda dengan suka suka cita (Laetare). Banyak cara, manusia bersuka cita dari persoalan kecil hingga besar. Kini Paijo telah digembirakan oleh seorang bapak yang menolong dan memberikan ikan kepadanya.
“Embbbbbekkkkk, embbekkkk,” kambing pun menyambut Paijo dengan gembira pula seraya minta jatah makan.
“Astagaaaaaa,” seru Paijo kaget.
“Saya lupa menanyakan siapa nama bapak yang berbelas kasih itu,” seru Paijo sambil mempersiapkan diri memasak ikan. Paijo pun tidak lupa memberikan kegembiraan kepada kambing-kambingnya yang ditinggalkan sejak pagi dengan memberi rumput dan dedaunan.
“Embekkkkk, embekkkk,” suara kambing seperti mengucapkan terima kasih atas makanan yang diberikan.
“Embekkkkk, embekkkk, makan ikan nih yeeee,” sepertinya kambing itu ingin mengatakan begitu kepada Paijo.
“Heeeeee, Jo, Paijo,” dasar wong Ndeso.
Penulis: RD Niksius Jatmiko | Editor: Bernadus Wijayaka