Anda di sini
Beranda > Mutiara Biblika > Perawan Maria

Perawan Maria

Loading

Keluaran

3:2 Lalu Malaikat TUHAN menampakkan diri kepadanya di dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Lalu ia melihat, dan tampaklah: semak duri itu menyala, tetapi tidak dimakan api. 3:3 Musa berkata: “Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?”3:4 Ketika dilihat TUHAN, bahwa Musa menyimpang untuk memeriksanya, berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepadanya: “Musa, Musa!” dan ia menjawab: “Ya, Allah.”3:5 Lalu Ia berfirman: “Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.”

Musim buah mangga dan rambutan telah tiba, itu pertanda bahwa akhir tahun telah pelupuk mata. Waktu yang indah saat menyambut sang Imanuel di dalam hati kita sebagai orang Katolik. Ornamen Natal telah mulai terpajang di etalase pertokoan, ikut menyemarakan suasana menjelang Natal. Hari Natal selalu ditunggu oleh siapa pun di seluruh dunia, sekalipun tidak semua orang merayakan. Setidaknnya mereka ikut meramaikan dalam susasana gembira dengan mengisi liburan di penghujung tahun dan awal tahun baru.

Kegembiaraan ini juga semerbak di kampung kami. Alam pun ikut menyambutnya dengan mengeluarkan buah-buahnya sebagai menu alami bagi manusia bahkan bagi kelelawar malam pun ikut berpesta. Melimpahnya hasil buah-buahan di kampung kami adalah wujud anugerah Allah melalui alam ini. Alam ikut berbagi menyambut sang Imanuel di dalam hati setiap orang, alam memberikan hasil agar manusia bergembira karenanya.

Pagi itu selepas memberikan makan rumput ke kambing-kambing seperti biasanya, Paijo segera mengambil sepeda tua ke rumah nenek Inem. Hal ini sudah menjadi kebiasaan Paijo pergi menjenguk ke sana menjalang Natal. Di tempat nenek Inem itu juga banyak pohon buah yang siap dipanen. Keinginan ke sana itu semata-mata juga belajar ilmu kehidupan yang sering kali nenek wejangkan kepada Paijo. Ilmu kehidupan berdasarkan apa yang nenek Inem jalani selama ini seorang diri setelah ditinggal anak-anaknya pergi. Pergulatan hidupnya sangat sarat dengan makna, setidaknya bisa menjadi pelajaran bagi anak-anak muda.

Kring, kringgg, bunyi bel sepeda itu mengiringi perjalanan Paijo menuju ke rumah nenek Inem. Kayuhan itu membuat tenaganya sedikit terkuras, tetapi itu semua tidak mengurangi niatnya berkunjung ke nenek Inem. Perjalanan dengan sepeda itu terasa sangat ringan dengan melihat alam yang semakin hijau karena hujan menyirami bumi. Persawahan pun juga sudah ikut menebarkan senyum merekah menyambut sang surya di pagi itu. Demikian juga burung-burung pun riuh bersiulan mengiringi perjalanannya Paijo. Mereka seakan memberi semangat pada untuk terus mengayuh sepeda dengan tersenyum.

Satu jam telah terlewati, Paijo pun segera sampai di rumah nenek Inem. Segera saya ke halaman rumah untuk menyandarkan sepeda dan segera mengetuk pintu rumah nenek Inem pada pagi itu.

“Nek, nekkkk. Selamat pagi,” seru Paijo

“Iya, silakan masuk, nenek ada di dapur,” jawab nenek Inem.

Segera Paijo pun masuk dan menyusul ke dapur seperti rumah sendiri. Sesampainya di sana Paijo melihat nenek sedang menanak nasi dan nampaknya sudah punya feeling bahwa akan ada orang datang sehingga menanak nasi lebih dari biasanya. Juga terlihat ada ikan asin yang sedang digoreng dengan minyak kelapa buatan sendiri. Tinggal membuat sayur yang juga diambil dari kebun.

“Nek, met pagi,” seru Paijo sambil mencium tangannya yang semakin keriput.

“Met, pagi Jo, Paijo,” sahut nenek Inem yang hanya mengenakan kemben seperti orang dusun pada umumnya.

“Tumben sendirian?” tanya nenek Inem.

“Iya nek, tadi saya tiba-tiba pingin main ke sini, jadi tidak janjian dengan teman-teman,” jawab Paijo.

Paijo pun ikut membantu nenek Inem mempersiapkan semua itu. Paijo membuat teh panas dengan air yang sudah masak juga. Minum teh di sini tidak menggunakan gula pasir, tetapi gula merah sebagai pemanis. Demikian cangkir yang digunakan pun dari seng yang kuno itu. Selang beberapa semua sudah siap dan matang. Saya pun ikut mempersiapkan semua itu di ruang depan, yakni balai-balai beralaskan tikar. Bau ikan asin goreng, sambel terasi, dan sayur daun singkong itu seperti menggoda perut ini. Rasanya sudah tidak tahan lagi untuk mencicipi. Akhirnya setelah semua selesai, kami berdua duduk di balai itu sambil makan dan minum teh. Sebelum makan Paijo memimpin doa supaya nenek Inem ini ditemani dalam terutama dengan iman yang sama.

“Wahhhh, nek. Saya kebetulan belum makan. Makanan ini telah menggoda perut saya, nek,” seru Paijo.

“Jo, Paijo. Ayo jangan malu-malu makan semuanya,” sahut nenek Inem itu dengan senang hati.

Kami pun melahap masakan itu dengan senang hati. Ini makan pagi atau makan siang rasanya tidak penting, yang penting makan pertama di hari itu. Jika dikatakan sarapan kok sudah siang, tetapi dikatakan makan siang kok belum sarapan. Jadi makan pagi dan siang dirapel. Selesai doa, kami pun makan.

“Jo, Paijo, Ayo habisin, gak usah malu-malu,” seru nenek Inem.

“Ya, nek, siap,” jawab Paijo dengan senang hati.

Selepas makan dan minum teh selesai, saya membersihkan semuanya dan mengembalikan ke belakang. Sementara nenek Inem juga ikut serta beberes tempat. Semua makanan sudah dihabiskan. Kini tinggal duduk-duduk di depan rumah seraya berbicang-bincang.

“Nek, setiap akhir tahun rasanya hati ini senang sekali, seakan saya ini dilahirkan kembali,” seru Paijo.

“Nak Paijo, akhir tahun kan identik dengan Natal, jadi memang suasana itu pasti akan selalu terbawa. Natal memang masa yang selalu dinanti orang. Bahkan alam pun ikut menyambutnya dengan mengeluarkan buah-buahnya. Kegembiraan itu pun dinikmati oleh alam semesta. Alam ini seakan ikut menggemakan suara ‘Gloria in Excelsis Deo’,” kata nenek Inem.

“Wah nenek Inem hebat, bisa menyanyikan lagu Latin, heeee,” seru Paijo sambil ketawa.

“Ya, kan nenek orang Katolik yang kuno, jadi masih akrab dengan lagu-lagu Latin. Walaupun tidak seorang pun dari anak nenek yang mengucapkan Selamat Natal kepada nenek, syukurlah nak Paijo, selalu hadir untuk menemani nenek pada saat Natal seperti ini,” seru nenek terharu seraya menyanyikan lagu Gloria in excelcis Deo sekalipun sedikit fals.

“Wah, nenek masih bisa menyanyikan lagu itu,” sela Paijo.

“Nek, nenek kan sudah lama menjadi Katolik walaupun sekarang susah pergi ke gereja. Pasti nenek tahu ajaran gereja katolik yang nenek terima dari pastor-pastor Belanda saat itu. Kenapa sih Nek, Bunda Maria tetap perawan sekalipun melahirkan putranya. Saya sering ditanya itu sama teman-teman, tetapi saya tidak bisa menjawab,” tanya Paijo.

“Jo, Nak Paijo. Dulu Pastor Belanda itu pernah memberikan pengetahuan itu kepada saya di dasarkan pengalaman Musa ketika ketemu Malaikat di semak berduri. Malaikat utusan Allah itu seperti api menampakkan kepada Musa. Anehnya semak berduri itu tidak terbakar oleh api menyala itu. Padahal api itu itu mempunyai karakter membakar dan menghanguskan. Namun kenapa semak berduri itu tidak terbakar,” jelas nenek

“Terus apa hubungannya dengan keperawanan Maria?” tanya Paijo lebih mendalam.

“Jo, nak Paijo. Allah bisa hadir dalam bentuk apa saja. Hal itu dikarenakan Allah adalah Mahakuasa. Kehadiran Allah dalam bentuk apa saja itu sifatnya tidak merusak, justru melindungi. Api itu tanda kehadiran Allah tidak merusak semak berduri itu, demikian juga kehadiran Allah dalam diri Maria, sabda sudah menjadi daging, tidak pula merusak keperawanan Maria,” jelas nenek.

“Wahhhhh, ingatan nenek sangat luar biasa. Saya sekarang paham. Jadi nanti kalau ditanya teman-teman saya sudah bis menjawab dengan gamblang,” seru Paijo.

“Terima kasih ya nek, ada pemahaman baru yang boleh saya terima hari ini. Sekarang saatnya saya mau ambil rambutan ya, nek,” seru paijo,

“Silakan Jo, ambil banyak, jangan lupa dibawa pulang juga untuk Simbokmu,” seru nenek Inem.

Bergegas Paijo ke belakang rumah untuk mengambil rambutan. Dengan semangat Paijo segera memanjat dan memetik buah rambutan yang matang.

“Gedubrakkkkkkk,” terdengar suara jatuh.

“Jo, rambutan pada jatuh ya,” seru nenek dari depan rumah.

“Bukan rambutan yang jatuh nek, tapi saya yang jatuh dari pohon bareng dengan rambutannya,” seru Paijo sambil meringis kesakitan dan menahan malu.

“Jo, Paijo. Untung pohonnya pendek,” seru nenek Inem sambil menahan ketawa karena melihat celananya sobek, padahal tidak bawa ganti. Jadi ya mesti tetap memakai celana robek pulang ke rumah sambil membawa rambutan.

“Nek, terima kasih ya. Saya langsung pulang, nanti kapan-kapan datang lagi,” seru Paijo segera mengayuh sepeda dan membawa rambutan.

“Iya jo, Paijo, hati-hati dijalan itu celana sobek, jangan sampai ada yang terbang,” seru nenek Inem seraya ketawa.

 (RD Jatmiko)

Leave a Reply

Top