Pendidikan karakter sedang hangat dibicarakan. Bahkan, dengan adanya Perpres bernomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 6 September 2017 lalu, arah pendidikan ini semakin dimantapkan. Munculnya kebijakan pemerintah pada umumnya dilakukan untuk menyikapi kondisi yang telah dan sedang terjadi, atau mempersiapkan kondisi masa depan. Banyak keprihatinan masyarakat saat ini telah menjadi pengetahuan umum, seputar korupsi, penggunaan narkoba, perundungan pada remaja, terorisme, serta konflik yang membawa unsur SARA. Dari beberapa pengamatan, ditemukan bahwa kepandaian semata,ataupun gelar pendidikan tinggi yang diperoleh seseorang, tidak menjamin kebermanfaatan dirinya dalam masyarakat. Para ahli menyimpulkan, bahwa karakter memainkan peranan penting. Seorang manusia tumbuh dengan karakter yang bagaimana sehingga ia dapat menjadi manfaat atau sebaliknya, merugikan masyarakatnya.
Menilik pada pengertian bahasanya, menurut Pusat Bahasa Depdiknas, kata “karakter” berarti bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, temperamen, dan watak. Seseorang dapat dikatakan memiliki karakter buruk atau karakter mulia, dilihat dari tindakan, sikap, ucapan, dan caranya merespons sesuatu. Menurut Thomas Lickona, pakar pendidikan karakter, karakter berkaitan dengan moral. Pada umumnya, karakter mulia ditampilkan dalam nilai-nilai bertanggung jawab, disiplin, mandiri, kreatif, jujur, bekerja keras, dan nilai positif lainnya.
PPK tidak terlepas dari upaya pemerintah mempersiapkan Generasi Emas 2045, yakni generasi muda yang memiliki keunggulan dalam persaingan global abad 21. Kompetensi abad 21 yang juga penting dikembangkan adalah literasi dasar, kompetensi berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaborasi. Penguatan karakter dilakukan melalui harmonisasi olah hati (etik & spiritual), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi dan numerasi), dan olah raga (kinestetik).
Dengan melepaskannya dari konsep-konsep yang abstrak, sesungguhnya membangun karakter pada anak sesederhana mengajak anak belajar mengantre, menghargai kejujuran anak saat mengakui kesalahannya, memberi pengertian pada anak agar tidak memotong pembicaraan orang lain, mengajari anak mengikuti upacara bendera dengan khidmat, memuji anak yang mampu mengatasi kesulitannya sendiri, dan sebagainya. Dengan demikian, karakter dapat dikembangkan sedini mungkin pada anak. Hanya saja, membangun karakter tidak bisa dilakukan sekejap mata, dengan satu kali ajakan, anjuran, atau peringatan. Prosesnya bisa menjadi lama atau singkat, tergantung daya serap anak, jumlah pengalaman anak, dan yang juga penting adalah konsistensi pengajaran dari lingkungan.
Membangun karakter akan lambat berhasil apabila terdapat ketimpangan antara yang anak pelajari di rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Teori ekologis dari Bronfenbrenner dapat menjelaskan hal ini. Perkembangan seorang anak dipengaruhi interaksinya dengan lingkungan terdekat yakni keluarga, tetangga, teman sebaya, sekolah; hingga lingkungan yang lebih luas yang dipengaruhi faktor budaya, nilai masyarakat, teknologi, serta politik. Misalnya, anak belajar mengenai nilai gotong-royong, namun ia lebih banyak menemukan contoh nyata perilaku egois, maka ia mengalami kebingungan dalam memahami nilai di masyarakat. Pada saat inilah, peran pendidik, baik orangtua, kakak, guru, dan orang dewasa lainnya, menjadi penting dalam memberi pemahaman, menjadi pengingat, dan teman diskusi. Selain itu, dengan pola pikir anak yang masih bersifat konkret, anak memerlukan contoh (role model), bukan hanya wejangan. Selanjutnya, biarkan anak mengalami banyak kesempatan dan pengalaman dalam proses menghayati pembentukan nilai dan karakter dirinya. Dimulai saat ini.
(Referensi: http://cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id/, http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/, https://news.detik.com/berita/3631464/jokowi-terbitkan-perpres-pendidikan-karakter-ini-isinya)
(Mia Marissa)