Anda di sini
Beranda > Artikel > Keluarga Jantung Evangelisasi

Keluarga Jantung Evangelisasi

Loading

        Keluarga, sejatinya merupakan subyek, pelaku utama evangelisasi. Keluarga merupakan sekolah kemanusiaan paling pertama dan utama, tempat di mana belas kasih ditumbuhkan, kerjasama dikembangkan, pengampunan diberikan tempat orang tua dan anak saling belajar satu sama lain, sukacita dan penderitaan dialami bersama. Demikian intisari rekoleksi keluarga sehari dengan tema “Keluarga Jantung Evangelisasi“ yang menghadirkan dua narasumber utama, Romo Alfonsus Sutarno Pr dan Uskup Bogor Mgr.Paskalis Bruno Syukur OFM.

       Uskup Paskalis yang dalam pembekalan dan perutusannya menutup rekoleksi keluarga dan OMK Wilayah St. Yohanes Pembaptis Bojonggede, Sabtu (17/3) kembali menegaskan bahwa impian umat katolik Bojonggede untuk memiliki gedung gereja sendiri yang khas katholik, merupakan sebuah mimpi yang baik dan realistis.

         Namun seiring dengan itu Uskup Paskalis mengingatkan bahwa semua juga mengimpikan agar Gereja Umat Allah di Bojonggede  harus  kokoh berdiri. Gereja mengimpikan umat yang komunio, umat yang bersatu, mulai dari komunitas yang terkecil yakni keluarga. Gereja juga mengimpikan keluarga-keluarga katolik yang memperhatikan dan membina keluarganya dengan baik, seperti Keluarga Kudus Nazaret. Untuk itu Uskup minta agar keluarga harus mampu membangun persekutuan yang baik dengan anggota keluarga, juga dengan masyarakat sekitar dalam semangat kasih.

”Untuk apa kita di Bojonggede nanti memiliki gedung gereja yang bagus tapi Gereja Umat Allahnya sendiri malah tidak terbina dengan baik. Tapi jangan takut, kita memiliki Roh Kudus,  Roh Kebaikan. Tuhan itu Maha Baik. Marilah kita maju bersama meraih mimpi-mimpi bersama kita di atas ini. ajak Uskup Bogor.

Keluarga diharapkan sungguh  menjadi jantung dan persemaian nilai-nilai hidup dan kristiani, karena dari keluarga diharapkan lahir orang-orang yang mengalami dan kemudian mewartakan kabar gembira. Dalam kaitan dengan tema rekoleksi ini Uskup Bogor minta bahkan mewajibkan  para bapak dan ibu untuk aktif mengikuti Kursus Evangelisasi Keluarga, Program Catholic Wise Woman (WW) atau Wanita Bijak, Catholic Men’s Ministry (CMM) atau Camp Priskat (Pria Sejati Katolik), Marriage Encounter (ME), Family Gathering dan lain-lain. “Ini sebuah paksaan yang menguduskan. Bagi yang telah mengikuti program-program di atas, agar menularkannya kepada umat yang lain. Dan jangan sampai tidak mengikuti program-program ini hanya karena terkendala biaya. Jika kesulitan soal biayanya, sampaikan kepada kami,” tegas Uskup.

       Harapan Mgr. Paskalis ini sangat beralasan mengingat komitmennya yang  kuat menjadikan keluarga “Trade Mark” Keuskupan. “Keuskupan Bogor ini harus punya brand, harus punya trade mark. Jadikanlah keluarga sebagai trade mark Keuskupan Bogor. Inilah komitmen kita. Kita dipanggil untuk komitmen ini. Bersukacitalah kita sebagai orang Katolik, karena Tuhan beserta kita. Tantangan tetap ada tapi itu jangan membuat kita bersedih. Kita tidak sendirian.Tuhan menyertai kita,” tutur Monsinyur.

Di balik Masalah dan Tantangan Keluarga

        Romo Alfonsus Sutarno Pr di awal paparannya selaku narasumber,  langsung  memukau peserta dengan “Filosofi Resleting” dan “Sumpit Mie”. “Sumpit, kalau cuma satu, fungsinya tak jelas. Ia baru bermanfaat kalau ada dua yang juga harus sama. Demikian dengan hidup perkawinan harus ada kerjasama yang baik antara suami dan istri,” kata imam yang biasa disapa Romo Tarno ini.

Sementara resleting mempunyai dua bagian yang tidak sama. Satunya menjorok ke dalam yang lainnya menonjol keluar. Walaupun keduanya berbeda, namun bila disatukan dan ditarik, keduanya akan menyatu dengan sangat kuat. Di situlah resleting baru bisa berguna dan  berfungsi dengan baik walau jelas-jelas kedua sisinya berbeda. Demikian juga dengan hidup perkawinan. Menurut Romo Tarno, suami-istri, sejak awal merupakan dua pribadi yang berbeda. Harus ada kerelaan satu sama lain antara keduanya, bila menginginkan pasangan yang sepadan. “Suami dan istri perlu saling mengangkat martabat masing-masing. Dan harus terus diupayakan agar dari awal kehidupan perkawinan bisa berlangsung langgeng hingga maut memisahkan,” lanjut Romo Tarno.

       Walaupun umumnya semua pasangan ingin  membina rumah tangganya sebagai keluarga Katolik yang harmonis yang diberkati Tuhan, namun bukan berarti keluarga bebas dari masalah dan tantangan dalam pergumulan hidup berkeluarga. Dewasa ini kejadian memprihatinkan atas rapuhnya lembaga perkawinan Kristen akibat perkembangan teknologi dan sekularisasi yang kebablasan. Angka perceraian semakin tinggi. Hubungan seks bebas antarjenis maupun sesama jenis, samen leven atau kumpul kebo,  pisah ranjang,  kawin campur  bahkan  perselingkuhan lantaran  hadirnya pria idaman lain (PIL) atau wanita idaman lain (WIL) terus eksis. Disamping itu di kalangan keluarga dirasakan masih kurang pemahaman mengenai bagaimana membangun keluarga menurut Alkitab.

Dewasa ini keluarga-keluarga menghadapi berbagai tantangan yang tidak mudah. Intervensi budaya global yang hedonistis dan konsumeristis seringkali menjebak keluarga-keluarga pada pola hidup yang artificial (palsu, tiruan). Pada hal substansi keluarga adalah sebagai tempat dibangunnya kehangatan relasi antarpribadi, dimana jiwa solider dan jiwa berkorban ditanamkan. Dimana keteladanan iman ditanam dan rasa syukur ditumbuhkembangkan, dimana pola hidup sederhana dibiasakan. Namun semuanya ini  perlahan tergusur oleh pola berpikir yang sangat teknikal dimana uang dan fasilitas seolah jadi takaran dan penentu kebahagiaan keluarga.

          Melihat aneka masalah, tantangan dan acaman yang menghadang kehidupan keluarga, Romo Tarno, John Laba Wujon (moderator), dan Yohanes Teguh (notulis) tak butuh lagi sesi khusus tanya jawab, karena hujan pertanyaan dari peserta, langsung mengalir ke meja narasumber. Jawaban Romo Tarno yang mengena serta kepiawaian moderator dan notulis memandu, justru semakin menggiring peserta kian gencar dalam dialog interaktif yang hidup dan terus  memuncak. Hal itu berhasil menahan peserta tak bergeming dari tempat duduk hingga akhir.

        Menghadapi aneka masalah keluarga termasuk  perkawinan yang ada di ujung tanduk dan di ambang kehancuran, Romo Tarno minta agar mencari orang-orang yang bisa mempersatukan. Namun menurut Romo Tarno, yang mau membantu mencari solusi, jangan merasa ikut campur tangan. “Siapa pun kita, batasannya adalah kepedulian, bukan ikut campur tangan. Kita harus peduli kepada saudara-saudara kita yang punya masalah keluarga,” tandas Romo Tarno.

Yang paling utama sebagai umat Katolik, umat harus siap membantu, paling tidak pada porsi hanya mendengarkan keluhan dari yang bersangkutan. Syukur-syukur kalau bisa sampai menemukan solusi. Namun jika tidak, jangan terlalu dipaksakan. Bisa juga dengan menganjurkan untuk meneruskan permasalahan kepada pastor paroki.  Bila masih juga sulit menemukan jalan keluarnya, bisa diteruskan ke Tribunal atau pengadilan gereja untuk membantu menyelesaikannya. Demikian dipaparkan Romo Tarno.

          Untuk langgengnya sebuah pernikahan, Romo Tarno menawarkan sejumlah resep. Bahwa kasih sayang tiada henti itu, tidak kenal kalkulasi atau hitung-hitungan. Filosofi silih asih, silih asah dan silih asuh perlu diterapkan demi kebahagiaan keluarga, karena kebahagiaan keluarga itu tidak bisa dibeli. “Pernikahan itu nol rupiah, Jadikan perbedaan masing-masing pasangan sebagai rahmat yang menguatkan. Peganglah komitmen awal, jika ada masalah. Ingatlah janji yang pernah diucapkan saat menikah. Akan sumpah setia satu sama lain dalam untung dan malang,” tegasnya.

Menurut Romo, setiap pasangan perlu saling menerima apa adanya, saling menghargai, saling menasehati, saling mengampuni. Tidak gampang memang membangun, membina dan mengembangkan sebuah keluarga di kota besar dan zaman yang penuh tantangan dan godaan ini. Untuk itu campur tangan Tuhan perlu dilibatkan  dalam kehidupan keluarga, melalui doa, sebagai senjata keluarga yang ampuh. ”Jangan gara-gara doi, lupa doa,” kelakarnya.

       Berkaitan dengan gencarnya Keuskupan Bogor melakukan pembinaan keluarga Katolik bahagia sejahtera, Romo Tarno yang juga adalah Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Bogor ini menyatakan  bahwa semua langkah ini dimaksudkan antara lain untuk meningkatkan pengetahuan aspek dan karakter pribadi suami istri, menggali dan mengimplementasikan nilai-nilai Kristiani  dalam kehidupan keluarga dan meningkatkan kematangan psikis suami istri.

         Lewat kebijakan Keuskupan Bogor ini diharapkan dapat mewujudkan keluarga sebagai Ecclesia Domestica yaitu  sebuah keluarga yang merupakan “Gereja Kecil” sebagai pusat pembinaan dan pewartaan iman dan penumbuhan semangat kasih yang tunduk pada pimpinan Yesus sendiri. Artinya dalam keluarga, setiap anggota mengalami bahwa Allah hadir dan berkarya. Keluarga menjadi Gereja hidup dan menghidupkan. Dan peran orangtua sangatlah sentral agar sejak dini setiap anak mengalami Allah yang hidup dan berkarya di dalam keluarga.

      Rekoleksi  keluarga dan OMK sehari yang dihadiri 250 peserta  ini diselenggarakan oleh Panitia Paskah Bersama Wilayah St. Yohanes Pembaptis Bojonggede 2018  di bawah arahan Krisantus Dwi Supriyanto. Acara tersebut berlangsung di lahan bakal Gereja Santa Faustina Bojonggede, Tonjong. Rekoleksi ditutup dengan Ekaristi Kudus yang dipersembahkan oleh Uskup Bogor.

(Thomas Ataladjar)

Leave a Reply

Top