
[BOGOR] Setelah dikunjungi oleh para saudara dina di hari sebelumnya, ratusan umat memenuhi Kapel Sacra Familia pada Minggu (22/12). Banyak umat hadir untuk mendoakan Uskup Emeritus Keuskupan Bogor itu, serta pulang dengan berbekal cerita yang hangat tentangnya.
Misa yang bertepatan dengan Minggu Adven Keempat tersebut dipimpin oleh Mgr Paskalis Bruno Syukur. Hadir pula Uskup Pangkalpinang Mgr Adrianus Sunarko, Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat, Vikaris Jenderal Keuskupan Bogor RD Yohanes Suparta, serta RD Habel Jadera.
Malam itu, homili diberikan oleh Monsinyur Siprianus. Pada mulanya, ia berkata bagaimana kalimat “dari rumah, kembali ke rumah” ia rasa bisa melukiskan Monsinyur Angkur saat ini. “Ia melanglang buana dari kampungnya di Lewur ke Seminari Mataloko. Kemudian, ia ke Jogja untuk melanjutkan formasi pendidikan formasinya menjadi imam. Setelah itu ia melanglang buana kemana-mana. Papua, Jawa. Semua dijalankannya dengan baik,” ceritanya.
Dari semua itu, bukan harta atau kekayaan yang dibawanya. Hal yang selalu dibawa dan ditinggalkan pada setiap pemberhentiannya, menurut Monsinyur Sipri, adalah kesahajaan. Monsinyur Angkur membawa nilai itu dari tanah kelahirannya, bahkan terkristal indah dalam dirinya. Namun kini, peziarahannya selesai dan ia kembali ke rumah yang melahirkannya sebagai Uskup, yakni Bogor.

Buah Pelayanan Monsinyur
Seperti hari sebelumnya, kisah perjalanan Monsinyur Angkur juga hadir pada misa kali ini. Diceritakan oleh Monsinyur Sunarko pada sambutannya, Monsinyur Angkur begitu memegang kuat nilai-nilai Fransiskannya, terutama kemiskinan.
“Seperti karya di Timor Leste, itu bukan di pusat kota seperti Dili, tapi jauh (di pedalaman). Waktu itu rasanya sulit untuk membayangkan, tapi sekarang OFM banyak berkembang di Timor Leste. Itu berawal dari rintisan zaman beliau, melihat sesuatu yang mungkin belum dilihat orang lain,” jelasnya. Begitu juga karya di Labuan Bajo, yang dijalankannya setelah selesai menjadi Uskup Bogor. Dalam berbagai titik perjalanannya, ia menunjukkan kesederhanaan, mengandalkan doa, juga berserah kepada Kristus.
Sebagai pribadi, mungkin Monsinyur Angkur tidaklah sempurna. Jelaslah bahwa tidak ada manusia yang tanpa cacat. Namun dengan rahmat Allah, ia percaya dapat menjalankan tugas dengan baik.
Dalam homili, Monsinyur Sipri juga sempat berbagi kedekatannya pada Monsinyur Angkur. Ia bercerita bagaimana almarhum selalu menghormati dan meminta pendapatnya terkait berbagai hal. “Uskup sudah makan asam garam, tapi masih meminta pendapat uskup muda,” ucap Uskup Ruteng itu, yang juga kerap menyaksikan pendirian kuat, pelukan, dan senyum tulus Monsinyur Angkur.
Hal ini tatkala membuatnya mengajak umat berefleksi, tentang sudahkah dan dapatkah mereka melakukan apa yang dilakukan Monsinyur Mikael serta Maria yang mengunjungi Elizabeth (kisah pada Adven keempat). “Sudahkah kita melakukan perjalanan ke rumah? Dalam konteks ini, artinya, sudahkah kita melakukan perjalanan ke tengah hidup orang lain? Membawa hidup dan meninggalkan jejak kedamaian di sana,” pungkasnya.
Kematian mungkin tidak menjadi topik yang ramah bagi semua orang. Namun, nampaknya selalu ada nilai yang bisa dipetik darinya. Dan, dalam konteks kepergian Monsinyur Angkur, nilai itu mungkin adalah tentang kesahajaan dan keberaniannya sebagai pelayan Allah.
Penulis: Celine Anastasya | Editor: Aloisius Johnsis