13:8 Maka di seluruh negeri, demikianlah firman TUHAN, dua pertiga dari padanya akan dilenyapkan, mati binasa, tetapi sepertiga dari padanya akan tinggal hidup. 13:9 Aku akan menaruh yang sepertiga itu dalam api dan akan memurnikan mereka seperti orang memurnikan perak. Aku akan menguji mereka, seperti orang menguji emas. Mereka akan memanggil nama-Ku, dan Aku akan menjawab mereka. Aku akan berkata: Mereka adalah umat-Ku, dan mereka akan menjawab: TUHAN adalah Allahku!”
November adalah bulan yang sangat istimewa bagi umat Katolik, setidaknya mengawali bulan dengan merayakan semua orang kudus dan dilanjutkan doa arwah umat beriman. Gereja adalah tubuh mistik Kristus dengan sendirinya anggota tubuh mistik itu semua umat beriman yang terikat dalam sakramen baptis dan mereka dalam komunitas orang kudus (santo-santa). Peringatan orang kudus dan arwah umat beriman menjadi perayaan khusus unutk memperingati orang kudus supaya teladan hidupnya dapat kita gunakan. Semenatara doa arwah umat beriman memberikan sebuah ruang kepada kita untuk mohon belas kasih Allah agar mereka yang masih di api penyucian mendapatkan kebahagiaan kekal seperti para kudus.
Hari itu cuaca di kampung sangat sejuk. Angin semilir seakan menghembuskan dan membisikkan kepada kita mari memulikan Allah dengan berdoa. Pagi itu kami pergi ke gereja untuk merayakan dan mendoakan secara khusus saudara-saudari yang telah dipanggil Tuhan. Saya dan simbok pun pergi ke gereja untuk mengikuti misa arwah, seraya membawa foto orangtua dan bunga yang nantinya akan ditaburkan di makam. Banyak umat hadir dengan membawa foto keluarga mereka masing-masing dan juga bunga seperti yang kami lakukan. Sesampainya di gereja, foto dan bunga disusun rapi di depan altar. Kita mendoakan orangtua, saudara, teman dan siapa saja yang telah mendahului kita. Foto itu mengingatkan kepada kita sanak saudara yang kita sayangi dan bunga itu akan diberkati oleh imam.
Gereja hari itu penuh tidak seperti biasanya. Semua orang mempunyai intensi mendoakan arwah, demikian juga teman-temanku yang sudah merantau pun ikut datang mendoakan orangtua mereka. Selepas misa biasanya kami ramai-ramai ke makam untuk nyekar di kuburan. Ritual ini selalu kami lakukan untuk mendoakan arwah umat beriman yang telah mendahuhuli kita menghadap Allah.
Selesai misa saya dan Simbok mengambil foto dan bunga yang tadi ditempatkan di depan altar. Bunga itu kami ambil dari kebon, bunga mawar yang kebetulan mekar pada saat itu. Alam telah menyediakan sarana itu. Alam seakan ikut bergembiara menyambut hari orang-orang kudus dan ikut memuji Allah, termasuk mendoakan kaum umat beriman yang meninggal dalam Kristus. Alam menyambut kehadiran mereka masuk dalam keabadian bersama Allah yang mereka imani.
Dalam perjalanan ke makam, kami bertemu banyak orang Katolik yang ingin nyekar sanak saudara mereka. Banyak tetangga dari kota secara khusus hadir untuk mendoakan sanak saudaranya. Selepas dari misa, kami berbondong-bondong ke makam seraya berbicara ringan dan mengenang para umat arwah beriman. Ada pula yang membawa Rosario seraya mendaraskan doa dalam hati. Sesampainya di makam, mereka langsung mengunjungi makam sanak saudara mereka sendiri, demikian saya dan Simbok ke makam orangtua dan kakek-nenek saya.
Dengan peralatan seadanya kami membersihan makam dari rerumputan dan daun-daun kering yang berserakan itu. Selesai itu kami menyalakan lilin dan doa seraya jongkok di depan nisan. Doa kami lantunkan dan akhiri dengan doa Bapa Kami, Salam Maria dan kemuliaan. Selepas itu kami hening sejenak untuk berdoa sendiri-sendiri. Dalam keheningan terdengar suara orang hadir di makam, ada yang sedang bicara, ada yang membersihkan makam dan ada juga yang berdoa. Suasana itu tidak menghentikan saya hening dan berdoa. Tidak selang lama, terdengar suara langkah lirih dan ikut jongkok di samping kanan dan kiriku. Saya belum menghiraukan suara itu, tetapi lambat laun terdengar bisik-bisik Simbok dengan dua orang yang ada di samping kanan kiriku.
Selesai hening saya pun membuka mata dan ingin menaburkan bunga. Ketika mataku terbuka, betapa kaget, Menik dan Yanti sudah ada di makam orangtuaku juga. Saya pun menyalami Yanti dan Menik baru menaburkan bunga di pusaran orangtua. Yanti dan Menik pun ikut pula menaburkan bunga itu. Demikian Simbok tidak ketinggalan sambil batuk batuk yang dibuat-buat. Selesai menaburkan bunga di makam orangtuaku, gantian kami mengunjungi makan sanak saudara Yanti dan Menik. Suasana itu belum memungknkan unutk bercerita. Jadi masih dalam suasana doa.
Simbok tidak ikut ke makam sanak saudara Yanti dan Menik, maka Simbok memutuskan pulang duluan. Sementara kami bertiga masih tinggal di makam situ sambil berbincang-bincang sekaligus melepas rasa kangen setelah sekian lama tidak berjumpa. Makam ini menjadi tempat perjumpaan sekaligus tempat bedoa. Di makam itu tumbuh banyak pohon kamboja dan bunganya tidak pernah berhenti menaburkan di atas makam yang ada di situ. Kami pun duduk di antara nisan orangtuaku yang juga ada banyak pohon rindang.
“Jo, Paijo, ketemu lagi di sini,” seru Yanti membuka pembicaraan.
“Iyo, Jo, Paijo. Tempat ini menjadi saksi kita selalu bertemu untuk mendoakan sanak saudara yng dimakamkan di sini,” timpal Menik tidak mau kalah.
“Heeee, Menik dan Yanti, kapan datang?” tanya Paijo membuka pembicaraan baru.
“Kemarin Jo,” seru Yanti dan Menik serentak.
“Jo, Paijo. Kenapa Gereja Katolik selalu mendokan arwah umat beriman, bukankan dengan dibaptis kita otomatis masuk surga?” tanya Menik
“Iya Jo, Paijo, menurutmu apa ya, aku selalu ditanya temanku di kota, tetapi jawabku juga hanya standar. Sepertinya mereka tidak merasa puas dengan jawabanku,” timpal Yanti.
“Waduh berat juga ya pertanyaanmu. Setahu saya begini. Salama manusia hidup di dunia itu sekecil apapun pasti mempunyai noda yang mesti dibersihkan. Makanya dalam bacaan Zakharia itu ibarat emas yang dibakar akan dimurnikan. Ini gambaran bagi kita yang saat nya dipanggil Tuhan akan dimurnikan. Masa pemurnian itulah butuh doa-doa kita,” seru Paijo.
“Itu kan biasa yang kita diskusikan dari dulu, mereka tetap belum puas,” sahut Yanti
“Maksud saya begini. Kita gambarkan dengan besi yang dipanaskan di api. Besi itu lama kelamaan akan menjadi serupa dengan api warnanya. Bara besi itu membuat warnanya seperti Api. Kotoran-kotoran dalam besi itu dengan sendirinya akan hangus, jadi tinggal emas, perak atau besi murni. Demikian juga Roh Allah ibarat api yang memurnikan jiwa manusia. Masalahnya apakah Roh Allah itu telah membakar jiwa manusia sehingga jiwa manusia sudah seperti Roh Allah itu sendiri. Kualitas besi, perak, atau emas Nampak ketika dibakar. Jika semua sudah sama warnanya dengan api yang membakar itu maka itulah kebadaian, karena noda-noda yang bukan emas, perak dan besi telah dilebur oleh api. Demkian jiwa kita menyerupai Allah ketika sudah dibakar dengan api cinta Kristus dalam api penyucian,” jelas Paijo
“Hmmmmm, wellll, wellll, masuk akal,” Seru Yanti seraya tersenyum.
“Lalu, apa fungsi doa kita,” tanya Menik
“Menik, doa kita itu hanya minta belas kasih Allah semoga saudara kita itu bisa segera dimurnikan dan masuk dalam keabadian. Kenapa jiwa manusia tidak menyerupai Allah padahal kita adalah gamabran Allah? Itu terjadi karena manusia menjauhkan diri dari Roh Allah sendiri yang setiap hari membersihkan diri kita. Besi itu tidak akan berubah menjadi bara ketika tidak dipanaskan dan jauh dari api itu. Demikain juga manusia akan kehilangan wajah Allah ketika jauh dari Allah itu sendiri. Doa itu sebagai sarana mohon belas kasih Allah, supaya saudara yang mendahahuli kita segera mendapatkan martabat kesucian di surga. Kita percaya bahwa Allah akan memberikan mahkota kehidupan kekal kepada saudara-saudadi kita yang telah meninggal. Ibarat besi, perak dan emas dibakar akan cepat membara seperti api itu sendiri,” seru Paijo.
“Jo, Paijo. Sama sama besi, tetapi kualitas akan menjadi bara yang menyala tergantung pada api yang membakar, demikian juga hidup manusia seperti gambaran Allah kalau kita selalu dekat dengan Allah maka wajah Allah akan selalu tampak dalam diri manusia. Wah canggih juga cara mikirmu Jo, Paijo,” seru Menik.
“Ok, dah siang, kita pulang. Mampir dulu ke rumah kita lanjutkan di rumah,” ajak Paijo seraya berdiri dan berjalan menuju rumah.
Selama perjalanan seperti biasa kami bercanda ria seperti masa kanak-kanak dulu. Rasanya tidak ada yang berubah, kecuali badan Menik dan Yanti yang semakin menunjukkan kemakmuran alias duttttt.
“Ah ngledek ya, mentang-mentang kami dah duttt,” seru Yanti dan Menik sambil mukul Paijo.
“Embekkkkk, embekk” suara kambing telah menyambut kami bertiga. Simbok pun sudah siapkan pula dengan makanan itu untuk kami berempat. Terlihat ada ayam goreng dan sambel.
“Ayoooo, makan bersama,” ajak Simbok
“Wah tumben Simbok masak ayam,” tanya Paijo.
“Iya kana ada tamu-tamu agung, jadi sekali-kali makan enak donk,” seru Simbok dengan bahasa gaul.
“Enak tenan,” seru Paijo seraya melalap makanan sampai ludes.
“Jo, Paijo. Itu ayam milikmu, abis tadi keikat tali dan hampir mati, sekalian Simbok sembelih,” seru Simbok sambil tersenyum.
“Aduhhhhhhh ayammmm kuuuuu, sudah masuk perut,” seru Paijo sambil memegang perutnya yang sudah kenyang makan ayamnya sendiri.
“Haaaaaaa,” kami pun bergembira bersama melihat kesedihan Paijo ditinggal ayamnya.
“Ayam, ayam, nasibmu sekarang di perutku, Menik, Yanti dan Simbok,” seru Paijo seraya mengakhiri makan siang bersama itu.
(RD Jatmiko)