Anda di sini
Beranda > Nusantara > Gereja Berpihak Pada Korban Kekerasan Seksual

Gereja Berpihak Pada Korban Kekerasan Seksual

Loading

Kekerasan Seksual di Paroki Herkulanus Depok

“Sikap Gereja, jika orangtua melaporkan kepada Polisi, kami akan mendampingi. Ini adalah cara gereja menentukan keberpihakannya kepada korban,” ungkap Pastor Paroki Santo Herkulanus Depok Yosep Sirilus Natet dalam bincang virtual, Sabtu (1/8) pagi.

Baru-baru ini, di banyak media kasus pelecehan atau kekerasan seksual di Gereja kembali mencuat. Kasus yang paling baru adalah kekerasan seksual di Paroki Herkulanus Depok. Pelaku yang ditangkap polisi adalah Ketua Seksi Liturgi berinisial SPM yang sejak 2000 mengurusi misdinar. Ia dituduh telah melecehkan sekurang-kurangnya 21 misdinar.

Peristiwa ini memicu kemarahan dan kebingungan banyak orang karena belum mendapatkan informasi yang utuh tentang kejadian tersebut. Oleh karena itu Paroki Herkulanus berinisiatif untuk menggelar bincang virtual agar umat dan masyarakat mendapat informasi yang valid dan utuh. Bicang virtual bertajuk “Komitmen Gereja Membongkar Kekerasan Seksual dan Melindungi Korbannya” digelar via aplikasi Zoom dan live streaming melalui kanal Youtube Paroki Herkulanus. Tidak kurang dari 350 orang yang terdiri dari umat, aktivisi gereja, wartawan, dan berbagai elemen masyarakat lainnya mengikuti diskusi yang dimoderatori oleh Ririn Habsari, seorang peneliti kesehatan masyarakat.

Hadir dalam acara ini Pastor Paroki Santo Herkulanus Depok Yosep Sirilus Natet, Kuasa Hukum Korban Azaz Tigor Nainggolan, orangtua salah satu korban dan korban, Martha dan Asisi (bukan nama sebenarnya).

Gereja Mengambil Sikap

Mengawali bincang tersebut, Romo Natet sapaan akrab Yosep Sirilus Natet menjelaskan kronologi pengaduan beberapa orangtua misdinar yang mengeluhkan SPM sebagai pendamping. “Sebagai pastor paroki baru, saya terbuka terhadap segala masukan dan diskusi. Beberapa orangtua misdinar mengungkapkan kegelisahannya tentang pendamping misdinar yang dirasa melakukan sikap yang kurang pas (pelecehan seksual, red). Saya mengambil sikap, apapun yang terjadi, jika itu merupakan tanggung jawab seorang pribadi sebagai warga negara dan warga gereja, tentu kita akan minta pertanggung jawaban tersebut,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan bahwa saat ini tengah bersinergi dengan Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI yang membantu penanganan proses hukum dan pemulihan korban.

Perkembangan Kasus dan Hasil Investigasi

Kuasa Hukum korban Azaz Tigor Nainggolan menjelaskan hasil investigasi yang telah dilakukan oleh timnya. “Pelaku sekurang-kurangnya melakukan 3 jenis kekerasan. Pertama adalah kekerasan verbal seperti dimaki dengan kata-kata kasar/kotor. Kedua, adalah kekerasan fisik seperti ditampar dan dilempar. Ketiga adalah kekerasan seksual mulai dari pencabulan sampai pemerkosaan,” paparnya.

Ia juga mejelaskan beberapa modus pelaku seperti mengajak rapat, nonton film, dan makan bersama. “Kegiatannya dilakukan bersama-sama, tetapi orang yang menjadi target pelaku akan ditahan untuk pulang terakhir. Adapun beberapa locus (tempat kejadian perkara, red) yakni perpustakaan Paroki Herkulanus, rumah korban, rumah pelaku, dan kedaraan pelaku. Pelaku mulai melakukan hal ini pada 2000 sampai dengan yang terakhir Maret 2020,” jelasnya.

Ririn Habsari menegaskan bahwa ini bukanlah kasus biasa, tetapi sudah merupakan kejahatan yang keji. “Pelaku bisa dibilang adalah Pedofilia dengan gelar predator karena mengincar anak di bawah umur,” tegasnya.

Martha, salah satu orangtua korban, bercerita tentang anaknya yang pada akhirnya mengaku pernah mendapatkan perlakuan tidak lazim oleh SPM. “Awal kami bertanya kepada anak, dia tidak mau mengaku. Namun pelan-pelan kami coba komunikasi dan akhirnya dia menangis. Ia mengaku pernah dilecehkan oleh pelaku. Jujur itu membuat hati kami sebagai orangtua hancur,” katanya dengan suara bergetar.

Ia melanjutkan, “yang paling berat adalah saat BAP (berita acara perkara, red) karena anak kami harus menceritakan hal tersebut berulang kali. Tetapi berkat pendampingan yang diberikan, semua dapat berjalan dengan baik,” tuturnya.

Salah satu korban yang kini telah dewasa, Asisi mengaku mendapatkan kekerasan seksual sebanyak 2x, yakni pada 2008 dan 2010. Kala itu, ia tidak berani melaporkannya kepada orangtua karena takut. “Waktu itu saya berusia sekitar 12-13 tahun. Ketika hal itu terjadi, saya merasa berdosa, bersalah, dan rusak hubungan dengan Tuhan. Saya membangun sebuah tembok aib di mana hal itu tidak boleh diketahui oleh orang lain. Saya hanya mencoba menjaga jarak dengan pelaku dan membuat hal ini seakan-akan tidak pernah terjadi,” ujar asisi.

Tetapi kini Asisi berani mengungkapkan kasus tersebut karena tidak ingin adik-adiknya yang lain menjadi korban juga. Kini ia menjadi saksi dalam kasus ini serta mendampingi beberapa korban untuk saling menguatkan.

Terus Dikawal

Kemudian, Tigor menjelaskan polisi, kejaksaan, dan semua yang terlibat dalam penanganan kasus mendapatkan waktu sekitar 6-7 bulan. Ia berharap polisi bisa lebih serius dalam menangani kasus ini. Ia juga mengapresiasi para aktivis, dan warga paroki yang berkenan mengawal kasus ini dan melakukan follow up secara berkala kepada kepolisian untuk menanyakan perkembangannya.

Menutup diskusi, Romo Natet berharap agar umat Paroki Herkulanus dapat menghadapi hal ini sebagai satu keluarga. “ Saya berharap Paroki Herkulanus tetap menjadi Gereja Katolik yang memiliki semangat Gereja Perdana. Apa yang dirasakan oleh salah satu anggotanya harus dirasakan oleh semua anggotanya. Karena ketika gereja ini rusak, menjadi tanggung jawab kita semua untuk memperbaikinya sebagai keluarga Gereja Herkulanus,” pungkasnya.

(AJ)

Leave a Reply

Top