Yesaya
58:4 Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi.8:5 Sungguh-sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur? Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan pada TUHAN? 58:6 Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, 58:7 supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!
Rabu Abu menandai umat Kristiani mengawali masa 40 hari persiapan Paskah. Perjanjian Lama juga menggambarkan bagaimana masa 40 hari sebagai tanda masa manusia mempersiapkan diri menerima anugerah Allah. Musa dalam Kitab Keluaran memberikan gambaran masa empat puluh hari itu “34:28 Dan Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air, dan ia menuliskan pada loh itu segala perkataan perjanjian, yakni Kesepuluh Firman”. Demikian pula dalam Perjanjian Baru Yesus pun menjalankan masa empat puluh hari itu seperti ditulis dalam Injil Mateus “4:2 Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus”.
Masa 40 hari mempunyai makna yang luar biasa dalam kasanah perjalanan rohani baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Gambaran Musa dan Yesus menjalani masa 40 hari adalah gambaran perjalanan rohani sebelum mendapatkan sebuah penugasan dari Allah sendiri. Musa mendapatkan tugas dari Allah menurunkan sepuluh perintah Allah dan Yesus mendapatkan tugas perutusan mewartkan Injil.
Masa 40 hari ini seperti mempunya makna sakral ketika manusia akan menggapai sesuatu dan mandapatkan sesuatu sehingga manusia manusia harus mempersiapkan diri, baik lahir maupun batin.
Malam itu ada doa lingkungan sekaligus renungan masa pra-Paskah. Persiapan masa Paskah ini, kami selalu mengadakan renungan bersama setiap Kamis malam atau malam Jumat. Ini sudah menjadi tradisi turun menurun bahwa ada pertemuan seminggu sekali. Saat masa pra-Paskah ini, lingkungan mengadakan renungan bersama dipimpin oleh ketua lingkungan dan kebetulan dihadiri oelh frater yang sedang bertugas di paroki kami. Semua hadir bersama baik anak-anak, orang muda, maupun orang tua. Sekalipun kami orang kampung, ketika mengadakan pertemuan selalu tepat waktu.
Tepat pukul 19.00, pertemuan dimulai dengan diawali lagu pembukaan dan diteruskan dengan ibadat pada umumnya. Perbedaan ibadat ini terletak pada diskusi setelah bacaan Injil dibacakan. Kebetulan hari ini menggambil kitab Yesaya 58 dan Mateus 4. Kedua teks itu sebagai kesatuan bacaan yang bicara soal puasa. Namun kita lebih mendalami bagaimana makna empat puluh hari dalam puasa.
“Bapak ibu dan saudara-saudari sekalian. Pada hari ini kita akan membahasa Kitab Yesaya 58 terkait bagimana kita seharusnya puasa,” kata pempimpin ibadat mengawali diskusi setelah membacakan injil Mateus.
“Mungkin ada yang berpendapat,” tanya pemimpin ibadat.
Suasana hening tidak ada satu pun yang memberikan tanggapan. Itulah ciri kas orang Katolik, selalu diam jika diberi kesempatan untuk memberikan sebuah pendapat. Mereka sering takut salah bicara. Sebaliknya jika ibadat sudah selesai mereka ribut bukan main.
“Maaf pak, saya sebetulnya juga bingung bagimana puasa Katolik itu dijalankan,” sahut seorang bapak yang hadir dalam ibadat itu membuka suasana keheningan.
“Saya belajar dari seorang romo Belanda. Beliau selalu tidak makan garam selama 40 hari, kecuali Minggu. Namun saya mencoba mempraktikan betapa itu susah. Karena semua makanan umumnya pakai garam. Jadi minimal saya mengambil hari Rabu dan Jumat saja tidak makan garam,” seru ketua lingkungan dengan semangat.
“Mungkin menurut frater bagaimana?” tanya pemimpin ibadat.
“Bapak Ibu yang terkasih. Masa empat puluh hari (Quadragesima) adalah masa di mana umat Katolik untuk lebih mengolah hidup rohani. Bahkan masa ini sering disebut sebagai masa retret agung. Dengan sendirinya, manusia harus lebih membenahi kehidupan rohani. Salah satu cara mendekatkan diri itu dengan mengolah laku tapa dalam pantang dan puasa. Memang Gereja tidak memberikan batasan yang nyata bagaimana itu puasa. Namun puasa dan pantang itu bisa lebih baik mengacu pada kitab Yesasa yang kita dengarkan tadi. Pantang dan puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi lebih menata hati dan memberikan peluang untuk berbuat baik kepada sesama,” Sahut frater.
“Kalau pantang itu bagaimana frater,” tanya Paijo memberanikan diri.
“Prinsipnya sama, menghindari sesuatu tindakan yang tidak baik. Bisa juga mengurangi sesuatu yang berlebihan. Contohnya: tidak merokok, tidak makan garam, tidak menyakiti orang lain dll. Intinya berlombalah untuk semakin berbuat baik bagi sesama,” sahut frater.
“Jadi boleh makan-makan dong,” sahut Paijo semangat.
“Boleh, tetapi jangan makan berlebihan. Ingat bagikan juga makanan itu kepada orang lain juga. Yesaya menjelaskan bahwa harus memecah roti unutk orang lain. Itu artinya bagilah makananmu kepada orang lain, jangan dimakan sendiri. Terlebih, berikan kepada orang yang sungguh membutuhkan,” sahut frater dengan sangat bijak.
Susana diskusi semakin ramai dengan dimulainya pancingan pertanyaan itu. Akhirnya disimpulkan bahwa pantang dan puasa itu paling penting harus menahan diri untuk tidak berbuat jahat dan selalju berlomba untuk berbuat baik. Puasa juga diharapkan mengurangi kecendungan konsumsi yang berlebihan, dan doa lebih ditekankan. Upaya mati raga itu lebih menekankan berbenah kehidupan sendiri yang semakin jauh dari Allah sang sumber kabaikan itu. Puasa menjadi wahana bagi umat Katolik untuk mengulurkan tangan kepada sesama yang membutuhkan. Unsur paling penting dalam masa puasa berserah pada Allah dalam hidupnya dan menjauhkan dari segala tindakan kejahatan.
Selesai ibadat biasanya ada minuman dan makanan kecil dibagikan. Oleh karena masa puasa, hari ini tidak ada konsumsi demikian ketua lingkungan menegaskan.
“Wahhhhhhh, garing dong,” seru anak-anak kecil sambil ketawa ringan.
Begitu pula saya dan Simbok pun segera pulang ke rumah. Dalam perjalanan pun kami mengurangi banyak ngomong. Kata Simbok pantang ngomong, biar energi tidak terkurang, heeeee. Sesampai di rumah Simbok membuka pintu dan terdengar suara kambing mengembik keras.
“Embikkkkk, Embikkkkk,” suara kambing keras terdengar.
“Dasar kambing gak tahu pantang dan puasa,” seru Paijo.
“Jo, Paijo, kan dari pagi kamu belum kasih makan kambing,” seru Simbokkkkk
“Kan saya pantang ngasih makan kambing, Mbok, heeeee,” canda Paijo sambil ketawa.
“Biar ikut puasa Mbok, “ seru Paijo seraya ke kandang kasih makan sekalipun sudah malam.
“Bing, kambing, baru sehari tidak makan sudah repot, heeeeee,” seru Paijo seraya kasih makan kambing malam itu.
(RD Nikasius Jatmiko)