Anda di sini
Beranda > Mancanegara > Waspadai Perang Informasi, Bijak Ber-medsos di Tengah Isu Pertikaian Israel-Palestina

Waspadai Perang Informasi, Bijak Ber-medsos di Tengah Isu Pertikaian Israel-Palestina

Loading

Tulisan ini sekadar sumbang saran untuk kaum muda Katolik secara khusus dan kita semua secara umum agar tidak terjebak dalam pusaran isu konflik Israel-Palestina. Sampaikan buah pikiran se-netral mungkin agar kerukunan hidup beragama tetap terjaga.

Konflik Israel-Palestina kembali meletup dan menelan korban. Untuk kesekian kalinya pertikaian antara kedua pihak menyedot perhatian dunia, termasuk Indonesia. Banyak pihak mengutuk serangan Israel ke wilayah Jalur Gaza yang dinilai terlampau besar sehingga dianggap setara dengan agresi militer. Dunia pun kembali memaksa kedua pihak untuk segera mencari solusi damai.

Di satu sisi, kita pantas menyayangkan serangan balasan Israel yang mengakibatkan sejumlah gedung hancur, puluhan warga sipil Palestina meninggal dan ribuan lain terluka. Kita juga prihatin atas penderitaan yang dialami rakyat Palestina di Jalur Gaza. Namun, kita tetap harus menahan diri agar tak terjebak dalam perang ujaran yang ikut menggema di jagad media sosial.

Disadari  atau tidak, media telah menjadi tempat penyalur kejengkelan, ujaran, caci-maki serta sumpah serapah kepada Israel. Hal ini membuat miris karena cukup banyak ujaran yang keluar dari konteks, bernuansa sentimen agama, sehingga berpotensi menimbulkan persinggungan.

Dalam tataran ini lah, orang muda Katolik harus menjaga diri, tak boleh larut dalam perang ujaran, agar tak terjebak dalam masalah pertentangan agama. Pasalnya, sekali berkobar, “ongkos” yang harus dibayar sangatlah mahal!

Media arus utama, seperti Kompas, Tempo, Metro TV, CNN Indonesia, sebenarnya punya tanggung jawab dan peran penting meluruskan informasi yang bersifat provokatif. Menurut teori klasik komunikasi massa (Harold Lasswell, 1948, dan Charles R. Wright, 1960), komunikasi melalui media (massa) memiliki fungsi surveillance of the environment, sekaligus correlation of the parts of society in responding to the environment.

Maksudnya, media harus memberi interpretasi dan pemahaman yang benar terhadap situasi yang menyangkut kepentingan publik. Selain itu juga perlu memaparkan pilihan serta menawarkan solusi demi kemaslahatan publik (Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication, Edisi ke-3, 1989). Artinya, media massa memegang fungsi krusial di era melimpahnya informasi dengan beragam kualitas dan kredibilitas.

Sayangnya, disengaja atau tidak, banyak informasi disampaikan tidak lengkap, tidak akurat, sehingga menimbulkan misinterpretasi dan salah persepsi. Dan, hal ini sangat mencemaskan. Penulis pernah mengontak dan mengingatkan agar sebuah kantor media merevisi kesalahan judul berita yang berpotensi membakar emosi. Seorang redaktur (kebetulan kenal) mengiyakan, namun judul tersebut tak pernah direvisi.

Judul tersebut menyatakan: “3.000 Roket Israel Hujani Gaza, 181 Warga Palestina Tewas”. Padahal 3.000 roket itu ditembakan oleh sayap militer Hamas. Sepertinya media tetap teguh dengan motto kontroversialnya: Bad News is a Good News! Kesalahan-kesalahan seperti ini jelas memancing reaksi keras, debat yang tendesius, serta diskusi panas di media sosial. Khususnya jika dibaca khalayak dengan pengetahuan terbatas dan minim literasi.

Tanpa literasi memadai, sekelompok orang bisa termakan informasi palsu hanya karena alasan simpati dan antusias terhadap perjuangan Palestina. Pertikaian Israel-Hamas kemarin dinilai telah bertransformasi ke perang informasi. Hal ini lah yang perlu diwaspadai mengingat imbasnya bisa melebar kemana-mana, keluar dari konflik yang sesungguhnya.

Kisruh Wilayah Kedaulatan

Kenapa kedua bangsa sering bertikai? Intinya, hal ini berpangkal dari kisruh pergantian kepemilikan tanah, dari yang semula ditempati bangsa Palestina ke penghuni barunya, bangsa Yahudi. Pemantiknya adalah Deklarasi Balfour yang ditandatangani Inggris pada 1917. Ironisnya hingga kini belum ada titik temu yang memuaskan kedua pihak.

Deklarasi tersebut “lolos” oleh sebab pendekatan intensif Organisasi Zionis, tatkala Inggris-Perancis mengatur pembagian tanah mandat bekas jajahan Turki, jelang kekelahan Kekuatan Tengah (Central Powers: Jerman, Austria-Hungaria, Turki) terhadap Sekutu (Inggris Raya, Perancis, Kekaisaran Rusia) dalam Perang Dunia I.

Tanah yang sudah terlanjur dihuni Palestina selama ratusan tahun itu selanjutnya diserahkan begitu saja kepada orang-orang Yahudi di Eropa yang memang sudah lama ingin kembali ke tanah kelahirannya.

Deklarasi sepihak itu spontan juga memancing kemarahan bangsa-bangsa Arab di sekitarnya (Mesir, Yordania, Lebanon, Suriah, Iran) lantaran dinilai telah melecehkan hak azasi bangsa Palestina. Namun, argumen tersebut diabaikan mengingat adanya keyakinan bahwa nenek moyang bangsa Yahudi telah lebih dulu menetap di sana, bahkan selama ribuan tahun.

Sejarah Yahudi/Israel yang dimuat dalam Kitab Suci membuat Inggris sungkan dengan Organisasi Zionis Dunia yang digagas Theodor Herzl. Di masa lalu, ribuan orang Yahudi terpaksa bermigrasi ke Eropa, Afrika, dan tempat lain di dunia, oleh sebab tekanan penjajahan Romawi, yang selanjutnya beralih ke Kesultanan Ottoman (Turki).

Inggris beranggapan kemarahan bangsa Arab bisa diselesaikan lewat meja perundingan. Namun pada kenyataannya tak semudah membalik tangan. Setelah diwarnai sekian banyak peperangan, pertikaian, pertumpahan darah, berbagai perundingan, dan proses mediasi di meja internasional, kedua pihak tak pernah sampai pada titik temu yang memuaskan.

Bangsa Palestina menuntut wilayah kedaulatan sendiri (agar bisa menjadi State of Palestina), sementara Israel hanya setuju menyediakan dua tempat di mana mereka bisa membangun pemerintahan sendiri. Kedua tempat itu adalah Jalur Gaza (Gaza Strip) dan Tepi Barat (West Bank).

Jalur Gaza selanjutnya diperintah Hamas, faksi politik terkuat dalam parlemen Palestina; sementara Tepi Barat di bawah Fatah-faksi yang pernah mencuatkan tokoh legendaris Yasser Arafat, yang puluhan tahun memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina. Semula Fatah merupakan kekuatan politik terbesar, namun selanjutnya tergeser Hamas yang memenangkan pemilu legislatif 2006.

Pertikaian senjata 10-21 Mei 2021 sendiri meletup pasca tindakan aparat Israel terhadap demonstrasi pemuda Palestina di Yerusalem Timur (7/5). Penanganan yang dianggap berlebihan ini disebut-sebut menyulut kemarahan sayap militer Hamas, Brigade Izz ad-Din al-Qassam, yang kemudian meresponnya dengan tembakan roket ke arah pemukiman orang Israel di Yerusalem.

Roket-roket itu spontan ditangkis rudal sistem pertahanan udara Iron Dome. Namun karena serangan yang dilakukan Brigade al-Qassam kian bertubi-tubi dan membahayakan, Israel lantas membalasnya dengan serangan udara ke beberapa sasaran di Gaza yang diperkirakan jadi markas Al-Qassam. Padatnya pemukiman di Gaza membuat efek kolateralnya berimbas ke pemukiman sipil.

Faktor Hidden Agenda

Benarkah bangsa Israel dan Palestina tak bisa hidup rukun? Buku laris Yerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir (2008) yang disusun wartawan Kompas, Trias Kuncahyono, memberi gambaran menarik. Orang luar, tulisnya, boleh saja membingkai Israel sebagai negara yang kacau dan tak pernah damai. Faktanya, keseharian mereka tak seburuk dibayangkan orang.

Yerusalem memang hanya sebuah kota, namun sedikit-banyak bisa menggambarkan derap kehidupan di Israel. Banyak kegiatan tak lepas dari keberadaan bangunan-bangunan suci tiga agama samawi: Islam, Kristen, dan Yudaisme. Di antaranya adalah: Masjid Al Aqsa, Gereja Makam Kudus, dan Tembok Ratapan.

Buku ini menulis rinci, betapa orang Palestina dan Israel sebenarnya sudah bisa hidup berdampingan dan saling mengerti. Tak ada lagi persinggungan agama, tiap umat bebas melaku­kan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Suasana damai juga dirasakan para peziarah dari pelbagai bangsa dan negara.

Lewat penelusuran jurnalistiknya, Trias Kuncahyono juga melihat kedua bangsa telah memahami bahwa pertumpahan darah tidak mampu menyelesaikan masalah yang telah lama berkecamuk di antara mereka. Sebaliknya, hidup dalam damai menjadi pilihan paling ideal dan realistis daripada menumpahan darah demi sebuah ideologi yang sempit.

Gambaran itu toh tetap sumir. Konflik tetap bisa meletup dan berkobar kapan saja, bahkan meluas kemana angin amarah bertiup. Itu sebab, kita dituntut bijak berujar dan berkomentar di media sosial. Silakan kritis tapi tetap pada koridor yang netral. Senantiasa waspada agar tak tergiring ke dalam jebakan opini yang mempertaruhkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Pertikaian kemarin memang sudah selesai. Namun, kelak, jika konflik serupa meletup lagi, ada baiknya amati dahulu siapa yang memulai? Benarkah meletup akibat kulminasi persinggungan di keseharian? Atau, jangan-jangan sengaja dipantik atau dikobarkan sekelompok orang atau golongan untuk tujuan tertentu.

Penulis tak memahami benar problema sosial-politis yang membalut bara sejarah Israel-Palestina. Para pemerhati masalah Timur-Tengah yang tampil di televisi dan kerap memberi ulasan di media massa pun belum tentu menguasai sepenuhnya. Latar belakang sebuah pertikaian mungkin tetap sama, namun para politisi di meja pemerintahan boleh jadi punya perhitungan lain di agendanya masing-masing.

Sosiologi Michel Foucault menyatakan, setiap periode peradaban manusia memiliki perbedaan sudut pandang dalam melihat dunia. Ada semacam struktur konseptual (conceptual structure) yang menentukan pendefinisian kebenaran berdasar pijakan pengetahuan (the nature of knowledge) pada masa itu. Alhasil, setiap pengetahuan dan kejadian memiliki karakteristik tertentu sesuai periode peradabannya. (Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writing, 1872-1977)

Di sisi lain, sejarah peperangan dunia telah mencatat berbagai hidden agenda, tak peduli seberapa besar tragedi kemanusiaan dan kerusakan yang ditimbulkan. Ada yang terjadi atas nama pertarungan industri, ekspansi bisnis, perluasan hegemoni, urgensi modernisasi, bahkan ada pula yang dilakukan demi legitimasi kekuatan politik. (War is only a branch of political activity, Claus Von Clausewitz, 1831).

Akhir kata, sekali lagi kita perlu bijak bertutur dan berujar dalam menanggapi setiap kejadian atau peristiwa yang tersiar dari wilayah Timur-Tengah, khususnya Israel. Jika tidak, kerukunan hidup agama yang telah terbina sekian lama akan hancur begitu saja.

Penulis: Adrianus Darmawan | Editor: Aloisius Johnsis

*Penulis adalah wartawan dan Ketua Seksi Komunikasi Sosial Paroki BMV Katedral Bogor periode 2007-2015.

Leave a Reply

Top