Matius 21:42 Kata Yesus kepada mereka: “Belum pernahkah kamu baca dalam Kitab Suci: Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru: hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita.
Suara berisik di pagi hari sampai sore itu mewarnai kampung, yang sedang membangun sebuah kapel. Batu dibelah, pasir diayak, dan aneka kegiatan kerja bakti itu begitu begitu meriah. Semua orang yang bisa membantu ikut berpartispasi membangun tempat ibadah itu. Kerukunan kampung itu sangat terasa karena banyak orang ikut membantu dengan caranya. Sekecil apapun bantuan itu sangatlah berharga demi keselarasan semuanya. Suasana kampung sangat menyenangkan, hal itu didasarkan rasa menghomrmati satu dengan yang lain tanpa kecurigaan. Hidup itu saling menghargai dan mengisi untuk membangun sebuah persaudaraan sejati yang tergambar dalam kerja sama membangun kapel ini.
Siang tepat pukul 10.00, terdengar suara bel yang terbuat dari batangan besi. Suara ini menandakan bahwa saatnya minum dan makan snak bersama. Rasa lelah pasti menguras tanaga dan haus pasti telah terasa. Matahari yang mulai terik menguras keringat yang bercucuran dan mengharuskan kita rehat sejenak. Kelompok ibu-ibu tidak ketinggalan ikut berpartisipasi dengan caranya, yakni menyediakan segala konsumsi demi kebutuhan mereka. Pagi itu air teh hangat, gula merah dan juga aneka makanan rebusan: jagung, ubi, singkong, kancang, juga makanan gorengan disajikan untuk para relawan yang membangun kapel itu. Bel itu memberikan waktu mereka rehat sejenak melepas rasa lelah. Mereka pun bergerombol membuat kelompok untuk minum dan melepaskan rasa lelah.
“Jo, Paijo, Ayo minum,” ajak Mbah Mitro yang juga hadir di kerja bakti seraya menyalakan rokok buatan sendiri alias “TINGWE: Linting Dewe”.
“Iya Mbah, terima kasih,” seru Paijo sambil menuangkan air teh hangat itu seraya ambil makan ubi kesukaannya.
“Jo, Paijo. Merokok ngak?” tanya Pak Sarmin yang juga ikut satu kelompok minum bersama dengan Mbah Mitro dan beberapa orang.
“Enggak pak, merokok itu merusak Kapel Allah,” seru Paijo sangat diplomatis karena pernah dengar kotbah itu.
“Kokkkk, Kapel Allah, bukannya Bait Allah, itu ajaran sesat, ” seru Pak Jito yang juga hadir disitu seraya menyeruput teh hangat dengan gula merah.
“Iyoo Jo, Paijo, baru dengar ada Kapel Allah.” seru Bu Sastro yang membawakan makanan dan minuman untuk kelompok itu.
“Ahhhhh, kan Bait Allah itu terlalu besar. Kalau kapel kan kecil. Apalagi kita baru membangun kapel, jadi ya hidup kita lebih gampang kita sebut Kapel Allah,” seru Paijo sambil senyum-senyum ketika menjelaskan plesetannya.
“Dasar kamu, Jo. Itu bukan ajaran santo Paulus, tetapi ajaran Santo Paijo,” seru Bu Santro sambil menepuk bahu Paijo karena merasa dikerjain.
“Ahhhhh, ibu kurang Bahasa gaul. Sekalipun kita di desa, tetap harus gaul. Kan gereja itu universal, termasuk kapel. Jadi sekalipun kita misa di kapel ini nanti dengan misa di Basilika di Roma sana, atau di Bait Allah sana. Semua tata cara dan doanya adalah sama. Jadi semua umat Allah yang disatukan di dalam sakramen babtis itu sama,” jelas Paijo dengan semangat.
“Jo, Paijo. Bisa juga kamu menghubung-hubung-hubungkan,” seru Bu Satro seraya juga ikut minum bersama dengan kelompok ini.
“Jo, Paijo. Kita bisa menyerap banyak pengalaman iman melalui kerja bakti ini. Coba kamu lihat. Semua yang membangun kapel ini tidak semuanya orang katolik. Itu pertanda sebuah kebaikan, karena mereka ikut ambil bagian dalam menyiapkan tempat doa kita. Mereka ahli-ahli bangunan, sementara kita hanya bisa membantu untuk mengangkat batu, mengayak pasir dan mesisakhan batu dengan pasir. Sementara mereka bisa membuat kapel itu berdiri kokoh dan nyaman untuk berdoa,” jelas Mbah Mitro
“Iya Mbah, betul sekali. Justru saya melihat sisi lain. Percampuran semen, pasir, gamping, dan batu itu, simbul persatuan yang sangat kuat dan kokoh. Coba kalua mereka tidak bersatu, maka bangunan itu tidak akan menjadi kaut. Dipadu juga dengan aneka kayu yang menopang satu dengan lainnya. Itu semua adalah simbol kehidupan kita yang saling keterkaitan satu dengan yang lain. Semakin ikatan persaudaraan kita kuat maka semakin kuat pula hidup kita di dunia,” seru Paijo.
“Wuihhhhh Jo, canggih juga nalarmu,” seu pak Jito sambil menyeruput teh manis itu lagi dengan mengepulkan asap rokok.
“Perbedaan inilah yang harus menjadi pondasi hidup. Mungkin kita sering tidak diperhitungkan, namun bisa jadi kita sangat berarti. Pondasi itu tidak tampak dalam sebuah bangunan, namun justru itu menopang seluruh bangunan, Demikian kita tidak boleh minder karena tidak tampak, tetapi harus ikut andil membangun kehidupan yang kokoh,” imbuh Paijo seperti sedang berkotbah.
“Iya Jo, Paijo, setuju cara mikirmu. Kamu tidak sedang mabuk minum teh kan Jo, Paijo?” imbuh Mbah Mitro seraya mengunyah singkong dengan lucu, karena giginya sebagian mulai ompong. Heeeeeee.
“Jo, Paijo saya setuju cara mikirmu. Ada nilai kristiani yang bisa kita ungkapkan dengan peristiwa ini. Pondasi itu paling utama. Batu-batu itu menjadi penopang bangunan dan indahnya kapel itu. Bisa bayangkan jika batu yang dibuang tukang bangunan itu tidak berkualitas, indahnya kapel dan bangunan itu tinggal menunggu runtuhnya,” Seru Pak Sarmin
“Betul juga. Jika persaudaran kita satu dengan yang lain tidak kokoh maka kita tinggal menunggu perpecahan sebuah keharmonisan kehidupan itu,” Imbuh Pak Jito.
“Apa hubungannya bahwa itu lebih kristiani?” tanya Paijo lebih dalam biar seperti intelk dikit heeeee.
“Jo, Paijo. Pondasi itu ibarat iman kita. Secakep-cakepnya kita, sekuat-kuatnya kita, tetapi kalua iman kita rapuh maka tinggal menunggu waktu. Pondasi tidak terlihat, tetapi sangat vital fungsinya, demikian iman tidak terlihat kasat mata, tetapi sangat vital fungsinya,” jelas pak Sarmin yang sangat luar biasa. Beliau adalah katekis jadi ulasannya lebih mendalam.
“Yaaaaa, luar biasa. Jadi hari ini kita tidak hanya kerja bakti membangun Kapel saja, tetapi juga membangun kapel iman,” seru Paijo dengan Bahasa gaul lagi.
“Nahhhh lho, ada istilah baru lagi, Kapel iman, heeeee,” seru Bu Sastro seraya geleng-geleng kepala.
Setelah 30 menit istirahat kami pun meneruskan kerja bakti membantu para tukang bangunan itu menyelesaikan kapel itu. Dengan santapan seadanya itu membuat fisik semakin berisi lagi. Kami siap meneruskan membangun kapel itu.
“Aduhhhhhh,” terdengar suara Paijo menjerit
“Kenapa Jo,” seru Bu Sastro yang segera mendatang Paijo.
“Nginjek Paku Bu,” seru Paijo sambil meringis kesakitan.
“Ohhhhhh, itu gak papa, itu namanya Paku Kapel,” seru Bu Sastro sambil ketawa meninggalkan Paijo.
“Joooooo, Paijo, dasar wong Ndeso. Ada-ada saja: Kapel Allah, Kapel iman, sekarang baru ada PAKU KAPEL,” seru Mbah Mitro seraya menolong Paijo mengobati dengan betadine.
(RD Nikasius Jatmiko)