
Yohanes 21:17 Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.
Kehidupan terus bergulir tanpa bisa tertunda. Hari berganti hari mengiringi siklus kehidupan dan semua itu terjadi tanpa bisa diulang. Hidup terus maju dan tidak pernah ada peristiwa yang sama terulang, semua itu merupakan perubahan yang senantiasa baru. Nampaknya hari ini sama dengan hari kemarin yang ditandai dengan terbit dan terbenamnya matahari, sesungguhnya itu bukan sama, tetapi sesuatu yang senantiasa baru. Ibarat sungai mengalir, air itu nampaknya sama, namun air itu selalu menberikan sesuatu yang berbeda dengan. Jadi alam telah memberikan sebuah pelajaran bahwa manusia tidak boleh terhenti pada persoalan masa lalu, sebaliknya manusia harus selalu menatap masa depan dengan penuh harapan. Manusia akan berhadapan dengan realitas yang sering kali menyeret kembali ke masa lalu yang tidak kunjung henti. Ini menjadi kendala bagi setiap orang untuk maju karena terbelenggu masa lalu yang sering kali menyedihkan. Padahal manusia harus selalu hidup menatap msa depan yang senantiasa baru.
Kitab Ssuci menggambarkan bagaimana kehidupan Para Rasul terbelenggu oleh masa lalu yang menyenangkan bersama Yesus. Mereka merasa bangga dan senang untuk mendampingi Yesus dalam karya pewartaanNya. Namun Para Rasul lupa bahwa itu ada batasnya, yakni manusia pada gilirannya akan terpisah secara alami. Semua itu adalah kodrat yang tidak bisa ditolak. Kegalauan dan kekacauan hati Para Rasul sangat terlihat ketika mereka ditinggal Yesus pasca kematianNya di kayu salib. Harapan, kebanggaan, keindahan, kesenangan dan segala perasaan yang tersandar pada Yesus menjadi luntur. Para Rasul merasa tidak bisa apa-apa lagi setelah kematian Yesus. Terlihat bagaimana Para Murid kocar-kacir pergi tanpa arah. Dua murid pergi ke Emaus dengan kegundahan memberikan sebuah gambaran hilangnya pengharapan masa depan mereka. Demikian juga Thomas menolak bahwa Yesus telah bangkit dan juga aneka reaksi kegalauan mereka.
Kegalauan itu adalah bagian hidup manusia yang akan dialami oleh setiap orang tanpa terkecuali. Semua akan mengalami aneka kegalauan yang sering kali menghambat laju hidup mereka. Situasi kegalauan itu nampaknya juga masih dialami oleh Paijo sepeninggalnya Simbok. Galau, kacau, sepi dan aneka perasaan mewarnai hati Pijo dalam kesendirinnya. Kini Paijo hanya tinggal dengan kambing-kambing yang kadang terlupakan pula untuk diajak merumput ke padang. Kehilangan sering kali membuat orang tidak lagi fokus menatap masa depan. Demikin juga Paijo, ia selalu merenung masa lalu yang terasa nyaman karena ada Simbok. Kini kenyamanan itu hilang dan Paijo tidak lagi bisa bersandar pada Simbok untuk bisa berbagi cerita sekalipun hanya hal sepele.
Sepeninggal Simbok telah mengubah keceriaan Paijo seperti hilangnya keceriaan Para Rasul sepeninggalnya Yesus. Semua seperti gelap, kehilangan arah, dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Bangun tidur biasanya ada teh manis dan singkong rebus, kini ketika bangun pagi hanya terdengar suara kambing kelaparan. Paijo dan kambing sama-sama lapar, namun tidak ada yang dimakan. Situasi ini memang tidak membuat Paijo dan kambingnya nyaman, tetapi itu yang sedang terjadi. Hiburan apapun nampaknya belum bisa membuat Paijo bangkit menatap masa depan, paling Paijo menghibur diri dengan duduk di pusara Simbok sambil merasakan angin yang sepoi poi menerpa dirinya. Dalam kegalauan itu Paijo terpaku di beranda rumah tanpa menampilkan ekspresi dirinya seperti biasa. Sesekali Paijo terlihat komat kamit berdoa seraya mengusap air mata yang masih mengalir belum ada habisnya.
“Mbokk, Simbokkkk, kenapa Simbok cepat meninggalkan aku to, Mbokk,” seru Paijo dalam hati di beranda.
“Embekkkkk, embekkkkk,” suara kambing yang tidak terhiraukan oleh Paijo. Kambing-kambing itu sepertinya mengetahui kesedihan Paijo sehigga suara itu bak sebuah hiburan. Sementara kambing itu mengembik, Paijo masih belum beranjak dari tempatnya sambil membayangkan bagaimana Simbok menemani duduk di beranda rumah seraya minum teh. Kini Paijo mesti sendiri ditemani kambing-kambing itu.
“Jo, Paijo,” seru Yanti dan Menik seraya menepuk pundaknya kanan kiri. Mereka berdua sudah beberapa saat duduk di sampingnya, namun Paijo tidak menyadari kehadirannya. Kedatangan itu sangat mengagetkan, sama seperti kedatangan Yesus yang mengagetkan Para Rasul. Yanti dan Menik baru bisa datang saat ini, sebab saat kematian Simbok, mereka berdua masih di luar kota. Yanti dan Menik pun ikut merasakan kesedihan sahabatnya. Bela sungkawa Yanti dan Menik ini setidaknya memberikan penghiburan kepada Paijo yang masih galau.
“Jo, Paijo. Saya bisa paham perasaanmu, Jo, Paijo. Kita semua mengenal Simbok, kita sering bercanda bersama, makan bersama, bahkan kita sering kali ledek-ledekkan bersama. Namun semua itu ada waktunya, bukankan kita orang Katolik meyakini itu,” seru Menik menghibur sekalipun matanya juga berlinang. Demikian juga Yanti pun ikut merasakan kesedihan itu, jadi merekapun tidak banyak bicara kecuali saling menguatkan.
“Iya, terima kasih sobat-sobatku. Ya ini peristiwa yang sangat luar biasa yang mesti dihadapi, jadi hanya kepada Tuhan semua akan kembali baik adanya. Saya masih sedih mengapa Simbok pergi begitu cepat,” demikian Paijo menghibur diri sekalipun itu berat dijalankan. Situasi menjadi hening, segera Menik dan Yanti ke belakang tanpa banyak bicara. Mereka berdua sudah apal dengan rumah Paijo, sebab ketika masih ada Simbok mereka biasa masak bersama dan makan bersama. Demikian juga kini mereka menyiapakan makan untuk bertiga.
“Jo, Paijo. Ayo kita makan saja, ini pesan Simbok supaya persahabatan itu tidak putus dalam suka dan duka. Kini mari kita nyatakan pesan Simbok itu dengan makan yang sudah ada ini,” seru Menik yang sangat mengenal Simbok.
Mereka bertiga makan apa yang dibawa Yanti dan Menik. Makanan sayur tempe dan nasi tiwul adalah ciri kas yang selalu dimasak Simbok. Sengaja Yanti dan Menik memasak itu untuk menghibur Paijo agar Paijo tidak merasa kehilangan yang begitu dalam. Kini sahabat-sahabatnya selalu menguatkan Paijo.
“Jo, Paijo. Kita sebagai orang katolik diingatkan bahwa kehidupan itu terus berlangsung dan ada batasnya di dunia ini. Tugas itu kini menjadi bagian kita. Ingat ketika Yesus hidup, tugas itu sepenuhnya dijalankan Yesus, sementara para murid hanya mengikuti. Itulah saat para murid belajar bagaimana melayani dan berkarya. Kini giliran para murid menruskan tugas itu. Demikian juga kamu Jo, Paijo. Sepeninggalnya Simbok, kamu yang harus meneruskan seperti Yesus minta Petrus meneruskan tugas itu, gembalakan domba-dombaKu. Artinya kita mesti tidak boleh sedih keterusan, kita harus bangkit menjalankan tugas berikutnya. Kita telah belajar dari Simbok dan kita tidak akan elalu bersama Simbok. Maka tugas kita sepeninggal Simbok, ya meneruskan apa yang baik, bukan berhenti pada pengalaman masa lalu saja,” kata Manik dengan suara yang sangat menyentuh Paijo.
“Yaaaaa, terima kasih, Menik, Yanti.Kalian telah menyadarkan saya,” seru Paijo.
“Nahhhh, begitu donk, ayo bangkit,” seru Yanti memberi semangat. Suasana pun mulai cair maka pembicaraan juga mulai enak, tidak lagi dalam keheningan seperti awal.
“Embekkkkkk, embekkkkk,” suara kambing itupun memecah perhatian mereka.
“Joooo, Paijo. Tuh kasih makan dulu, biar kami yang beres-beres ini. Setelah ini kita ke makam bersama,” kata Menik dan Yanti serentak.
“Jooooo, Gembalakan domba-domba Simbokkkk ya,” seru Menik seraya mengajak bercanda Paijo.
Selesai itu semua, kamipun membawa setangkai bunga mawar yang ada di depan rumah itu untuk dibawa ke makam Simbokkkk.
“Mbokkkkk, Simbokkkkk, Paijo, Yanti, dan Menik datang Mbokk,” seru Yanti dan Menik setibanya di makam seraya bersimpun dan berdoa.
“Damai di surga ya Mbok, Simbokkkkk, biar Paijo meneruskan tugas Simbokkk,” seru Menik seraya meletakan bunga mawar kesenangan Simbok di Pusara.
Penulis: RD Nikasius Jatmiko | Editor: Bernadus Wijayaka