September lalu, KWI berbagi kabar penting terkait upaya gereja mengantisipasi penyalahgunaan media sosial yang potensial merusak kerukunan hidup beragama dan kehidupan berbangsa. Sekitar 40 Orang Muda Katolik pegiat media-sosial dari berbagai keuskupan hadir ke Wisma KWI, Pondok Labu, Jakarta, untuk dilatih menjadi agen Kabar Gembira. Menurut saya, ini adalah langkah penting gereja yang bersifat taktis juga strategis untuk menepis masalah pelik yang bisa berujung pada disintegrasi bangsa.
Seperti kita simak dalam beberapa bulan terakhir, penyalahgunaan media sosial dengan memuat berita bohong (hoax) faktanya sudah sampai tahap yang sangat merisaukan. Terlebih karena kerap diisi informasi berbau SARA, yang sengaja dihembuskan untuk memancing ketegangan dan menjatuhkan wibawa Pemerintah. Kelompok-kelompok marjinal terbukti mudah dipengaruhi dengan berita-berita seperti ini. Jika hal itu terus berkembang (dan, faktanya telah beberapa kali terjadi), “harga”untuk menetralisirnya amatlah “mahal”.
Sekadar contoh, lihat saja dalam pertarungan pilkada akhir-akhir ini. Beberapa kelompok seperti tak sungkan isu yang tengah berkembang demi meraih kemenangan instan. Medsos rupanya bisa menjadi medium yang amat efektif sekaligus murah untuk tujuan-tujuan seperti ini. Dan, para pelaku tampak tak peduli dengan segala imbasnya.Betapa pun sebagai imbas, kerukunan di antara umat beragama seolah ditempatkan pada ujung tanduk.
Harus dikatakan, tak mudah memang merumuskan taktik dan strategi pencegahannya, terlebih jika penyalahgunaan medsos didukung dan dibiayai kekuatan politik tertentu. Siapa pun tahu, politik bersifat dan banyak negara pernah tertimpa prahara akibat permasalahan ini.Untuk itu seyogyanya gereja memang perlu menyertakan pakar politik dalam pelatihan seperti ini. Mereka yang seiman bisa diminta ikut memberi arah agar tujuan lebih mudah tercapai.
Krisis di bidang penyampaian informasi sendiri telah diramalkan jauh hari oleh berbagai pakar. Di antara yang telah mewantiwantinya adalah Alvin Toffler lewat Future Shock yang diterbitkan pada 1970-an. Dalam buku larisnya ini ia memaparkan bahwa meski dunia menyambut baik seluruh buah kemajuan teknologi, tak sedikit kelompok masyarakat dan bangsa terkejut (shock) terhadap imbas yang menyertainya. Khususnya dalam masa transisi sejak kemajuan ini diperkenalkan.
Toffler mendiskripsikan bahwa internet, medsos dan sejenisnya adalah buah teknologi informasi yang tak bisa dihindari oleh siapa pun. Bagian dari zaman ketiga ini lahir setelah dunia sekian lama melewatkan keterkejutan yang muncul akibat dampak Revolusi Industri (1750-1850). Kemajuan yang ditandai dengan kemunculan mesin uap ini memaksa orang-orang dari zaman besi untuk tergopoh-gopoh menyesuaikan diri dengan kegiatan ekonomi yang semakin cepat dan menembus batas negara.
Namun demikian, dalam situs Forbes (21/6/2012), ekonom Shel Israel menganggap kekuatiran Toffler sebagai amat berlebihan. Menurutnya, kemajuan teknologi informasi tidak serta-merta membuat dunia depresi. Malah sebaliknya, banyak negara dan kelompok masyarakat menikmati banjirnya informasi yang disebar via satelit tersebut.
Sesungguhnya, tak ada yang salah dari kedua argumen di atas. Itu karena keduanya melihat dari sudut pandang berbeda. Dengan kata lain, limpahan informasi akan bermanfaat jika seseorang bisa memilah-milah lalu memilihnya sesuai kebutuhan. Sebaliknya, akan berdampak buruk jika seseorang tak bisa memilah-milah dan memilih mana informasi yang berguna untuknya. Sayangnya, di antara kita saat ini, cukup banyak orang atau pihak yang masuk dalam kelompok terakhir.
Lalu, apa yang bisa dilakukan agar limpahan informasi tak berujung petaka? Langkah jitu yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan literasi yang bisa ditempuh dengan gerakan gemar membaca. Literasi adalah kemampuan memilah-milah informasi. Gemar membaca akan mengasah intuisi untuk menilai kualitas berbagai informasi serta membangun kemampuan untuk menyaringnya sesuai dengan kebutuhan kita. Dengan demikian kita akan menjadi kritis dan tak mudah terjebak dalam pusaran informasi yang bersifat hoax.
Gereja sebenarnya telah melakukan berbagai upaya peningkatan literasi di kalangan kaum muda. Namun alangkah baiknya jika kegiatan-kegiatan ini juga didukung gerakan gemar membaca di kalangan usia dini. Anak-anak perlu dijadikan subyek karena memangtak ada cara instan dalam pencegahan disintegrasi bangsa. Mereka, misalnya, bisa dirangsang untuk gemar membaca lewat program-program Sekolah Minggu. Komsos dan OMK juga perlu dilibatkan untuk lebih aktif membuka pelatihan menulis bagi kalangan umum.
Dalam kegiatan-kegiatan tersebut gereja tak perlu mematok sasaran-sasaran yang muluk, karena dengan bangkitnya minat membaca dan menulis saja, umat sebenarnya sudah diantar ke arah pribadi-pribadi yang pintar, peka serta kritis terhadap berbagai perkembangan terkini.
(Adrianus Darmawan)
Penulis adalah Ketua Seksi Komunikasi Sosial BMV Katedral Bogor periode 2007-2015 dan Senior Redaktur di Majalah Angkasa milik Kompas Gramedia.
One thought on “Umat Harus Diajak Kritis Menyikapi Limpahan Informasi”