Anda di sini
Beranda > Mutiara Biblika > Sumber Air Hidup (Yohanes 4:1-42)

Sumber Air Hidup (Yohanes 4:1-42)

Loading

Cuaca semakin hari semakin tidak bisa diprediksi. Hujan jarang turun, angin kencang terasa kering, serta panas terik matahari tidak terkira menghiasi kampung halaman. Situasi itu semakin membuat kehidupan sedikit susah. Berkurangnya air di permukaan bumi, menambah gersangnya lahan pertanian dan seluruh areal kampung. Sawah mulai tidak menghasilkan, rumputpun sudah mulai kelihatan cokkat tanda habisnya serapan air untuk kehidupan. Pohon-pohon pun mulai meranggas dan menanggalkan daunnya demi mengurangi daya serapan air untuk daun-daun.

Pohon-pohon seakan mati, namun belum sepenuhnya mati. Tanaman mendambakan air hujan, demikian juga kambing-kambing membutuhkan air dan pakan demi melangsungkan kehidupan. Kiranya semua itu sedikit menjadi kendala karena alam sudah tidak lagi bersahabat kepada kehidupan. Betapa susahnya pangan saat itu karena kekurangan air. Kiranya itu juga menjadi gambaran di sebuah padang gurung yang menghambar tanpa tumbuhan hijau.

Situasi sulit itu bukan berarti sebuah kematian, justru dibalik kesulitan itu Allah mendidik manusia menghadapi segala sesuatu. Akal manusia diciptakan untuk membantu memecahkan masalah itu. Dengan segala usaha manusia mempertahankan hidup sebab  Allah tidak meninggalkannya, justru Allah memberi kesempatan manusia untuk menampilkan sebuah perjuangan hidup.

Kekeringan itu membuat sumur di belakang rumah mulai mongering, sehingga harus setiap hari mencari air untuk minum dan masak. Di lereng bukit kampung itu, ada sebuah pohon beringin besar yang di bawahnya ada sebuah sumber mata air yang tidak pernah surut airnya sekalipun di musim kemarau. Orang-orang berbandong-bondong datang untuk mengambil air dengan peralatan yang ada. Bahkan kita harus antri unutk mengambil air itu untuk dibawa pulang terutama di pagi hari.

Siang itu saya datang dengan membawa jeligen untuk mengambil air. Teriknya matahari tidak menghalangi usaha untuk pergi ke tempat itu. Dengan sepeda onthel kuno saya kayuh dengan membawa jeligen air ditaruh di samping kanan dan kiri boncengan. Setelah beberapa waktu saya mengayuh sepeda sampailah di tempat tujuan, sumber air yang segar. Segera saya turun dan mengisi tempat air itu dengan penuh. Sebelumnya saya menyempatkan diri untuk minum air itu dan mencuci muka dengan air itu. Selesai mengisi air dengan penuh saya tidak berbegas pulang, namun saya mencari tempat yang teduh dekat sumber mata air itu. Di situ banyak pohon beringin yang melindungi dari sengatan matahari dan kata orang tempat itu sedikit angker. Namun demi air, keangkeran itu telah melunturkan ketakutan saya.

                “Jo, Paijo,” terdengar suara dari jauh memaggil.

                “Ya, I am here” seru Paijo sok dengan Bahasa English.

                Suara itu datang mengema dan tidak jauh dari tempat itu pula, ada Mbak Mitro yang juga sering ambil air.

                “Ohhhh, Mbah Mitro,” guman Paijo

               “Bagaimana Mbah. Sudah mengambil air?” tanya Paijo

               “Iya, Jo. Paijo. Sudah ketiga kalinya. Jadi badan rasanya capai sekali ingin sebentar bersandar di pohon ini seraya merasakan agin semilir,” seru Mbah Mitro.

                “Wahhhhhh, saya juga baru sekali saja dah pingin istirahat, heeee,” seru Paijo

                “Baiklah, kita duduk sebentar biar tenaga kita pulih,” ajak Mbak Mitro.

               “Jo, Paijo. Betapa kampung kita ini sangat gersang di musim kemarau. Tetumbuhan mulai menguning dan debu telah berhamburan. Namun manusia tetap bertahan demi kehidupan sebab Tuhan selalu memberikan sebuah peluang dan rahmat. Sekalipun kampung terlihat gersang, tempat ini masih memberikan air untuk kita. Jadi betapa bergunanya air itu bagi kehidupan,” seru Mbah Mitro.

               “Betul Mbah, air menjadi sentral dalam kehidupan. Tanpa air manusia akan mengalami kematian. Namun secara iman kita diingatkan ada yang lebih penting dari air ini Mbah,” sela Paijo.

               “Ahhhhhh, apa itu?” tanya Mbah Mitro yang baru belajar agama.

“Injil Yohanes menjelaskan 4:11 Kata perempuan itu kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu?4:12 Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?”4:13 Jawab Yesus kepadanya: “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, 4:14 tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” Seru Paijo

“Jo, Paijo. Maksudnya apa itu?” tanya Mbah Mitro

“Mbah Mitro tentunya lebih paham soal kehidupan. Kita tahu bahwa air yang kita ambil ini adalah air yang menghidupkan jasmani dan dunia ini. Namun secara iman ada air kehidupan demi kehidupan kekal, yakni Yesus itu sendiri. Kepercayaan akan Yesus sang sumber air kehidupan adalah menghidupan kita manusia pada saat akhir jaman. Secara fisik akan mati, namun jiwa kita akan dibangkitkan dan dihidupkan dalam keabadian. Ini adalah kata-kata Yesus terhadap wanita Samaria. Bisa jadi itu ditujukan kepada kita pada jaman sekarang,” jelas Paijo.

“Jo, Paijo. Betul juga pendapatmu. Seperti dalam cerita pewayangan itu Bima mencari air kehidupan di tengah samudra. Bagaimana mungkin ada air tawar di tengah samudra. Ternyata itu sebuah simbol, air kehidupan yang dari Allah sendiri, yaitu  ikataan yang memberikan sebuah kehidupan kekal,” seru Mbah Mitro.

“Iya Mbah, betul. Air di sumber ini akan memberikan kehidupan bagi kita yang masih di dunia, namun tidak memberikan jaminan kepada kehidupan kekal. Manusia akan tetap mati sekalipun minum dengan air di sumber ini. Sebaliknya Yesus menawarkan air kehidupan, yakni ikatan dengan Allah dangan manusia demi kehidupan kekal. Setelah orang terikat, Allah akan dimahkotai kehidupan abadi bagi setiap orang yang percaya padaNya,” Seru Paijo.

“Jo, Paijo. Saya sekarang paham dengan tradisi itu. Semakin menguatkan iman yang sedang saya pelajari. Air kehidupan itu bukan berarti fisik air yang kita minum dari sumber yang sama, namun lebih air kehidupan kekal berupa ikatan dengan Allah dan manusia,” jelas Mbah Mitro.

“Jo, Paijo. Satu lagi. Lihatlah jalan yang kamu lalui itu. Di pinggir kanan kiri yang kamu lewati ini masih ada rumbut tumbuh menghijau, sekalipun di musim kemarau. Ingat Jo, Paijo. Ketika kamu membawa jeligen air ada tumpahan air ke kanan dan kiri. Air tumpah tanpa kamu sadari, namun tumpahan itu menjadi berkah bagi rumput-rumput untuk tetap hidup. Demikian juga hidup kita kadang menumpahkan berkah yang didak kita rasa, justru itu menjadi kehidupan bagi sesama. Semoga hidup kita seperti percikan air yang tumpah dari tempat itu dan percikan air itu menjadi berkah kehidupan bagi alam semesta, juta ciptaan itu sendiri,” jelas Mbah mitro.

“Wah, betul Mbah Mitro setuju. Sering kali kita tidak sadar berbuat baik, namun alangkah baiknnya kita sekarang menyadari untuk berbuat baik, sehingga memberikan kebahagiaan bagi sesama,” jawab Paijo seraya berdiri minta pamit,

“Ok, Jo. Paijo.  Hati-hati Jo, jalan setapak itu sempit,” seru Mbak Mitro.

“Dubrak,” terdengar suara sepeda Paijo jatuh dan air tumpah.

“Wah Jo, Paijo. Belum selesei ngomong kamu sudah jatuh. Akan tetapi itu baik Jo, Paijo. Kejatuhanmu itu membuat pengharapan bagi tanah di sekelilingmu yang butuh air. Jadi tidak sengaja kamu memberikan pada tetumbuhan yang ada disitu untuk kembali bersemi, heeeee. Bukan kan Yesus berkali-kali demi keselamatan kita. Jatuhmu dengan air tumpah membawa pengharapan bagi kehidupan tanaman yang mendambakan air” seru Mbak Mitro seraya membantu Paijo.

“Jo, Paijo. Jatuh saja juga ada berkah,” seru Paijo dalam hati seraya ke sumber mata air mengisi jeligen-jeligen air itu penuh lagi.

(RD Jatmiko)

Leave a Reply

Top