Pagi itu cuaca cerah dan suasana masih terasa sejuk. Kebetulan hari itu tanggal merah menandakan libur sekolah dan kantor. Suasana ini selalu dinanti-nantikan semua orang untuk berlibur. Sekalipun saya tidak sekolah dan tidak bekerja di kantoran, rasanya liburan itu juga saya dambakan. Ada sebuah kebebasan dari rutinitas sejenak dari lingkungan rumah terutama dari seruan kambing yang terus mengembik seakan memangggil namaku tanpa henti.
“Embek emebekkkkkk, Paijo, Paijo” begitu seruan kambing itu seakan memanggil namaku ketika lapar.
Suasana itu membuat saya teringat akan Nenek Inem yang tinggal sendiran di kampung sebelah, nenek itu tinggal sendirian jauh dari keramaian. Rumahnya ada di pinggir sungai dan sebagian tetangga telah pergi bertransmigrasi jauh meninggalkan kampung halamanannya. Namun, Nek Inem ini, sapaan tiap harinya, tetap tinggal di kampung itu sekalipun bahaya banjir sering kali mengancam. Kecintaan akan kampung halamannya telah melebihi segala-galanya. Hal itu dilakukan karena hanya itu yang Nenek Inem punyai. Setidaknya halaman samping rumah masih bisa ditanami dengan aneka tanaman untuk kebutuhan sehari-hari. Sisanya dijual dipasar ketika ada yang mau.
Pagi itu saya pamitan Simbok untuk pergi sejenak, sekaligus nitip Simbok untuk memberikan pakan ke kambing-kambing. Sepeda onthel kuno saya ambil, kemudian saya pun mengayuhnya ke tempat Nek Inem. Selama perjalanan mengayuh sepeda, saya selalu bersenandung dengan menyanyikan lagu-lagu gerejani. Hal itu hanya sekadar menemani perjalanan dan membuang kejenuhan. Dalam perjalanan menuju Nek Inem, beberapa kali ketemu orang, seperti orang kampung biasanya kami saling menyapa sebagai ungkapan sapaan biasa saja. Sepeda terus melaju meneruskan perjalanan.
Dalam perjalanan menuju ke rumah Nek Inem, saya terkejut, karena dari kejauhan terlihat dua orang sedang naik sepeda berlawanan arah dengan saya. Sepertinya, saya mengenal orang itu, tetapi biarlah itu terjadi. Jika nanti bertemu pasti akan saling sapa. Tepat di perempatan jalan kampung itu, saya dikejutkan suara memanggilku.
“Paijoooooooo, Paijoooooo,” seru kedua orang yang naik sepeda.
“Ya, saya,” jawab saya singkat. Saya belum mengenal mereka karena mereka pakai topi yang menutupi wajahnya, tetapi dari suara saya tampaknya kenal. Saya pun berhenti sejenak dan kedua orang yang bersepeda itu juga berhenti mendekati saya.
“Paijooooooooooooo,” suara mereka serentak sambil membuka topinya.
“Oh walahhhhhhhhhh, kamu Menik dan Yanti,”sahut Paijo seraya tersenyum senang.
“Jo, Paijo. Mau kemana?” tanya Yanti.
“Iya, saya mau ke rumah Nek Inem,” sahut Paijo singkat seraya tersenyum karena tidak menyangka ketemu teman lama di tempat biasa dulu sering bertemu.
“Siapa Nek Inem?” tanya Menik ingin tahu.
“Itu nenek yang tinggal di kampung sebelah dekat sungai yang dulu kita sering main,” jawab Paijo singkat.
“Bukannya penduduk di sana semua telah pada transmigrasi?” tanya Menik lagi
“Iya, betul, tetapi nenek itu tidak mau pindah. Jadi hidup sendiri di sana. Ayo jika tidak ada acara ikut saya. Sekalian mengisi liburan bersama,” ajak Paijo.
“Ayoooooo,”seru Yanti dan Menik seraya senyum dan ketawa kecil.
Kami pun kini naik sepeda bertiga menuju rumah Nek Inem. Situasi ini mengingat masa kecil selalu bersama naik sepeda atau jalan kaki jika mau ke gereja. Kebetulan Menik dan Yanti sekarang sudah di kota dan kebetulan mudik menjenguk keluarga yang masih ada di kampung ini. Mereka berdua ingin bernostalgia naik sepeda di kampung. Perjalanan itu sangat menyenangkan, sekalipun matahari mulai menyengat tubuh. Semangat kebersamaan itu membuat kami semakin akrab. Kami seakan kembali ke masa lalu yang tidak pernah hilang dari catatan kehidupan kampung. Selang beberapa waktu kamu harus melewati daerah yang sedikit sepi dan jalan mulai tidak beraspal. Itulah tempat Nek Inem tinggal. Setelah melewati perkebunan dan tanah kosong sampailah kami di rumah Nek Inem.
“Permisi,” seru Paijo langsung menuju ke rumah Nek Inem. Sementara Menik dan Yanti masih di halaman seraya menyandarkan sepeda. Selesai itu, Menik dan Yanti pun ikut ke depan rumah Nek Inem.
“Permisi,” sekali lagi kami serentak berseru memberi salam.
Situasi itu agak hening karena belum ada jawaban dari nenek itu. Kami heran kenapa pintu terbuka sementara kami memanggil tidak ada jawaban. Akhirnya kami pun memutuskan untuk duduk di beranda rumah Nek Inem itu bertiga seraya bercanda ria. Tidak lama kemudian, kami dikejutkan nenek itu datang dari samping rumah, ternyata nenek sedang berkebun dan membawa hasil kebun.
“Lho, Nak Paijo,” seru nenek itu masih ingat.
“Iya, nek. Wahhhhh, Nenek Inem masih kenali saya,” jawab Paijo seraya membantu Nek Inem yang mengangkat hasil bumi dari kebonnya.
“Wah ini apa nek?” tanya Paijo
“Yaaaaa, Ini namanya singkong, gembili, uwi, dan suwek. Semua dari kebon belakang. Ini bisa direbus pengganti nasi,” jawab Nek Inem.
“Ayoooo, masuk rumah,” ajak Nek Inem.
“Nek, ini kenalkan dulu. Ini Menik dan ini Yanti,” teman masa kecil Nek.
“Ohhhhh, gitu ya. Selamat datang nak Menik dan nak Yanti,” sapa Nek Inem itu dengan ramah.
“Nak Paijo, anggap rumah sendiri ya, ajak teman-temanmu itu juga,” seru Nek Inem.
“Iya nek,” jawab Paijo singkat.
“Sekarang nenek mau masak ini dulu buat kita makan bersama. Kalian boleh duduk di depan atau ke kebon di sana ada buah jeruk bali dan delima. Kalian juga bisa metik kelapa” sahut nenek.
Waktu begitu cepat kami bertiga ke kebon mencari buah-buahan yang ada. Sementara Paijo naik pohon kepala untuk memetiknya. Beberepa butir telah diturunkan dari pohon kelapa dan kami bawa kembali ke serambi. Menik mengambil jeruk bali di belakang rumah yang juga berbuah, sementara delima masih kelihatan mentah. Jadi hanya buah kelapa dan jeruk yang bisa kami ambil. Seraya menunggu Nek Inem yang sedang masak, kami mengupas kelapa dan jeruk bali itu. Selesai itu kami pun menyusul Nek Inem ke dapur yang sedang masak. Dapur itu dipenuhi dengan asap, karena Nek Inem masak dengan kayu bakar.
Menik dan Yanti ikut bersama Nenek Inem ke dapur masak layaknnya sudah kenal akrab sekali, sekalipun asap dapur memenuhi ruangan itu. Selang bebrapa lama makanan dari kebun sudah siap disajikan. Yanti dan Menik membantu Nenek Inem mengangkat rebusan itu dari perapian dan menempatkan di piring seng. Dalam situasi panas itu makanan telah disajikan sementara Paijo telah menyajikan kepala muda. Hari ini seperti pesta mendadak di rumah Nenek Inem dengan menu hasil kebon.
Semua makanan dibawa ke serambi rumah sakalian merasakan semilir angin di tempat yang sepi di pinggir sungai tempat Nenek Inem tinggal.
“Wahhhhh, enak ini,” seru Paijo ketika melihat Yanti dan Menik menyajikan makanan ala kampung berupa rebusan singkong, uwi, suwek juga ada pisang rebus yang sudah di tebang sebelum kami datang.
“Iya donkkkkk,” sahut Yanti
Kami akhirnya berempat berkumpul sambil menikmati hasil kebun dengan minuman kepala muda yang diambil Paijo di kebon belakang. Suasana itu sangat menyenangkan karena kami saling berbagi rasa dalam kebersamaan setelah sekian lama tidak ketemu, alih-alih sekalian reuni bertiga di tempat Nenek Inem.
“Nek, nenek tinggal sendiri tidak takut. Bukannya jauh dari tentangga?” tanya Menik
“Ya, nak. Nenek hanya takut sama Tuhan saja. Nenek percaya bahwa Tuhan akan selalu menjaga nenek, sekalipun sendiri,” jawab Nek Inem.
“Nek, Nenek sendiri kan di sini. Bagaimana dengan makanan setiap hari, juga bagaimana kalau nenek sakit?” tanya Yanti menyela.
“Nak Yanti, bukan kah Kitab Suci telah memberikan gambaran kepada kita. Burung di udara tidak menabur tetapi tidak khawatir akan makan apa karena Tuhan akan menyediakan segala kebutuhan. Alam telah menyediakan untuk semua mahkluk hidup, termasuk nenek pasti telah disiapkan oleh Tuhan melalui kebon ini. Tuhan memberikan hasil kebon ini untuk santapan nenek setiap hari. Jadi tidak perlu khawatir akan semua itu. Mateus“6:25 “Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah khawatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah khawatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? 6:26 Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di surga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” jawab Nenek.
“Betul nek, saya setuju dengan semua itu, tetapi bukannya nenek membutuhkan orang lain juga untuk saling berbagi?” tanya Menik
“Kita adalah bagian dari alam dengan sendirinya kita telah berbagi dengannya asal semua itu seimbang. Alam akan memberikan kepada kita segala apa yang kita butuhkan asalkan kita mencintai alam dengan cara merawatnya,” jawab nenek itu.
“Iya nek, Pendapat nenek itu betul. Paus mengajarkan kepada kita untuk menyerukan kembali apa yang telah diungkapkan santo Fransiskus dalam “Laudato Si”,” sela Paijo mengutip dari kotbah pastor di misa Minggu kemarin.
“Jo, Paijo, Apa itu, Laudato Si?” tanya Menik
“Seturut apa yang saya dengar dari pastor di paroki saya “Laudato Si” itu sebuah ajaran gereja untuk kembali mencintai alam. Alam telah rusak karena pengaruh kerakusan manusia. Maka manusia diajak kembali untuk bertobat secara ekologis,” jawab Paijo
“Waduh apa lagi pertobatan ekologis?” tanya Menik penasaran
“Ya, kembali seturut pastor paroki, pertobatan ekologis itu adalah tindakan manusia untuk mengembalikan dunia yang telah rusak itu. Artinya, manusia diingatkan kembali jangan merusak alam, tetapi mengolah alam secukupnya saja. Nenek Inem ini telah mengajarkan kapada kita secara nyata bahwa anjuran Paus, “Laudato Si”, dijalankan dengan baik” jawab Paijo
“Yah, yahhhh, saya mengerti sekarang,” sela Menik seraya tersenyum.
“Jo, Paijo. Setelah sekian lama tidak bertemu, pengetahuanmu semakin berkembang ya. Wong deso pengetahuan kota, heeee,” sela Yanti.
“Ya, kebetulan saya masih ingat penjelasan pastor paroki ketika misa di gereja,” seru Paijo.
“Ayoooooo, makan, kok malah ngobrol saja,” seru nenek kepada kami.
Kami semakin riang bercanda sekalian menemani nenek yang berkenan menerima kami seperti cucu-cucunya. Situasi itu semakin membawa kami kepada sebuah keakraban yang mendalam bahkan kami seperti mengulang waktu masa kecil. Kini setelah sekian lama tidak bertemu, kami mengulang kebersamaan itu di rumah Nenek Inem. Sepertinya tidak ada perubahan dalam kebersamaan kami, kecuali umur yang semakin menua dengan tanggung jawab yang berbeda-beda. Pertemuan ini sekaligun mengigatkan bahwa seorang nenek mampu memberikan kesadaran bahwa Tuhan telah mengatur hidup manusia dengan segala yang ada. Manusia sering khawatir dengan segala hal, namun justru Nenek Inem menampilkan sebuah kepasrahan hidup, tanpa menunjukkan rasa kekhawatiran.
Dunia sekarang telah terpenuhi dengan suara hirup pikuk yang telah membuat ruang hati manusia semakin bising. Bahkan sudah tidak ada lagi ruang bagi Tuhan di dalam diri manusia. Nenek Inem ini telah menyadarkan kami, bahwa nenek itu tidak memahami dokumen bahkan tidak mengerti dokumen Gereja, namun Nenek Inem sungguh menjalani itu semua. Ini menjadi pelajaran bagi kita, karena kita mengetahui dokumen sebatas wacana, namun tidak pernah menjalani dengan baik. Pembicaraan itu sampai sore hari, sehingga nenek itu pun merasa hidup kembali dengan anak-anaknya masa lampau.
“Nek. Hari sudah sore, terima kasih sekali, nenek telah menerima kami bertiga dengan terbuka,” seru Menik mewakili kami.
“Iya nak Menik, Yanti, dan Paijo. Nenek senang sekali dikunjungi, jadi nenek seperti kembali bersama anak-anak yang telah lama meninggalkan nenek seorang diri. Akan tetapi, kehadiran kalian semua memberikan kebahagiaan yang luar biasa kepada saya. Silakan datang kapan saja, anggap ini rumah kalian juga,” seru Nenek Inem dengan berlinang air mata.
“Iya nek,” seru kami serentak.
Rasanya kami tidak tega meninggalkan nenek ini seorang diri di tempat yang jauh dari tetangga. Namun, nenek itu sangat meyakini bahwa kesendirian itu tidak menjadi masalah karena Tuhan akan memberikan apa yang dibutuhkan. Kepasrahan nenek itu menjadi pelajaran bagi kami.
“Nek, kami pulang dulu ya. Nanti kapan-kapan saya kembali ke sini,” seru Menik mewakili kami. Menik dan Yanti pun segera mengulurkan tangannya dan memeluk nenek itu seperti neneknya sendiri. Sekalian bau asap dapur sangat menyengat di badan nenek, hal itu tidak membuat Yanti dan Menik risi.
Selepas kami pamitan, kami pulang mengayuh sepeda. Nenek itu tidak lupa memberi sesuatu kepada kita, yaitu makanan yang dimasak, berupa hasil kebon, termasuk kelapa muda. Jadi lengkap sudah kegembiraan kami, makan kenyang pulang masih diberi bekal. Dalam perjalanan pulang kami mengayuh sepeda seperti zaman kecil dulu. Selama mengayuh sepeda kami seraya bercanda ria seperti dahulu. Ini ciri kebersamaan kami yang tidak pernah pudar selama kita bertemu.
“Gubrak,” suara terdengar sedikit keras dari sepada Paijo.
“Kenapa Jo, Paijo,” seru Menik dan yanti serentak.
“Gak, papa,” seru Paijo seraya meringis kesakitan.
Karena kita pulang seraya bercanda, ternyata Paijo meleng sedikit. Ada belokan, Paijo lupa mengerem sepedanya. Akhirnya Paijo menabrak pagar bambu. Sementara kelapa yang dibawa Paijo pun menimpa dirinya.
“Jo, Paijo. Dasar kamu, makanya cintailah alam, jangan ditabrak, jadi terluka kan. Berarti kamu belum menjalankan nasehat LAUDATO SI,” seru Yanti dan Menik seraya tertawa.
“Jo, Paijo. Dasar wong deso. Tiap kali hati senang, lupa diri, jatuh donk dari sepeda, heeeeeee,” seru Paijo dalam hati seraya malu diketawain Menik dan Yanti.
(RD Jatmiko)