Yohanes 4:11 Kata perempuan itu kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu?4:12 Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?”4:13 Jawab Yesus kepadanya: “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi,4:14 tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.”
Musim kering itu telah melanda di beberapa perkampungan, terutama tempat yang menjadi langganan selama musim kemarau. Nuansa itu sudah menjadi pemandangan biasa di Kampung Palor. Kegersangan tidak hanya membuat tanah menjadi kering, tetapi seluruh tubuh juga mengering, mbesisik dan kaki mlethek-mletek, istilah Kampung Palor. Kaki pecah-pecah menjadi hal biasa, maklum pakai sandal jika mau ke gereja, selebihnya nyeker alias tidak pakai alas kaki. Akibatnya, kaki mletek-mleket, pecah-pecah gitu lho bro.
Kemarau panjang itu seperti hal yang sudah biasa terjadi, tetapi tahun ini tampaknya lebih parah dibanding yang lalu. Air sumur pada kering, tanah pecah-pecah alias nelo, dan rerumputan menjadi hamparan seperti karpet warna coklat karena mengering. Air menjadi kebutuhan pokok mulai berkurang, jadi konsumsi air untuk badan pun juga menyusut. Dampaknya, aroma yang kurang sedap sudah menjadi hal biasa. Ini alasan Paijo, memang jarang mandi dari dulu, heeeee.
“Ah, bau domba saja sudah melekat di dalam diri Paijo. Jadi semakin tidak mandi, aroma makin sulit dibedakan nih,” begitu komentar Simbok dan teman-teman setiap kali ketemu Paijo.
Kampung Palor ada sebuah sendang, mata air yang lumayan mengalir dengan deras di bawah pohon beringin yang terkenal angker. Jarang orang berani datang ke tempat itu terutama pada malam hari. Cerita angker itu turun-temurun sehingga tempat itu terjaga baik, terutama pohon-pohon yang mengelilingi tempat tidak ada yang berani nebang. Dengan sendirinya, sumber airnya lumayan melimpah. Tempat itu selalu dipenuhi orang-orang pada pagi hari. Mereka ramai-ramai mengambil air dengan alat seadanya dan sebagian juga ada yang mencuci di tempat itu. Ramainya melebihi pasar malam ketika aktivitas ibu-ibu berkumpul di sana.
Siang itu matahari sangat terik, dan tidak banyak orang pergi ke sumber mata air itu. Hanya beberapa orang saja seraya duduk di tepi sendang itu seraya mencari hempasan angin yang semilir. Pohon rindang itu telah menghalau dari teriknya matahari dan air itu selalu mangundang tiap orang untuk meminumnya tanpa harus direbus dulu. Kilauan air itu seperti memancarkan pantulan kejernihan hati manusia. Manusia yang mempunyai kejernihan hati, ibarat sumber mata air yang selalu siap diserap dan diminum oleh semua makhluk hidup.
“Jo, Paijo,” seru Parman yang juga sedang duduk di sekitar mata air itu.
“Yaaaaa,” sahut Paijo agak sedikit lemas. Jawaban itu tipis bedanya antara malas dan lapar, karena itu selalu terjadi begitu.
“Masih hidup Jo,” tanya Parman.
“Heeeeeee, masih dikit,” jawab Paijo sedikit malas sambil tiduran bersandarkan pohon besar itu.
Suasana siang yang panas itu memang enak untuk mencari angin semilir di sendang yang tentunya sangat ditakuti banyak orang pada malam hari. Namun, pagi dan siang hari selalu ada orang datang untuk mengambil air, terutama di musim kemarau semacam ini. Tim khusus 3P (Paijo, Parman, dan Paimin) ada di tempat itu seraya bersenda gurau seperti baisanya. Rasa lapar biasa mereka tahan, karena mereka sudah biasa kelaparan. Namun, rasa panas terik matahari tidak bisa mereka lawan.
“Man, Parman. Min, Paimin. Ngapain ngalamun seperti putus harapan saja,” seru Paijo sambil melempar ranting kecil yang didapatnya di dekat tempat duduk. Gantian Paijo mulai tergugah dari rasa malasnya.
“Aduhhhhhh,” seru Parman karena ranting itu kena jidatnya. Gantian Parman terimbas angin semilir membuat mager (malas gerak)
“Dasar Paijo, iseng aja,” seru Paimin melihat polah Parman yang terkejut dari lamunannya.
“Man, Parman dan Paimin. Kita ini sudah lama tinggal di kampung ini dan mengalami aneka kesulitan hidup. Namun, kita tetap hidup, karena kita selalu berjuang untuk bertahan,” seru Paijo
“Hmmmmmm,” kata Paimin masih malas-malasan.
“Terus, kita bisa apa,” seru Parman menyahut.
“Iya ini menjadi pelajaran hidup bagi kita,” seru Paijo.
“Memang kita sekolah, kok ada pelajaran lagi,” canda Paimin sambil merubah tempat duduknya yang tadi sudah PW, posisi wuenak.
“Min, Paimin, dasar kurang update status hidup,” seru Paijo sambil nimpuk dengan benda sekitarnya seraya ketawa.
“Waduh, kena mulut, nihhhh,”seru Paimin sambil nyenggir.
“Begini lho. Air itu adalah sumber kehidupan semua mahkluk hidup tanpa terkecuali. Lihatlah ladang-ladang semua menjadi coklat, tidak terlihat kehidupan. Air sang sumber kehidupan tidak ada lagi. Ada yang mati suri, ada yang benar-benar mati, dan ada yang masih bertahan hidup dengan kondisi yang mengenaskan. Itulah gambaran hidup kita pula,” seru Paijo.
“Terus apa hubungan dengan hidup kita. Kita fine fine aja,” kata Parman sok English English –an, padahal ngomongnya medhok bingit, heeee.
“Air menjadi sumber kehidupan. Ketika makhluk hidup kekurangan air, maka kematian akan mengintai hidup. Demikian kehidupan spiritualitas harus disirami terus, jangan sampai mati. Maka Yesus mengatakan akulah air kehidupan, barang siapa minum tidak akan haus selamanya. Jadi iman kita akan gersang dan akan mati ketika kita tidak minum air kehidupan itu,” seru Paijo.
“Wuihhhhhhh, tumben Jo, Paijo. Cara mikirmu sedikit lurus, heeeeee,” seru Parman dan Paimin meledek serentak sambil gantian melempar dedaunan kering yang ada di dekatnya.
“Wahhhhh, balas dendam nih, kalian,” seru Paijo seraya membersihkan rambutnya yang diselimuti dedaunan karena ulah Parman dan Paimin.
“Jo, Paijo. Benar juga pendapatmu, matinya kehidupan rohani itu ibarat matinya tumbuhan tanpa disirami air. Maka Yesus menegaskan kepada orang wanita Samaria betapa pentingnya air kehidupan demi masa kehidupan kekal. Yesus sendiri memberikan jamiman akan itu,” tegas Paimin yang juga mulai sadar.
“Nahhhhh, ternyata kamu mulai sadar pula. Hiruk pikuknya kehidupan di dunia ini membuat kekacoan itulah simbol matinya hati nurani, matinya kehidupan spiritual dan matinya akal sehat. Semua itu karena terpisah dari sang sumber kehidupan. Makanya kita harus rajin berdoa dan pergi ke gereja. Jangan biarkan iman kita mati karena tidak disirami,” jelas Paijo lagi.
“Makanya mari kita mandi bersama di tempat ini, mumpung tidak banyak orang. Agar otak dan segala hidup kita menjadi jernih lagi,” ajak Paijo dengan menarik tangan Parman dan Paimin.
Segera tanpa ditunda The Gang of 3P mandi di sendang itu seraya bercanda. Melunturkan segala kepenatan dan memberikan kesegaran badan. Setidaknya melunturkan bau kambing yang melekat pada diri Paijo. Heeeeeeee.
“Jo, Paijo, sudah mandi, tetap saja bau kambing melekat, embekkkkkkkk,” ledek Paimin dan parman seraya bergembira bersama melepas kepenatan di sumber air kehidupan desa itu.