
Matius 6:16 “Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
Rabu Abu telah tiba, tiap umat memulai masa pertobatan dengan penuh hikmat sekalipun masa pandemik belum berakhir. Rabu Abu tahun ini, umat Katolik mengalami sedikit kendala saat akan ditandai dengan abu di dahi.
Penerimaan abu itu tidak bisa diterima seperti biasanya, semua itu dilakukan demi kebaikan bersama. Umat pun masih mempunyai perasaan was-was manakala ketemu kerumunan yang bisa mendatangkan ketidaknyamanan bagi orang lain. Peristiwa ini menjadi sebuah nuansa tersendiri dalam masa prapaskah ini. Sekalipun demikian, Rabu Abu tetap dilaksanakan dengan mengikuti protokol kesehatan. Hal ini mengurangi kekhawatiran terhadap penyebaran virus. Sebagai umat Katolik, kita harus menaati semuanya itu. Tujuannya adalah kebaikan bersama dan membantu agar pandemi ini cepat berlalu.
Situasi kurang bersahabat ini tidak menyurutkan umat untuk tetap menghayati imannya dalam masa puasa ini. Di balik kesedihan saat umat tidak bisa menerima abu di dahi seperti biasanya, ada sebuah harapan bahwa Allah akan datang menyelamatkan umatnya. Dalam Perjanjian Lama dijelaskan bagaimana umat yang kena wabah, kembali diberikan kesembuhan. Niniwe juga tidak jadi ada bencana karena Allah membantunya, semua itu karena sebuah harapan dengan didasarkan pada pertobatan atau METANOIA. Demikian juga umat zaman sekarang sedang mengalami sebuah bencana bersama. Ini menjadi saat yang baik untuk berharap kepada belas kasih Allah melalui pertobatan. Gereja merayakan masa pertobatan itu dalam Rabu Abu sesuai kalender Liturgi. Semua itu dilandaskan pada harapan sekaligus pertobatan manusia, seraya mendekatkan diri dengan Allah melalui: doa, puasa, amal, dan kasih.
Gereja masih memberikan pelayanan misa offline, sekalipun kehadiran umat dibatasi. Ada sesuatu yang hilang ketika misa Rabu Abu tidak ditandai abu di dahi. Iman merasa belum puas manakala kita belum menerima abu sebagai tanda pertobatan. Perubahan suasana ini tentu tidak boleh menghilangkan harapan akan sebuah kebaikan yang akan datang. Segala sesuatu yang datang itu sering kali ditandai dengan pencobaan, jadi semua akan baik adanya. Inilah sebuah pencobaan agar manusia makin dekat dengan Allah, sehingga Allah akan menyelamatkan umatNya. Kesadaran iman itu menjadi kunci bagaimana iman itu terus berkembang sekalipun menghadapi banyak cobaan. “Tuhanlah gembalaku, aku tidak akan berkurangan” menjadi refren yang senantiasa didengungkan dalam langkah hidup kita. Tuhan sang gembala akan selalu menjaga kawananNya.
Paijo kini tinggal sendiran dan hanya berharap bahwa pandemi Covid-19 itu segera berlalu dan segala aktivitas di masyarakat dan gereja bisa kembali seperti semula. Kebiasaan Paijo dan Simbok pun akhirnya terhenti untuk bisa ke gereja bersama di masa Rabu Abu ini. Kini Paijo hanya bisa menjalankan hidup seorang diri di kampung dengan kambing-kambing, tanpa didampingi Simbok. Semua itu adalah peristiwa yang mesti diterima oleh manusia. Di balik keterbatasan manusia itu ada sebuah harapan yang terus memberikan ruang bagi Paijo untuk hidup lebih baik, sekalipun tanpa Simbok.
Rabu Abu menjadi tradisi bagi Paijo dan Simbok untuk pergi ke gereja mengawali masa puasa. Situasi yang berbeda itu tentu telah merubah sikap Paijo menjalankan masa Rabu Abu itu. Saat Rabu Abu tiba, Paijo pun tidak bisa pergi ke gereja, Paijo cukup berdoa di rumah serasa mohon belas kasih Allah. Rabu Abu memang selalu ada, tetapi kebersamaan dengan Simbok tidak selalu ada di dunia ini, semua ada batasnya atas kehendak Allah yang maharahim. Maka selepas doa Rabu Abu di rumah, Paijo pun pergi ke makam untuk curcol sejenak kepada Simbok di pusara.
“Mbokkkk, Simbokkkk. Saya hadir ya, mbok,” demikian Paijo duduk di dekat pusara Simbok seraya menyapa dan berdoa. Selepas berdoa, Paijo pun tidak bergegas pulang, tetapi tetap duduk di situ sekaligus curcol sama Simbok di makam. Sekalipun Simbok tidak menjawab secara verbal, Paijo yakin Simbok tetap mendengarkan dan manyapa Paijo dengan senang hati. Itulah keyakinan Paijo, sehingga dia masih betah duduk di pusara Simbok di bawah pohon kamboja.
“Mbok, Simbokkkk. Sekalipun Simbok tidak lagi ada di sampingku secara fisik, pasti Simbok akan menemani. Paijo ingat Simbok kala menjalani masa puasa di Rabu Abu, sekalipun Simbok tidak pernah menyuruh untuk puasa, Simbok telah memberikan teladan yang baik, Mbok, Simbok,” seru Paijo dalam hati sambil memegang pusara Simbok.
“Mbok, Simbok. Puasa tetap Paijo jalani ya, mbok. Paijo akan meneruskan kebiasaan Simbok yang juga telah diajarkan gereja lewat Kitab Suci. Semoga puasa ini mampu merubah sikap menjadi lebih baik. Puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi lebih menekankan sikap kerendahan hati untuk berbuat baik kepada sesama. Puasa harus mampu merubah hidup lebih baik, tertutama kehidupan rohani. Mbok, Simbok, Paijo akan berusaha meneladani contoh hidupmu, ya Mbok,” kembali Paijo mengajak Simbok curcol di makam itu.
“Mbok Simbok. Simbok telah menyelesaikan peziarahan di dunia ini, Paijo percaya Simbok telah bahagia bersama Yesus yang kita imani ya, Mbok. Semoga semangat iman Simbok terus Paijo jalankan. Terima kasih Simbok telah menurunkan iman yang luar biasa. Sekali lagi, terima kasih ya, Mbok. Simbok telah menanamkan iman Katolik kepada saya,” kata Paijo seraya berkaca-kaca mengingat Simbok yang telah bertahun-tahun mengajari makna kehidupan sebagai orang Katolik.
“Mbok, Simbok. Simbok tidak menuntut saya untuk menjadi sukses, namun Simbok menuntut saya menjadi orang yang baik dan beriman. Karena orang beriman dan baik itu melebihi orang yang sukses, semua itu perlu diusahakan dan perlu dijalani dengan tekun. Simbok telah memberi contoh ketekunan beriman itu. Simbok pernah mengatakan bahwa kebahagiaan hidup itu bukan soal banyaknya duit dan makan enak, tetapi manusia senantiasa harus tekun dalam iman dan rukun selalu kepada sesama. Wejangan Simbok akan saya wujudkan ya, Mbok. Semoga nasihat Simbok tetap hidup dalam diri Paijo,” seru Paijo mengingat segala yang pernah dinasehatkan Simbok.
Ungkapan demi ungkapan itu seraya mengalir dalam diri Paijo seperti berbicara kepada seseorang. Dalam percakapan itu, air mata Paijo terus berkaca-kaca bahkan bebeberapa kali menetes, namun Paijo tidak mempedulikan itu, semua itu berjalan secara natural. Paijo begitu mencintai Simbok yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan, sekalipun tidak bergelimpangan harta.
Paijo sudah merasakan kebaikan, sekalipun sering kali terjadi selisih pendapat. Semua itu adalah dinamika kehidupan yang saling menguatkan satu dengan lainnya. Simbok kini telah menjadi pendengar yang baik bagi Paijo, tanpa harus ada perdebatan. Spiritualitas Simbok telah tumbuh dalam diri Paijo untuk tetap menjalankan iman Katolik dengan baik dan benar.
“Mbok, Simbok. Semoga masa puasa tanpa Simbok, memberikan perubahan, sehingga Paijo bisa menjalani hidup lebih baik bagi sesama. Mbokkkk, Simbokkk, saya pulang dulu, Damai selalu di Surga bersama Yesus,” seru Paijo mengakhiri curcolnya seraya mengusap air matanya yang masih mengalir tanpa disadari Paijo. Akhirnya Paijopun mencium dan memegang pusara Simbok seraya minta pamit.
“Mbokkkk, Simbok, Paijo pulang,” seru Paijo seraya meninggalkan makam itu.
Penulis: RD Nikasius Jatmiko | Editor: Bernadus Wijayaka
😭😭😭😭