Lukas
1:38 Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia.
Oktober telah tiba, banyak umat Katolik berbondong-bondong ke gua Maria. Mereka berdevosi kepada Bunda Maria, sehingga setiap Oktober, gua Maria selalu silih berganti dikunjungi tanpa henti. Demikian juga, umat di sekitar gua Maria di Kampung Welas Asih mengawali bulan Rosario pada Oktober ini. Pembukaan bulan suci Maria ini memberikan daya tarik tersendiri bagi umat. Hal itu semakin memberikan semangat ketika banyak orang bersaksi bahwa doanya selalu dikabulkan melalui perantaraan Bunda Maria. Orang memberi nama Gua Maria Welas Asih, artinya gua Maria belas kasih. Melalui Buda Maria kita selalu mendapat belas kasih Allah.
Malam menjelang 1 Oktober, banyak orang berkumpul di Gua Maria Welas Asih untuk menyambut bulan Maria. Sejak sore itu, sudah banyak orang hadir berkumpul untuk ikut meramaikan malam bulan Maria. Hal itu semakin ramai ketika gereja menyerukan untuk berdoa Rosario selama Oktober ini agar dunia terhindar dari segala kejahatan. Keinginan umat bersatu dalam doa itu luar biasa. Hal ini menandakan tingkat ketaatan iman dan semangat membangun perdamian dunia. Dengan doa ini, kita berharap dunia semakin damai karena belas kasih Allah dengan perantaraan Bunda Maria.
Orang-orang silih berganti datang dan ke depan gua dengan menyalakan lilin. Setelah itu mereka mengambil tempat di sekitar gua itu untuk doa Rosario secara pribadi. Ada pula yang selesai doa Rosario langsung ke sumber air untuk membasuh muka. Terlihat mereka menyeka mukanya dengan air itu dengan aneka intensi. Setidaknya air itu memberikan kesejukan dan harapan bagi orang yang kehausan, yakni simbol kehausan iman.
Sore itu saya pun hadir di antara kerumunan orang di depan Gua Maria Welas Asih. Seperti pada peziarah lain saya pun berdoa di gua Maria, tetapi tidak menyalakan lilin. Maklum tidak punya uang untuk membeli lilin. Doa Rosario pun berjalan dengan lancar di antara kerumuan orang yang juga berdoa. Wajah-wajah yang jarang tampak di paroki pun sepertinya hadir pula. Ini pertanda mereka hadir dari berbagai macam kota.
Tepat pukul 00.00, kami mengumandangkan doa Rosario bersama. Jadi kami berdoa Rosario dua kali di tempat itu, baik pribadi maupun kelompok. Malam dengan lilin-lilin menyala, mengantarkan kami ke dalam doa khusuk. Kesempatan luar biasa bagi umat Katolik pada malam ini sebab kami bisa berdoa bersama menyambut bulan Maria. Kita bisa membayangkan ketika seluruh umat Katolik di dunia berdoa bersama, Kristus semakin dimuliakan melalui Bunda Maria, dengan mendaraskan doa Rosario. Surga seperti digoncang agar belas kasih Allah selalu menyelimuti dunia.
Selepas Rosario bersama para peziarah, kami meneruskan misa sebagai pembuka bulan Rosario di Gua Maria Welas Asih. Misa bersama ini tidak mengurangi kekhusukan, sekalipun dini hari. Kekuatan doa bersama mengalahkan rasa kantuk, demi tercurahkan belas kasih Allah melalui doa kepada Bunda maria. Seluruh pelataran di depan gua itu dipenuhi umat yang ingin berdoa kepada sang Bunda. Ini menandakan betapa cintanya umat beriman kepada Bunda Allah, Bunda Gereja, dan Bunda kita. Seorang Bunda pasti akan memberikan belas kasih kepada anak-anaknya, terlebih yang bersimpuh mohon kepadanya. Itulah seruan homili yang diberikan oleh pastor yang memimpin misa dini hari itu.
Bunda Maria adalah bunda segala bangsa yang selalu sedia membuka jalan kepada putra-Nya dengan belas kasih. Patung Maria terbuka menandakan siap menyambut anak-anaknya yang hadir bersimpuh kepadanya. Belas kasih Allah akan hadir ketika manusia mau bersama Bunda Maria yang telah dahulu memberikan teladan hidup untuk selalu setia kepada Kristus Putranya.
Homili itu memberikan semangat hidup umat beriman, terutama kepada umat yang berdevosi kepada Maria. Inilah ciri khas gereja Katolik, yakni harus menghadirkan Maria dalam devosinya. Mengakhiri kotbah itu, imam mengajak umat untuk setia akan iman kita seperti Maria setia kepada kehendak Allah, yang tertulis dalam Injil Lukas.
Selesai misa, kami tidak langsung pulang, karena kami tidak mengendarai motor. Namun, sebagian ada yang langsung pulang karena mengendarai mobil atau motor sendiri. Sekalipun demikian masih banyak pula orang yang tetap tinggal di sekitar Gua Maria Welas Asih sampai menunggu senja tiba. Di sekitar Gua Maria Welas Asih itu ada aula terbuka yang yang bisa digunakan oleh siapa saja yang ingin merebahkan diri dengan catatan tetap menjaga keheningan. Ada pula beberapa gasebo kecil yang bisa menampung 10-15 orang yang mau istirahat di situ sembari nunggu fajar menyingsing.
Demikian juga kami bertiga, Paijo, Paimin, dan Parman, menunggu di gasebo sampai menunggu fajar tiba. Maklum kami bertiga hanya naik sepeda onthel.
“Jo, Paijo, dan Min, Paimin, istirahat dulu di gasebo ini,” seru Parman.
“Ok,” seru Paijo dan Paimin serentak seraya merebahkan badan.
“Ahhhhhhh,” terdengar Paimin telah menguap keras sekali
“Uhhhhh, ora sopan, heeeee” seru Paijo sambil bercanda.
“Heeeeee, ngantuk Jo, Paijo,” seru Paimin.
“Iya, maklum kita tidak membawa makanan atau minuman, sehingga hanya bisa menguap, heeee,” seru Paimin.
“Iya, iya betul, inilah peziarahan. Jadi kita harus kuat menghadapi situasi ini; Lapar, kantuk, juga capai,” seru Paijo.
Kelelahan fisik itu membuat mereka bertiga terlelap sejenak. Keheningan berganti dengan suara mendekur silih berganti. Ketika itu tiba-tiba kami dikejutkan oleh panggilan seorang.
“Jo, Paijo, Min, Paimin, Man, Parman, bangun,” seru seseorang membangunkannya.
Bergegas mereka bertiga terbangun sambil membuka dan mengusap matanya, untuk lebih jelas memperhatikan siapa yang memanggil. Dua wanita satu berpakaian kuning dan satu berpakaian merah. Namun, di remang-remang lampu di gua itu, kami belum bisa melihat jelas siapa orang itu. Lambat laun kami mengenal suara orang itu, tetapi sosoknya belum kami kenal sepenuhnya karena rasa kantuk yang masih menyelimuti kami.
“Jo, Paijo, Min, Man, lupa ya dengan kami,” seru kedua wanita itu serentak sambil ikut nimbrung di gazebo itu.
“Wualhhhhhhhh, kamu to, Menik dan Yanti,” seru mereka serentak.
“Iya, ini saya, Menik dan Yanti,” seru Menik mewakili
“Tumben kok mengenali kami bertiga, padahal lampu di gua tidak begitu terang?” tanya Paijo
“Iya donkkkk, muka ndeso mu itu tidak bisa ilang, heeeeee,” ledek Menik kepada Paijo.
“Sabarrrr, sabar, untung habis doa kepada Bunda Maria minta belas kasih, jadi harus sabar, heeeee,” sahut Paijo.
“Ahhhhh, Paijo baper, nihhhh,”seru Menik sambil tersenyum.
“Heeeeeee, iya nih,” sahut Paijo pendek.
“Heeeee, iya donk. Hidup mesti harus sabar,” imbuh Yanti.
“Menik, Yanti, tumben ikut doa ke kampung?” tanya Paijo.
“Iya, kebetulan besok libur,” jadi kami ada kesempatan pulang, siapa tahu ketemu, teman-temanku yang ndeso tadi lho, heeee. Ternyata ketemu juga,” seru Menik sambil ketawa.
“Ini biar tidak bengong saja kalian bertiga, ada makanan dan minuman hangat. Sekali-kali boleh donk makan roti keju pisang, biar tidak makan singkong terus,” seru Yanti sambil membuka bingkisan yang dibawanya dari kota. Maklum mereka sekarang sudah bekerja di kota dengan penghasilan yang lumayan, jadi kami kecipratan rejeki.
“Min, man, Jo, ayo dimakan dan diminum, gak usah malu, saya tahu tuh muka-muka kelaparan, heee,” canda Yanti. Memang sifat usilnya dari tidak berubah. Sementara Menik tetap kalem dan hanya ikut senyum-senyum.
“Iya, Jo, Paijo. Makan saja dan nikmati, tetapi awas lho perut belum biasa adaptasi makan keju, bisa sakit lho,” ledek Yanti sambil ketawa.
“Iya, heee,” jawab Paijo sambil makan roti keju itu.
Kami pun makan bersama makanan kecil dan minuman hangat yang dibawa Yanti dan Menik di gazebo depan Gua Maria Welas Asih itu. Sambil bercanda ringan, kami melepaskan lelah bersama pada pagi selepas misa pembukaan misa bulan Maria. Pertemuan itu mengusir rasa kantuk yang tadi menghampiri, ditambah lagi makanan dan minuman hangat membuat kami semakin riang seraya menunggu senja tiba.
“Jo, Paijo. Kenapa Maria menjadi model hidup umat beriman. Sebab setiap Mei dan Oktober gua Maria di mana pun dihadiri oleh banyak umat. Mereka selalu berdoa kepada Bunda Maria. Demikian juga di setiap lingkungan, selalu ada doa Rosasio keliling dari rumah ke rumah sebulan penuh. Hari ini kita semua juga hadir bersama umat lainnya untuk berdoa kepada Bunda Maria,” tanya Yanti mengisi pembicaran di sela makan cemilan dan minuman hangat.
“Iya Yanti, itulah iman Katolik. Bunda Maria tidak bisa lepas dari gereja Katolik, karena gereja ada karena peran Bunda Maria pula. Sang kepala gereja dilahirkan oleh sang Bunda, dengan demikian kehadiran Maria ikut ambil dalam karya keselamatan,” seru Paijo.
“Banyak teman kita bertanya. Kenapa orang Katolik menyembah Maria, bukannya yang disembah itu hanyalah Allah saja?” tanya Menik semakin ingin tahu.
“Nik, Menik. Orang Katolik itu tidak menyembah Maria, yang betul orang Katolik menghormati Maria. Mirip seperti dalam perintah ke-4 di dalam sepuluh perintah Allah, hortmatilah orangtua, bukan sembahlah orangtua. Demikian juga, kita hanya menyembah Tuhan, satu-satunya pencipta Alam semesta. Sementara kepada Maria, kita menghormati,” jawab Paijo.
“Ohhhh gitu ya, baru tahu saya,” sahut Paimin dan Parman yang juga ikut nibrung dalam diskusi itu.
“Otakmu encer juga jo, Paijo,” ledek Parmin sambil tersenyum.
“Gak rugi punya teman wong deso, tetapi encer, heeee,” seru Parman juga ikut meledek.
“Betul, juga. Saya setuju pendapat Parman dan Paimin. Kamu setuju kan Menik,” seru Yanti sambil menatap Menik yang senyum-senyum mengiyakan. Menik terlihat bengong ketika Paijo menjelaskan.
“Heeeeee, saya hanya diajari romo Belanda yang tugas di paroki saya,” seru Paijo tersipu malu karena diledek teman-temannya.
“Satu lagi kenapa umat begitu antusias berdoa kepada bunda Maria dibandingkan membaca Kitab Suci?” tanya Menik.
“Hemmmmmmm, Parmin gantian jawab,” seru Paijo
“Waduhhhhhh, saya mah mah gak tahu,” sahut Parmin sambil garuk-garuk kepala.
“Waduhhhhhh, kebanyakan makan singkong, makannya otak kurang encer, heeee,” ledek Parman gantian.
“Kalau menurut saya, karena Maria itu setia dan konsekuen ikut kehendak Allah. Maria tidak mau kompromi dengan setan, tetapi Maria bersekutu dengan Allah, lewat malaikat. Coba bayangkan seorang malaikat pun datang dan memberi salam luar biasa, berarti Maria itu mempunyai daya yang luar biasa pula,” seru Parman
“Encer juga daya pikirmu Man, Parman,” seru Yanti
“Terus kenapa susah membuka Kitab Suci, belum dijawab?” sahut Paijo
“Wahhhh, apa ya!” gantian Parman garuk-garuk kepala.
“Jawabnya singkat, karena kita tidak punya Kitab Suci, heeeee,” jawab Paijo singkat.
“Lumayan lah, kamu bisa menjawab baik pertanyaan pertama. Jadi tidak percuma minum hangat dan roti pisang keju membuat pola pikirmu josss,” seru Paijo sambil tersenyum.
“Betul-betul, saya setuju. Iman Maria luar biasa, ia memberikan segalanya tanpa syarat, itulah dasar iman yang utama,” tambah Menik spontan.
“Yaaaa, setuju setuju, maka kita harus selalu kidungkan doa Rosario setiap hari jangan hanya pada Oktober saja,” seru Paijo lagi.
Kebersaaam di gua Maria begitu menyenangkan. Diskusi dan peziarahan ini saling menguatkan satu dengan lain. Tidak selang lama, ayam berkokok terdengar pertanda fajar telah tiba. Demkian kami pun segera akan meninggalkan Gua Maria Welas Asih. Yanti dan Menik mengendarai mobil, sementara kami bertiga cukup naik sepeda. Bunda Maria telah menyatukan semangat peziarahan iman kami. Bersama Maria menuju kepada Kristus. Setelah berkemas-kemas kami ke kamar mandi sebentar, terus melanjutkan pulang ke rumah.
“Met jalan Menik, Yanti, hati-hati nanti jika pulang ke kota,” seru Paijo, Parman, dan Parmin seraya melambaikan tangan.
“Maksih Paijo, Parmin, dan Parman. Selamat juga sampai di rumah. Lain waktu ketemu lagi, salam ke Simbok ya Jo, Paijo,” seru Menik dan Yanti juga.
Kami pun akhirnya berpisah dengan Yanti dan Menik. Sementara kami masih sedikit menunggu agak terang, karena sepeda onthel kami tidak ada lampunya. Ketika matahari sudah mulai sedikit terlihat, segera kami mengayuhkan sepeda ke rumah. Setelah satu jam perejalanan sampailah kami ke rumah masing-masing.
“Embek-embeekkkk,” terdengar suara kambing menyambut Paijo.
“Jo, Paijo, jangan lupa doa Rosario ya Jo,” seru Paijo dalam hati. Suara kambing itu seperti mengingatkan Paijo untuk doa Rosario setiap hari.
“Embeeeeeekk, embek,” tiru Paijo seraya menyetujui untuk selalu Rosario.
(RD Nikasius Jatmiko)