Mateus 5:11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. 5:12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.
Suasana natal telah selesai, kini beralih tahun baru. Banyak kenangan baik dan buruk hadir menghiasi kehidupan setiap orang. Tahun baru memberikan sebuah harapan bagi setiap orang untuk menatap masa depan lebih baik. Semua itu menjadi gambaran indah pada waktunya ketika semua pengalaman itu menjadi satu paduan dalam hidup ini. Sebaliknya pengalaman pahit bisa menjadi kendala yang tidak kunjung berhenti menghantui perjalanan hidup itu. Orang sering berkubang dalam pengalaman pahit itu dan tidak menatap masa depan dengan lebih cerah, waktu terus bergulir, namun orang masih ada di waktu lama yang tidak akan maju-maju atau bahkan orang suka berkubang dalam masa kepahitan itu.
Suasana ini ditangkap oleh pastor paroki di kampung untuk mengumpulkan para remaja setengah tua, agar mereka bisa menatap hari lebih optimis. Paijo dan teman sebaya itu seperti terjebak pada pola lama bahwa mereka tidak bisa berkembang. Kampung seakan memenjarakan seseorang sehingga mereka ada dalam rutinitas seperti waktu yang bergulir dari detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun dengan urutan yang sama. Urutan itu tidak menunjukkan variasi yang signifikan, sehingga menjadi pola Paijo yang seakan juga tidak berkembang dari waktu ke waktu.
Malam tahun baru dipakai untuk acara kaum muda, mereka dikumpulkan di paroki itu seraya menjalankan ritual baru, semangat baru, dan tentu dengan makanan baru. Mereka dikumpulkan bersama sejak sore dan diajak untuk mencoba merefleksikan perjalanan setahun yang sebentar lagi akan ditinggalkan. Suasana ini sangat mendukung karena semua hadirin sepantaran dan peristiwa ini sebagai ajang bagi mereka untuk saling mengenal sesama orang muda katolik. Suasana itu bertambah seru ketika orang-orang kota juga pada pulang mudik mempergunakan waktu itu dengan baik. Semua itu adalah wahana mereka saling bertemu dan belajar satu dengan yang lain dengan cara berbagi pengalaman.
Makanan dari hasil bumi pun menemani di malam itu sebagai teman ngobrol. Awal pertemuan itu dimulai dari pastor paroki menyambut dan memberikan wejangan. Kemudian frater yang sedang tugas disitu memberikan renungan, sekaligus menghantar sharing. Kelompok dipilih sesuai dengan kenyamanan hati mereka. Tujuannya biar mereka semua bisa memebrikan dan membagikan pengalaman hidupnya. Tampaknya, semua antusias karena ada rasa kebersamaan dalam keluarga besar anak muda. Demikian pun Paijo ambil bagian bersama teman-temannya bergabung untuk berbagi pengalaman bersama.
“Jo, Paijo. Bagaimana perasaanmu di tahun ini?” tanya Parman memulai pertanyaan agar suasana tidak terlalu vacum.
“Hmmmmmm, ya biasa-biasa saja,” sahut Paijo singkat.
“Kalau kamu bagaimana, Min, Paimin?” gantian Paijo bertanya pada orang lain.
“Nahhhhh, bagaimana tho, kamu ditanya saja belum menjawab masa saya harus menjawab,” sahut Paimin sambil tersenyum.
“Aduhhhhhh, aduhhhhh. Dasar Paijo, Paimin, Parman, sama saja. Sekali-sekali berlatih bicara jangan hanya diam saja. Inilah kelemahnmu, punya ide, punya pengalaman, punya pertanyaan, tetapi selalu diam tidak berbicara, bagaimana kalian maju. Cepatnya kalua suruh makan, heeeeeee” seru Yanti ikut nimbrung diskusi dalam satu kelompok yang memang dibagi tiap kelompok 3 cowok dan tiga cewek. Kecuali Yanti, ada juga Menik dan teman dari kota, yakni Sandra.
“Ya mungkin Sandra dulu sebagai pendatang baru,” seru Menik memberikan kesempatan.
“Ya, pertama perkenalkan nama saya. Orang memanggilku Sandra, lengkapnya Aleksandra Natalia,” seru Sandra dengan suara kas orang kota.
“Ya, saya sangat bersyukur, bahwa saya boleh ambil bagian bersama teman-teman di kampung ini. Ya, budaya kota mungkin sangat berbeda dengan kampung ini. Saya sangat senang sekalipun baru pertama. Di kota saya merasa tidak punya teman. Orang kota sih banyak, tetapi sangat individual. Jadi kecendengan orang teman-teman saya itu dekat dengan saya jika menguntungkan, jika tidak ya ditinggalkan. Namun sekarang saya merasa punya komunitas, sehingga rasanya sangat senang, ketemu kalian yang deso-deso ini, heeeee,” canda Sandra mulai mencairkan suasana.
“WUihhhhhhhh, hebat bingit,” seru Menikkkkkk memberi apresiasi.
“Sekarang giliran yang cowok,” kata Sandra pingin dengar.
Kami pun saling pandang memandang untuk memberikan kesempatan agar mereka bisa berbagi pengalaman. Namun sampai beberapa menit pun masih membisu.
“Ya sudah, saya nunjuk yang paling ndeso yang dari tadi senyum-senyum,” seru Sandra.
“Nahhhhhh, itu Paijo,” seru Yanti
“Ayo Paijo. Kamu disuruh memberikan sharing pengalaman, setidaknya di akhir tahun,” pinta Parman dan Paimin serentak sambil ketawa.
“Ya, kalau saya sih sepertinya tidak sehebat Sandra. Saya sendiri kan orang ndeso, besar di ndeso, dan hidup di ndeso pula. Kambing menjadi teman terdekatku setiap hari. Jadi cara mikir saya mungkin ya sebatas dan sekitar dunia ndeso dan tidak intelektual,” seru Paijo mengawali sharing.
“Jo, Paijo, kami dah tahu, kamu memang ndeso bingit. Ayo Sharingkan pengalamanmu, kan motto kita tersenyum selalu untuk sesama sekalipun dihina,” seru Yanti dan Menik serentak.
“Ohhhh, gitu,” sambut Sandra menyetujui.
“Ayo lanjutkan,” pinta Sandra.
“Saya sih hanya sering merasakan kenapa ya, orang ndesa saya seperti ini sering dihina. Apa mentang-mentang muka saya ini tampang ndeso, sehingga orang mudah memaki-maki saya. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Ya, saya sih sadar bahwa kedesoan saya ini tidak bisa hilang, tapi kenapa orang masih tega menghina saya sampai sekarang,” kata Paijo.
“Jo, Paijo, bukannya justru dengan penghinaan itu kamu menujukkan nilai kristianitasmu,” kata Yanti menguatkan.
“Saya tidak tahu, itu menguatkan atau melemahkan. Namun ketika saya mencoba menerima realita, makin senang orang itu menghina saya,” seru Paijo.
“Jo, Paijo. Ingat injil Matius, berbahagialah orang yang dihina, difitnah dan sebagainya, karena kamu akan dapat kebahagiaan nantinya,” timpal Menik menguatkan.
“Jo, Paijo. Kita sama,” seru Parman dan Paimin.
“Itu pengalaman kita bersama, semoga di tahun baru pengalaman itu tidak menjauhkan iman kita, tetapi justru membuat kita semakin dekat dengan Tuhan,” kata Paimin menimpal karena mempunyai pengalaman yang sama. Setidaknya sama-sama wong ndeso.
“Iya, Jo, Paijo memang kadang sakit, namun justru kita berani menerima dengan lapang dada agar kita bisa koreksi diri untuk hidup lebih baik. Kita merasa berbuat baik belum tentu orang lain memahami kita berbuat baik. Jadi lebih baik kita yang koreksi diri seraya tersenyum menghadapi realitas ini,” imbuh Parman memperkuat.
“Iyaaaaa, iyaaaa. Sebantar lagi tahun akan kita tinggalkan, pangalaman pahit kita hapuskan, mari kita menatap tahun baru penuh dengan suka cita dan optimisme. Paling penting yang kita perhatikan, ‘jangan melukai orang yang menghina kita’, melainkan kita selalu mendoakan mereka. Dengan demikian kita dipanggil menjadi pembawa damai seperti pesan natal yang dibawa oleh Kristus yang telah lahir. Biarlah mereka puas menyakiti, namun janganlah kita menyakiti mereka. Tetap tersenyum menatap masa depan kita dengan damai,” nasehat Yanti.
“Iya, teman-teman, pengalaman akan selalu ada meliputi hidup kita. Jadi marilah kita selalu terbuka akan kebaikan, terbuka akan masa depan, terbuka akan sebuah harapan yang baik,” seru Menik menambahkan.
“Tellllll tenggggg, tengggg,” suara lonceng terdengar bahwa misa malam tahun baru siap dimulai. Sharing belum selesai, namun bell telah memberikan tanda untuk berkumpul bersama di gereja. Kita mempersembahkan semua kehidupan kita, terutama kepahitan masa lalu, dan membuka kehidupan masa depan dengan baik.
“Caiyooooooo, Caiyoooo,” kata Sandra mengakhiri sharing itu dan kami pun menuju gereja untuk misa.
“Jo, Paijooooo, wis Jo, ditrimo wae,” seru Paijo dalam hati seraya masuk gereja.
(RD Nikasius Jatmiko)