“5:9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”
Dunia ini begitu cepat berubah. Seiring dengan perubahan itu, tata kehidupan pun ikut berubah. Perubahan ini membawa aneka dampak yang membuat orang semakin tersekat-sekat satu dengan yang lain. Perbedaan begitu ditonjolkan sehingga aroma persaudaraan yang dulu terbina dengan baik semakin hari terkikis. Kebersamaan tidak lagi ditentukan bahwa kita sebagai manusia secitra dengan Allah, tetapi persahabatan lebih diletakkan adanya kesamaan terutama dalam soal iman. Hal ini semakin terasa ketika perjumpaan di jalan tidak lagi seakrab dulu, seperti ada sebuah batas yang membuat rasa persahabatan itu sekedar formalitas belaka. Kita sering gembar-gemborkan bahwa kita adalah saudara, tetapi praktik nyata sebaliknya.
Hilangnya rasa persaudaraan itu membuat kedamaian di bumi ini terusik karenanya. Seperti hilangnya hayati di bumi, karena manusia mengusik habitatnya. Demikian manusia terusik hidupnya karena ada sebuah stigma perbedaan yang harus dibedakan. Padahal perbedaan itu harusnya menjadi sebuah aneka kekayaan karya Allah yang tiada taranya. Akal budi manusia menjadi pemicu pengotakan satu dengan yang lain. Akibatnya perbedaan satu dengan lain semakin membawa matinya rasa persaudarran itu. Ketika zaman kecil hidup bersama di kampung menjadi sebuah harmoni yang sangat indah. Kini harmoni itu mulai terusik juga, ucapan selamat satu dengan lainnya pun telah pudar karena perbedaan itu.
Situasi itu membuat gundah, kenapa sesama saudara harus bertikai dan tidak mau mengulurkan salam persaudaraan. Apakah ini sebagai tanda-tanda kehidupan orang-orang farisi bangkit lagi, seperti tertulis dalam Kitab Suci. Perbedaan membuat sekat-sekat sosial yang tidak bisa didamaikan, bahkan ada penolakan hingga penyaliban terhadap Yesus yang tidak sejalan dengan pola pikir mereka. Tampaknya itu juga menjalar dalam kehidupan kita zaman sekarang, ada sebuah bencana iman. Iman harusnya menjadi perekat kedamaian satu dengan yang lain, justru sebaliknya iman menjadi sebuah pemicu hilangnya damai itu.
Kegundahan itu tidak bisa dipungkiri, sehingga saya mencoba mencari sebuah titik terang bagaimana bisa memberikan sebuah pencerahan. Setidaknya, ada sebuah harapan akan kembalinya rasa hidup nyaman dan damai penuh dengan keharmonisan. Itulah inti iman yang sebenarnya, membawa kedamaian satu dengan lain sekalipun beda keyakinan.
Nenek Inem adalah sosok yang tepat bagi saya untuk mencoba minta bantuan terhadap persoalan ini. Sekalipun tingkat pendidikan tidak tinggi, soal rasa kehidupan dan keselarasan, Nenek Inem mungkin salah satu tokoh yang patut dicontoh. Kehidupan sehari-hari yang serbakekurangan itu menurut kacamata kita, justru disebut kelebihan seturut Nenek Inem. Ini menjadi paradoks, tetapi ada benarnya juga.
Pagi itu, dengan sepeda onthel tua, saya pergi menuju ke rumah Nenek Inem. Pergi ke rumah Nenek Inem itu seperti sebuah peziarahan tersendiri. Setelah memberikan makan kepada kambing-kambing, segera saya mengayuh sepeda menuju ke tempat Nenek Inem. Kayuhan sepada itu memberikan sebuah harapan, setidaknya mendapat pencerahan sepulang dari sana. Di tengah jalan saya bertemu dengan teman-teman masa kecil. Namun, ketika bertemu, mereka tidak mau lagi berjabat tangan. Bahkan bicara pun harus ada jarak, seakan saya seperti orang kusta yang mesti dijauhi. Bicara pun secukupnya, betapa perubahan itu berdampak pada persahabatan sekalipun itu teman sekolah waktu itu.
Saya pun segera minta pamit dari pada membuat mereka tidak nyaman. Onthel tua itu setia dengan saya mengantar sampai tujuan tanpa mengeluh. Itulah dunia betapa cepat kemuliaan itu berlalu. Selang beberepa waktu saya sudah sampai di rumah Nenek Inem. Segera saya menyandarkan sepeda dan segera masuk ke rumah seperti rumah sendiri.
“Met, pagi nek,” sahut Paijo dengan suara kas deso nya.
“Ohhhhh, Paijo. Met Pagi,” sahut nenek yang masih di dapur menanak nasi dengan kayu bakar.
“Masak apa nek,” tanya Paijo basa-basi.
“Biasa masak nasi dan ikan asin, karena saya tadi dengar ada burung berkicau. Pasti Paijo akan datang,” sela Nenek Inem sambil bercanda.
Selama menanak nasi, kami bercakap-cakap seadanya sebagai ungkapan seorang anak muda silahturami kepada yang tua. Kami pun akhirnya memasak bersama dan membuat minuman seperti baisanya. Nenek Inem selalu memberikan makan kepada setiap tamu, bukan snak seperti zaman sekarang. Siapa pun yang datang ke rumah Nenek Inem, selalu disajikan nasi ala kadarnya. Demikian saya pun dapat jatah makan bersama tiap kali mengunjungi Nenek Inem.
“Nek, semua sudah beres, ayo kita siapkan ke depan,” seru nenek Inem
“Ok, nek, siap,” jawab Paijo dengan hati riang.
Tidak selang lama semua makanan tersaji di ruang depan. Nasi, ikan asin, tempe goreng, sayur daun singkong dan teh hangat dengan gula merah. Sebelum makan kami berdua berdoa bersama dan mulaikan kami makan dengan lahap, maklum capai habis mengayuh sepeda. Makan nasi putih dicampur dengan tiwul rasanya enak sekali. Kami makan dengan lahap tidak takut kelebihan karbohidrat. Semua disantab menjadi berkah. Makanan kampung sehat pasti juga baik dengan tubuh, tanpa harus takut kelebihan karbohidat.
Selesai makan kami pun membereskan semua bekas alat-alat makan dan mencuci. Kami melakukan dengan senang hati, karena kami sudah tahu apa yang harus dilakukan. Nenek Inem yang beres-beres dan saya mencuci semua bekas-bekas yang kotor. Dalam waktu singkat semua sudah beres dan kami kini duduk di beranda sambil berbincang. Angin semilir membawa suasana semakin sedikit ngantuk ditambah makan kenyang. Namun, semua itu bisa terkalahkan karena kami berdua saling mengajak biacara.
“Nek, kenapa dunia ini semakin tidak damai, ya. Di sana sini terjadi bercekcokan, demo, juga bertengakaran. Bahkan saya tadi sedih, ketemu teman saya di jalan. Mereka tidak lagi mau saya salami, bahkan bicara pun seperti ambil jarak?” tanya Paijo.
“Jo, Paijo. Tidak semua bunga di kebon itu menjadi buah. Bahkan tidak semua buah itu bisa dimakan manusia, bisa jadi buah itu sudah menjadi makanan ulat atau binatang lainnya. Itulah dunia Jo, Paijo. Apa yang kita harapkan belum tentu sesuai, namun kita mesti belajar bahwa Tuhan mempunyai rencana untuk kita melalui peristiwa itu,” seru Nenek Inem.
“Iya nek saya bisa paham itu. Saya hanya heran kenapa teman-teman tadi begitu asing dengan saya. Saya sudah mencoba mendekat, tetapi tetap mengalihkan perhatian dan bahkan ada yang berpaling kapada saya,” seru Paijo.
“Jo, Paijo. Kita tidak boleh mengadili orang lain, siapa tahu justru kita yang salah. Kita melihat di mana-mana banjir, segera kita selalu menyalahkan orang lain. Padahal bisa jadi karena itu perilaku kita. Membuang sampah sembarang, menebang pohon semaunya, dan tidak bersahabat dengan alam. Jadi ketika bencana kita tidak menyadari bahwa itu ulah kita,” jawab Nenek Inem dengan memberikan gambaran alam sebagai media pembelajaran.
“Iya, betul juga ya nek, ini menjadi renungan bagi saya. Siapa tahu saya yang banyak kesalahan sehingga mereka tidak lagi mau berteman dengan saya,” seru Paijo.
“Jo, Paijo. Kedamaian itu harus dimulai dari diri kita. Persahabatan itu harus dimulai dari kita, kalaupun ditolak, itu bagian dari proses membangun persaudaraan dan persahabatan. Jangan kamu heran, satu rumah saja biasa beda pendapat bahkan biasa berantem karena itu, apalagi dengan orang lain yang kita tidak mengenal lebih jauh lagi. Kita hanya mengenal masa lalu. Dunia telah berubah pola pikir, kita juga harus bisa mengikuti perubahan itu, tetapi tidak boleh menjauhkan diri dari Tuhan. Kita tetap harus menjaga silaturami sekalipun ditolak. Ingat Jo, Paijo, alam telah memberikan contoh kehidupan kepada kita. Alam itu akan menyeleksi sendiri mana yang berkualitas dan mana yang tidak,” seru Nenek Inem.
“Iya, nek,” seru Paijo dengan nada yang datar.
“Jo, Paijo. Cita-cita membuat damai itu mesti diawali dari diri kita sendiri. Sebuah mimpi besar ketika kamu akan menciptakan damai jika hidupmu belum ada rasa damai. Ingat kotbah pastor belanda yang mengebu-gebu ‘Si Vis Pacem Para Bellum’ artinya jika ingin damai siapkan perang. Perang terhadap egoisme itu Jo, Paijo. Bisa jadi teman-temanmu yang dulu dekat dengan kamu, melihat kamu tidak lagi sehati. Kita tidak bisa menyalahkan mereka kenapa mengambil jarak. Ibarat kamu menanam cabai tetapi kamu tidak pernah merawah, maka hasilnya tidak maksimal. Demikian juga kamu harus berari menjaga rasa persaudaraan itu dengan hari senang,” seru nenek Inem.
“Nek, Nenek. Memang betul saya kurang wawasan, saya hanya bergulat dengan kambing-kambing. Sehingga bau kambing ini telah bersatu dengan bau badanku. Bisa jadi teman-temanku menjauh dari saya karena tidak tahan bau kambing itu,” sahut Paijo.
“Jo, Paijo. Sebetulnya yang paling penting itu bukan bau kambing yang melekat itu, tetapi kamu tidak mau membaur lagi dengan sesama. Kamu biasa ngatur kambing-kambingmu, tetapi kamu pengin ngatur teman-teman seperti kambingmu, itu tidak mungkin Jo. Kamu mesti menerima mereka apa adanya,” seru Nenek.
“Nek, nenek, saya tidak merasa memperlakukan itu kepada mereka,” sahut Paijo dengan sedih.
“Jo, Paijo. Selama di dunia ini kita tidak bisa menciptakan kedamaian abadi. Paling hanya menciptakan sedikit saja. Karena kedamaian abadi itu ketika kita sudah menghadap Tuhan alias RIP, Rest In Peace’. Jadi setidaknya kita tetap berusaha berbuat baik semaksimal mungkin agar kita bisa memberikan setitik kedamaian kepada sesama. Ibarat kita memberi setengguk air kepada orang yang kehausan. Mereka akan haus lagi, tetapi setidaknya kita telah berbartisipasi mengurangi kehausan mereka,” seru nenek Inem.
“Ia betul. Kebencian tidak akan memberikan kedamaian. Balas dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Paling utama saya hanya bisa mendoakan mereka yang menolak saya nek,” sahut Paijo.
“Jo, Paijo. Kamu telah menemukan jawabannya sendiri. Itu kata kuncinya. Doakan mereka yang menganiaya dan membenci kamu, sebab itulah dasar iman kita. Jadi biarlah teman-temanmu berpaling darimu, tetapi jangan berhenti mendoakan mereka selalu,” sahut nenek Inem dengan bangga seraya memeluk Paijo dengan hati gembira.
Percakapan itu sangat menyenangkan sehingga mereka lupa minum teh yang sudah dingin. Kami pun segera minum teh itu dengan gula merah. Selang beberapa waktu, saya pun minta pamit. Setidaknya ada pencerahan yang boleh saya timba.
“Nek, saya pulang dulu ya,” seru Paijo.
“Jo, Paijo, salam untuk Simbok. Jangan lupa itu buah papaya itu dibawa, siapa tahu Simbok juga mau,” seru Nek Inem.
“Terima kasih nek,” seru Paijo seraya membawa papaya dan menuju sepeda onthel.
Sesampainya di rumah, Paijo segera memasukkan sepeda. Tiba-tiba dikejutkan suara kambingnya. Akibatnya pepaya itu jatuh dan hancur. Untung masih ada dalam tas kresek.
“Embek, embek, kemana saja seharian, Jo, Paijo” begitu kira-kira kambing itu ingin bicara.
“Dasar, kambing sudah dikasih rumput masih juga tidak puas. Pepaya gak bisa dimakan, hancur. Nih untuk kamu saja,” seru Paijo dengan rasa jengkel.
“Embek-embek, pulang-pulang hati gak boleh jengkel,” begitu sekiranya kambing itu kembali mengigatkan.
“Bing, kambing, kamu pingin makan pepaya saja kagetin saya. Wah kamu ingatkan saya tidak boleh marah dan jengkel mesti membawa damai walau pepaya jatuh, heeeeee,” seru Paijo sambil ketawa sendiri dilihatin Simbok yang tidak jadi makan pepaya.
(RD Nikasius Jatmiko)