Anda di sini
Beranda > Mutiara Biblika > Bersyukurlah

Bersyukurlah

Ilustrasi Romo Iko Sept 2022

Loading

Mateus 20:15 “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?“

            Pohon beringin itu menjadi saksi sejarah kehidupan di kampung Wonolelo. Sekitar pohon itu ada sumber mata air yang sangat besar. Penduduk kampung memanfaatkan sumber itu dengan baik. Di bawah pohon itu ada sebuah kolam air yang oleh orang kampung disebut sendang. Sendang itu berukuran sekitar 4 x 3 meter persegi. Airnya jernih mengalir ke sungai dan sebagian dialirkan ke persawahan. Tempat itu tidak terlalu dalam, hanya sekitar 1 meter. Di dalam sendang itu ada ikan yang tidak boleh diambil. Semua itu dibuat secara natural agar tetap terjaga. Sekalipun musim kemarau tiba, sumber air itu tidak pernah kering. Banyak orang datang ke tempat itu untuk mengambil airnya seraya berteduh di siang hari. Tempat itu juga dilengkapi kamar mandi dan tempat cuci pakaian. Sekitar tempat itu sangat teduh dan nyaman untuk semua makhluk hidup. Masyarakat membubuhi cerita bahwa tempat itu ditunggu oleh aneka kehidupan yang tak kasat mata sehingga orang-orang takut untuk merusak tempat itu. 

            Tempat itu masih terawat dengan baik sekalipun orang-orang sudah mulai mengusahakan sumur di rumahnya. Waktu terus bergulir tanpa henti dan berputar   dengan setia tanpa menghiraukan adanya perubahan zaman. Demikian juga tempat itu masih ada sekalipun mulai sedikit ditinggalkan orang. Orang mulai jarang mandi di tempat umum itu. Sumber air yang memberikan kehidupan terus mengalir tanpa henti seturut putaran waktu, sekalipun orang tidak lagi banyak berkunjung. 

            Siang yang panas di musim kemarau Paijo dan Parman pergi ke tempat itu. Mereka ingin mengingat masa kecilnya, yakni saat mereka sering mandi di tempat itu. Mereka dulu takut sekali untuk pergi sendiri karena orang tua selalu mengingatkan bahwa tempat itu banyak penghuni yang tidak kasat mata. Cerita turun temurun itu terus bergulir, namun tidak ada kejadian yang aneh dari tempat itu. Di balik cerita itu, orang tua mengajarkan secara ekologis untuk menjaga alam. Pohon besar itu adalah penahan air. Oleh karena itu, pohon itu tidak boleh ditebang. Cara menghentikan tindakan melawan alam dengan  menarasikan bahwa tempat itu sangat angker. Dengan sendirinya tempat menjadi aman dan tidak ada gangguan. Sebuah nasihat berdasarkan kearifan lokal. 

             “Jo, Paijo,” sapa Parman seraya mengayun-ayunkan kakinya yang dimasukkan ke dalam sendang itu. 

            “Iya, Man, Parman,” jawab Paijo seraya membiarkan kakinya disentuh ikan-ikan kecil di kakinya.

            “Jo, Paijo. Kita ini sudah setengah abad hidup, tetapi sepertinya kita belum memberikan apa-apa kepada sesama. Sementara tempat ini menjadi saksi kita masa kecil. Tempat ini terjaga dan memberikan banyak kepada makhluk hidup. Ada ikan di sendang ini, air bisa dimanfaatkan penduduk, burung-burung bersarang dan tempat menjadi teduh. Nampaknya tempat lebih jauh lebih berguna bagi hidup kita ya Jo, Paijo,” seru Parman. 

            “Man, Parman. Setiap orang mempunyai talenta sendiri yang tidak bisa dibandingkan. Setiap pohon mempunyai ciri khas tersendiri, Tuhan telah menciptakan untuk saling melengkapi,” jawab Paijo seraya merasakan kesejukan tempat itu. 

            “Jo, Paijo. Iya bener juga Jo apa katamu. Setiap makhluk hidup mempunyai peran dan fungsinya sendiri. Nyamuk pun mempunyai peran juga sekalipun sering menggigit manusia hingga sakit. Semua itu pasti ada gunanya. Jo, Paijo, saya ini merasa kurang berguna dalam hidup ini. Saya tidak mempunyai karya yang bisa orang rasakan,” seru Parman. 

            “Man, Parman. Siapa yang mengukur kita ini berguna atau tidak? Bukankan sekecil apapun yang kita lakukan itu berguna. Kita jangan membandingkan dengan orang lain, OJO DIBANDING-BANDINGKE,” kata Paijo dengan logat Jawa yang medok. 

            “Hmmmmm,” Parman menghela nafas panjang. 

            “Man, Parman. Perasaan kita tidak berguna itu muncul karena kita iri kepada orang lain. Kita kadang tidak menyadari itu. Kita menakar hidup kita dengan orang lain, ya tentu berbeda. Kita ini saja berbeda, sekalipun sama-sama dari ndeso katro, heeeee. Kita sibuk membandingkan dan menilai orang sehingga lupa berkarya,” seru Paijo menghibur Parman yang sedang galau. 

            “Jo, Paijo. Iya, saya sering kali iri kenapa teman-teman kita sukses. Sementara kita masih berkutat di kampung ini. Kita harusnya juga merantau agar bisa seperti teman-teman kita,” seru Parman. 

            “Man, Parman. Mereka juga mempunyai kesulitannya masing-masing. Jangan menakar kesuksesan hidup itu dengan materi yang mereka punyai, tetapi selalu bersyukurlah bahwa kita ini masih bisa menghidupi diri kita sendiri. Ini rezeki kita, harus kita terima dengan senang hati karena itu takaran kita,” seru Paijo. 

            “Iya, betul. Tuhan telah memberikan takaran kepada kita secara berbeda bukan karena Tuhan tidak adil. Tuhan memberikan sesuai dengan kapasitasnya. Iya saya kini saya mengerti, keirian itu sering memicu kita untuk terus merasa tidak puas. Jadi kita mesti menerima diri,” sahut Parman.

            Dalam suasana diskusi yang sangat menyenangkan itu, tiba-tiba mereka dikejutkan ada orang yang mengadakan ritual di pohon dekat kami berdua sedang merendam kaki. Orang itu membawa aneka makanan. Paijo dan Parman segera menghentikan aktivitasnya dan duduk tidak jauh dari tempat itu. Selesai mereka ritual, Paijo dan Parman kembali mendekati tempat itu. Ternyata di situ ada persembahan makanan. Naluri perut lapar tidak bisa dikendalikan, mereka berdua mengambil makanan itu. Segera mereka melahap makanan yang ditinggalkan oleh orang yang ritual di situ. Mereka berdua makan sambil ketawa ketiwi, apalagi seharian belum makan. 

            “Joooo, Paijo, itulah cara Tuhan memberi makan kepada kita sekalipun ini makanan buat sesajen. Kita makan saja, heeeee,”seru Parman. 

            “Makanya Man, Parman, kita tidak perlu khawatir. Tuhan akan selalu memberi kehidupan kepada kita, heeeee,” seru Paijo seraya makan bersama Parman. 

            “Jooooo, Paijo, dasar wong Deso,” seru Paijo sambil cengar cengir makan sesajen itu berdua.

Penulis: RD Nikasius Jatmiko | Editor: Bernadus Wijayaka

 

Leave a Reply

Top