Mat 13:32 Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.”
Hujan tiada henti membuat suasana kampung menjadi hijau. Tumbuhan yang terlihat mengering, lambat laun telah menampilkan tunasnya. Biji-bijian yang terpendam di tanah secara acak pun mulai tumbuh dalam keheningan. Pucuk-pucuk pohon pun mulai juga menghijau. Burung-burung juga riang gembira beterbangan dari dahan ke dahan untuk mencari makan seaya sekali-kali terdengar kicau. Kegembiraan itu terasa ketika para petani dengan cangkul dan sabit pergi ke sawah. Raut mukanya memancarkan kegembiraan sekalipun wajahnya hitam legam tersengat matahari. Alam telah menyatu dalam dirinya sehingga sengatan matahari tidak menjadi masalah bagi mereka untuk menggarap sawah tadah hujan itu.
Terlihat pula, burung-burung blekok, terbang dan sesekali turun ke sawah mencari makanan. Kawanan burung berbulu putih ini mencari kodok atau ikan kecil yang sering kali ada di sesawahan yang mulai tergenang air. Keindahan satwa alam ini menghiasi para petani sudah mulai bercocok padi, bahkan sebagain tanaman sudah menghijau. Sawah itu terhampar luas seperti permadani hijau. Liukan dedaunan padi itu seperti menyapa alam seraya mengucap syukur kepada semua makluk yang hadir di sawah. Ada pula petani menyiangi rumput yang tumbuh di sekitar padi itu, namun ada pula petani yang sedang mulai mencangkul dan menamam. Semua dilakukan biar panen padinya terurutan. Ini merupakan keharmonisan alam yang sangat menyenangkan. Manusia menjaga alam dan alampun mendandani diri dengan keindahnya.
Angin semilir di sawah itu memberikan kenyamanan hati yang sangat mendalam. Alam memberikan balasan yang baik terhadap semua makluk karena manusia telah merawat dengan baik pula. Hamparan hijau padi yang luas itu memberikan gambaran hati yang lapang dan terbuka kepada semua orang. Ini sebuah ajakan agar manusia harus membangun relasi dengan sesama dan alam. Sejauh mata memandang, manusia dimanjakan oleh hamparan hijau yang menentramkan. Alam menampilkan keagungannya dan membuat manusia terpana dibuatnya.
Pagi itu, Paijo pergi ke sawah bukan untuk menamam padi, tetapi mencari rumput yang tumbuh liar di setiap pematang sawah. Alir mengalir di antara pematang sawah itu menambah sejuknya kampung. Sebuah keindahan yang tidak bisa tergantikan dengan harta, hanya bisa dirasakan dengan syukur dan doa. Rumput begitu melimpah di musim ini sehingga membuat Paijo sangat mudah untuk mengumpulkannya. Dalam beberapa waktu, tempat rumput dari anyaman bambu itu telah penuh terisi rumput segar sehingga Paijo bisa istirahat sejenak. Di tengah sawah itu ada gubuk kecil tempat orang berteduh atau istirahat sesaat. Paijo pun dengan peluh yang membasahi tubuh menuju gubuk itu untuk berhenti sejenak dengan perut lapar. Ia pun duduk di situ seorang diri sambil melihat burung-burung beterbangan seraya mencari makan siang itu.
Dalam kesendirian, Paijo manatap indahnya kampung itu. Mata dimanjakan dengan permadani hijau buatan alam itu. Sejenak Paijo berpikir jauh dan membayangkan akan karunia itu. Dia hanya membayangkan jika pulang rumah disambut kambing-kambingnya, tetapi ia mesti harus menanak nasi untuk dirinya yang mulai kelaparan. Semua itu mesti dikerjakan sendiri demi mempertahankan hidup.
“Selamat Siang,” sapa seorang nenek yang membuat Paijo terkejut dan sadar dalam lamunannya.
“Selamat siang juga, nek,” sahut Paijo dengan suara gagap.
“Boleh numpang berteduh, nak?” tanya nenek itu.
“Silakan,” jawab Paijo seraya mempersilakan nenek itu untuk berteduh.
“Nak, sendirian?” tanya nenek itu.
“Maaf nek, panggil saya Paijo,” jawab Paijo sambil tersenyum.
“Sedang ngontrol tanaman padi, ya?” kembali nenek itu bertanya.
“Tidak nek, saya tidak punya sawah. Saya hanya mencari rumput untuk pakan kambing,” jawab Paijo dengan sopan.
“Ohhhh, iya. Baik sekali itu, pekerjaan yang membutuhkan kesabaran,” seru nenek itu.
“Maaf nenek mau ngirim makan ke suami?” gantian Paijo bertanya.
“Tidak nak, saya tidak mengirim makan untuk suami, tetapi saya ini buruh tanam padi. Saya ingin istirahat sebentar sambil melepas lelah. Seharian menamam padi di sebelah sana dan kini saatnya untuk istirahat sambil ngisi perut,” seru nenek seraya membuka bekal yang dibawa.
Melihat nenek itu membuka makanan yang dibawa, perut Paijo terasa digoyang-goyang. Pingin rasanya makan, tetapi tidak mempunyai makanan. Nenek itu membuka makanan, tiwul, sambel trasi, dan ikan asin. Dalam Hati Paijo membatin, alangkah enaknya.
“Nenek mau ke mana?” tanya Paijo.
“Sebentar ya nak,” jawab nenek itu.
Tidak beberapa lama nenek itu kembali seraya membawa daun pisang yang tumbuh tidak jauh dari gubuk itu.
“Nak, terima ini,” nenek itu membagikan makanannya dengan daun pisang yang barusan diambilnya.
Makanan itu sangat sedikit untuk dimakan berdua, tetapi nenek itu tetap membagi.
“Nekkkk, tidak usah, itu untuk nenek saja. Saya masih kenyang,” seru Paijo basa basi, padahal berkali-kali nenek mendengar suara perut dari Paijo yang keroncongan.
“Tidak apa-apa, setiap orang harus selalu berbagi sekalipun hanya sedikit. Jadi terimalah. Ini rezeki dari Tuhan yang tidak boleh ditolak,” seru nenek itu.
“Baiklah nek, terima kasih,” seru Paijo seraya makan tiwul dengan ikan asin itu.
Lumayan sekalipun tidak seberapa, setidaknya memberikan isi dalam perut. Air di pematang itu sangat jernih, jadi Paijo dan nenek itu mencuci tangan di aliran itu. Bahkan Paijo kadang minum dari air itu.
“Nek, terima kasih ya,” sahut Paijo
“Sama-sama nak Paijo,” jawab nenek itu.
“Nak Paijo. Kenyang itu tidak akan selalu memuaskan hidup jika melihat orang lain kelaparan. Lebih baik makan tidak kenyang, tetapi orang lain juga tidak kelaparan. Itu yang perlu kita pahami,” wejang nenek itu.
“Wahhhh, luar biasa, nenek mengajarkan itu,” seru Paijo.
“Nak Paijo, saya bisa kenyang makan, tetapi itu tidak akan menjadi berkah bagi saya sebab saya tahu nak Paijo lapar. Bagi nenek, lebih baik makan sedikit dan tidak kenyang, tetapi semua merasakan berkat,” wejang nenek.
“Iya nek, terima kasih atas pelajaran itu,” seru Paijo.
“Nak Paijo ingat biji itu tumbuh dalam keheningan, tetapi membawa pengharapan. Mereka mempunyai daya dobrak, sekalipun kecil. Biji padi yang kecil itu tumbuh tanpa suara, tetapi memberikan pengharapan akan banyak orang. Beda dengan pohon besar yang tumbang. Suaranya berisik, membuat sekililing rusak, dan membuat kekacauan. Sama dengan makanan yang sedikit ini memberi pengharapan setidaknya mengisi perut kosong sekalipun tidak mengenyangkan. Percuma kita bisa makan kenyang dan menghamburkan makanan jika melihat sekelilingnya pada kelaparan. Banyak orang selfi makan di tempat mewah, tetapi lupa dengan sesama yang kelaparan,” seru nenek.
“Iya nek,” seru Paijo seraya terpaku terhadap penjelasan nenek itu.
“Nak Paijo, jadi biji yang tumbuh tanpa berisik dan memberikan pengharapan kepada sesama. Jadi jadilah seperti biji kecil itu dan jangan membuat kegaduhan yang mematikan,” seru nenek itu.
“Nak Paijo, dah ya, nenek mau melanjutkan kerja,” seru Nenek seraya meninggalkan Paijo.
“Baik nek, sekali lagi terima kasih,” seru Paijo seraya mengangkat rumput hasil menyabitnya. Kegembiraan Paijo terpancar seraya menyanyi memanggul rumput itu di pundak. Paijo sangat senang mendapat pelajaran dari nenek itu, saking senangnya Paijo tergelincir pematang yang licin itu. Ia pun terpeleset dan kecebur di aliran air di antara pematang sawah itu. Rumput yang dipanggulnya pun tumpah sehingga Paijo harus kerja lagi mengumpulkan rumput itu.
“Wuihhhhh semprul, lapar lagi hikkkkkkk,” seru Paijo sambil basah kuyup.
“Joooo, Paijo dasar wong ndeso, heeeee,” seru Paijo dalam hati seraya menertawakan dirinya sendiri atas tindakannya.
Penulis: RD Nikasius Jatmiko | Editor: Bernadus Wijayaka