Anda di sini
Beranda > Kabar Terkini > Sedes Sapientiae

Sedes Sapientiae

Ilustrasi Romo Iko Okt 2022

Loading

Lukas 1:38 Kata Maria: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Lalu malaikat itu meninggalkan dia.

 Sepeda tua peninggalan Simbok masih terawat dengan baik sampai saat ini. Orang menyebutnya sepeda “Onthel”. Sebutan itu menjadi ciri khas di kampung itu. Setiap orang mengenal nama Onthel tanpa bertanya kenapa dinamai seperti itu. Sepeda Onthel tua itu telah mengantarkan Simbok ke mana-mana pada masanya. Setelah Simbok tidak lagi naik sepeda, Paijo melanjutkan estafet kesepedaan itu. Betapa sepeda itu telah berjasa mengantarkan ke mana orang mau mengayuhnya.

Pagi itu hari sangat cerah, alam menyambut bulan Maria dengan penuh suka cita. Embun pagi pun terlihat menghiasi rumput yang tersebar persawahan itu. Lebah, kupu-kupu, dan serangga lain ikut menyemarakkan suasana tempat itu. Binatang-binatang berterbangan dan hinggap silih berganti menghiasi area persawahan itu. Keindahan itu makin terpancar saat matahari bersinar. Suasana kampung makin terasa damai diliputi pesona alam yang indah menyambut bulan Maria. Kehangatan sinar matahari mengawali awal bulan Oktober ini.

Bulan Oktober ditandai dengan peziarahan ke Gua Maria. Devosi ini menjadi agenda rutin bagi umat Katolik. Mereka mengawali Oktober dengan pergi ke Gua Maria untuk berdevosi kepada Maria. Kecintaan umat Katolik kepada Bunda Maria sudah mendarah daging. Sehingga ajakan doa Rosario selalu diterima dengan suka cita. Ajakan Gereja untuk berdevosi kepada Maria ini disambut pula oleh Paijo. Ia ingin menghabiskan malam di awal Oktober itu di Gua Maria. Kebetulan malam ini ada doa Rosario bersama pukul 00.00 di Gua Maria dan dilanjutkan misa.

Pagi itu Paijo telah mempersiapkan diri untuk pergi ke Gua Maria menaiki onthel. Paijo juga tidak lupa memberikan makan kambing-kambing sebelum ditinggal beberapa saat. Yah, Paijo ingin healing rohani, istilah zaman milenial. Setelah semua disiapkan, Paijo pun meninggalkan rumahnya. Onthel kuno itu menjadi teman perjalanannya menuju Gua Maria yang lumayan jauh dari rumah. Sekalipun jarak begitu jauh, hal itu tidak menyurutkan niat Paijo untuk berziarah. “Krinnnnnng, Kringggggg, Kringgg,” suara bel onthel itu mengawali peziarahan Paijo. Sesekali Paijo menyanyi  untuk mengisi perjalananya menuju Gua Maria. Sepeda onthel itu telah menjadi saksi berapa kali ikut ziarah dengan Paijo.

Sesampainya di Gua Maria, banyak orang berkumpul di sekitar gua Maria. Paijo yang masih basah kuyup karena keringat sedikit menjauh dari kerumunan agar bau keringat tidak mengganggu orang-orang yang ada di dekatnya. Setelah melepas lelah sejenak, Paijo membasahi tenggorokan dengan air dari Gua Maria itu. Kini, Paijo berdoa pribadi di depan sang Bunda. Setelah itu, Paijo beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke patung Pieta, yaitu patung Bunda Maria memangku jenazah Yesus. Paijo berdoa seraya mengagumi karya seni yang luar biasa itu. Patung maha indah ditempatkan di sekitar pohon-pohon besar sehingga angin semilir menambah suasana keheningan semakin kuat.

Paijo makin merasuk dalam keheningan doa seraya menunggu pukul 00.00 untuk mengawali doa Rosario bersama. Gua Maria mulai dipadati umat yang ingin berdoa dengan membawa aneka intensi, setidaknya bersyukur bisa melewati masa pandemi yang melelahkan itu. Paijo pun bersyukur karena Tuhan masih memberi kesempatan hidup. Syukur kepada Tuhan diwujudkan melalui doa kepada Bunda Maria. Dalam keheningan malam itu, terdengar orang-orang berbisik dan disertai ketawa kecil. Terdengar pula suara orang minta foto. Suara-suara berbisik itu menyemarakkan malam itu tanpa mengganggu orang yang sedang berdoa.

Lama kiranya Paijo duduk di depan Patung Pieta itu.

 “Jo, Paijo,” suara lirih terdengar samping kiri.

 Paijo pun belum juga tergugah dari keheningannya. Ia tetap menjawab bisikan suara itu.

 “Jo, Paijo,” kini bisikan itu hadir dari sebelah kanan.

Paijo juga masih memejamkan mata. Kini ia mulai terusik dengan panggilan sebelah kiri dan kanan. Paijo mulai merasa familiar dengan suara itu, tetapi ia tetap menjaga keheningan.

 “Jo, Paijo,” suara panggilan dari kanan dan kiri secara serentak,

 “Ahhhhhh,” Paijo kaget seraya membuka mata.

 “Menik dan Yanti. Kalian tahu saya di sini?” seru Paijo menyahut.

 “Iya tahu dong. Tercium bau kambing semerbak. Siapa lagi kalau bukan dari kamu,” heeee seru Menik dan Yanti meledeknya.

 “Ayo, jangan di sini supaya tidak mengganggu orang yang sedang berdoa,” ajak Paijo.

 “Baiklah,” seru Yanti dan Menik bersama seraya bergegas berdiri meninggalkan tempat Pieta itu.

Mereka bertiga menuju ke saung yang ada di sekitar tempat gua itu. Di situ, ibu-ibu wanita Katolik menyediakan minuman dan makanan ala kadarnya. Siapa saja boleh makan dan minum sepuasnya. Kalaupun ada yang mau nyumbang juga boleh, tidak mempunyai uang pun juga boleh makan dan minum. Semua itu adalah berkah yang boleh dinikmati bersama.

 “Jo, Paijo. Lama sekali kamu berdoa di depan patung Pieta tadi?” Tanya Menik secara pingin tahu.

 “Jo, Paijo, adakah sesuatu yang menarik dari patung itu?” timpal Yanti.

 “Yanti, Menik. Itulah ajaran Sedes Sapientiae artinya tahta kebijaksanaan. Maria taat menjalankan tugas dari awal mula sampai akhir. Maria pada puncaknya memangku jenazah Yesus setelah turun dari salib. Pangukuan Maria menjadi Takhta Yesus yang terakhir sebelum dimakamkan. Maria tetap konsekuen dengan ucapannya saat menerima tugas dari malaikat itu. Ia menjaga kesucian hidupnya, sehingga pantaslah Maria menjadi takhta Yesus. Kita berdevosi kepada Pieta itu mempunyai maksud. Melalui devosi itu, kita berharap agar pantas menjadi takhta Yesus, yakni saat kita kita menerima komuni. Allah bertahta dalam hidup kita, makanya kita harus senantiasa menyucikan diri. Maria telah memberi contoh itu,” seru Paijo

 “Wuihhhhh, luar biasa,” seru Yanti disetujui Menik.

Mereka pun asyik mendiskusikan tentang peran luar biasa Maria sambil makan minum di saung itu. Sedang asyik-asyiknya makan dan minum, terdengar suara sirine menandakan pukul 00.00, di awal Oktober. Semua orang pun berkumpul di depan Gua Maria untuk mengawali doa Rosario dan diteruskan misa.

 “Selamat doa Rosario ya Menik, Yanti,” seru Paijo seraya mengikuti doa bersama.

Penulis: RD Nikasius Jatmiko | Editor: Bernadus Wijayaka

 

Leave a Reply

Top