Anda di sini
Beranda > Nusantara > Penjaga Nyala Suluh Kini Menepi di Labuan Bajo

Penjaga Nyala Suluh Kini Menepi di Labuan Bajo

Loading

Pesta Emas Mgr Michael Cosmas Angkur, OFM

Ia sempat tak naik kelas di seminari, lantaran nilai bahasa inggrisnya jeblok. Tapi orang kagum kepadanya karena rajin bekerja dan ringan tangan.

Perjalanan hidup dan panggilan Mgr Michael Cosmas Angkur OFM penuh kejutan. Ibarat seorang pesulap, Uskup Emeritus Bogor itu membuat orang-orang di sekitarnya keheranan dan bertanya satu sama lain. “Kok, bisa ya?” demikian sepenggal ungkapan yang kerap terdengar tentangnya.

Kejutan pertama yang ia buat saat menjelang lulus SD. Kepala Paroki Tritunggal Mahakudus Ranggu waktu itu, Pater Yosef da Silva SVD, bertanya satu per satu kepada anak-anak parokinya soal pendidikan lanjut. Betapa terkejutnya Pater Yosef ketika Cosmas sapaan akrab Mgr. Mikael Cosmas Angkur mengatakan ingin masuk seminari.

Dalam buku Mgr. Michael Cosmas Angkur OFM: Pemimpin Sederhana karya A. Bobby Pr, dikatakan bahwa Pater Yosef terlihat bingung dan heran begitu mendengar Cosmas ingin masuk seminari. “Saya bukanlah seorang anak ‘favorit’. Pada masa itu anak-anak yang direncanakan untuk masuk seminari biasanya dekat dengan pastor,” akunya.

Ikut Teman

Keinginan Cosmas masuk seminari muncul tiba-tiba. Keputusan itu lahir ketika ia bertemu dengan Gabriel Babu di depan pastoran Ranggu. Teman sekampungnya asal Lewur, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Gabriel baru saja bertemu Pater Yosef dan mengutarakan niat untuk masuk Seminari Mataloko. Cosmas yang semula masih bingung menentukan sekolah, ujug-ujug mengikuti pilihan Gabriel.

 Saudara-saudaranya kaget. Mereka mengenal anak kelima dari delapan bersaudara itu kurang di bidang akademik. Sementara dalam benak mereka, seminari adalah lembaga pendidikan yang berisi para siswa cerdas. Keunggulan Cosmas, menurut pengakuan saudara-saudaranya, adalah rajin bekerja dan suka membantu sesama.

Ketika berusia empat tahun, Cosmas punya tugas khusus dari orangtuanya. Ia memegang suluh ketika keluarganya makan malam. Maklum, pada masa itu, listrik belum masuk ke Lewur. Soal peran itu, bapaknya, Djadu, pernah berseloroh kepada Cosmas dalam bahasa Manggarai, hau ata sau sulu kanang, yang berarti ‘kau hanya laku untuk memegang suluh’. “Tugas pemegang suluh adalah tugas seorang hamba. Saya biasa disuruh untuk melakukan itu,” katanya.

Orangtua Cosmas baru menjadi Katolik ketika usia senja. Sementara Cosmas dan saudara-saudarinya dibaptis sejak orok. Di sinilah letak kebesaran hati Djadu dan Mamus merelakan buah hati mereka dibina dan dididik secara Katolik. Pola pembinaan itu didapat anak-anaknya di sekolah, gereja, atau di rumah ketika ada kunjungan pastor. Cosmas menjadi adjuda (misdinar) paroki sejak kecil.

Djadu dan Mamus juga tak mencecap pendidikan. Tapi, kata Cosmas, mereka tak pernah melarang anak-anaknya sekolah, termasuk keinginan Cosmas masuk seminari. Bagi mereka, selagi anak-anak ingin berkembang dan maju, mereka dukung. Namun satu yang tak bisa mereka tutupi adalah keterbatasan ekonomi. Beruntung Cosmas bisa sekolah karena bantuan kakaknya.

Tak Naik Kelas

Cosmas tak pandai secara akademik. Penilaian ini tak hanya diakui oleh saudara-saudarinya, tapi juga teman-temannya di seminari. Maka masa studi di seminari menjadi ujian berat bagi Cosmas, terutama mempelajari bahasa Belanda dan Inggris. Ia sempat tak naik kelas di kelas dua karena nilai bahasa Inggrisnya jeblok.

Gurunya, Pater William Pop SVD dan rektor seminari menyuruh Cosmas mengulang kelas. Cosmas amat berterima kasih kepada mereka karena masih diberikan kesempatan untuk  meneruskan pendidikan di seminari. “Kemudian hari, bahasa Inggris yang menjadi kendala studi di seminari menengah, menjadi bahasa kedua (yang saya kuasai) untuk tugas kemudian hari,” ujarnya.

Lemah di bidang akademik, Cosmas justru menonjol dalam bidang olahraga, terutama sepak bola. Ia juga terkenal sebagai siswa yang rajin bekerja, punya fisik yang kuat, dan siap membantu teman-temannya yang kesulitan. “Dia bukan orang pandai, tapi sifatnya baik. Orang mengingatnya sebagai seminaris yang rajin,” puji Romo Yosef lalu, rekan seangkatannya.

Kesan senada juga dikemukakan Severinus Lanur, yang kelak menjadi saudara setarekatnya di Saudara Hina-Dina (Ordo Fratrum Minorum/OFM), dan dikenal dengan nama Romo Alex Lanur. Cosmas, menurutnya, pemberi semangat. Dia mengayomi adik-adik kelasnya. Cosmas, lanjutnya, juga memiliki fisik yang kuat.

Pada November 1963, saat Indonesia menggelar pesta olahraga Games of the New Emerging Force (Ganefo), kenang Romo Alex, mereka memilih Cosmas untuk membawa obor Ganefo sepanjang 200 meter, dari depan Novisiat OFM di Cicurug, Jawa Barat. Bocah yang dulu memegang suluh, saat itu memegang obor kejuaraan olahraga internasional. “Kami semua kuat lari. Dia dipilih karena badannya kekar seperti atlet, sehingga lebih mencolok dari kami. Dia juga yang paling tua,” ujar Romo Alex.

Setelah melewati pendidikan di seminari, serta pembinaan anggota Fransiskan, Cosmas yang memilih nama biaranya Michael, mengikrarkan kaul kekal bersama Frater Alex Lanur pada 2 Agustus 1964. Tiga tahun kemudian, mereka menerima tahbisan imamat oleh Uskup Bogor Mgr Paternus Nicholas Joannes Cornelius Giese OFM (1907-1995), di Katedral Bogor. Setelah ditahbiskan, Romo Cosmas menerima aneka perutusan oleh tarekat di berbagai tempat, misal di NTT, Timor Leste, dan Papua.

Ketua DPRD

Pada 1969, ketika bermisi di Paroki Kristus Penebus Hepuba, Keuskupan Jayapura, Romo Cosmas didatangi sejumlah politikus. Mereka meminta sang imam menjadi Ketua DPRD II Kabupaten Jayawijaya. Romo Cosmas tak langsung menyanggupi. Ia meminta mereka berkomunikasi dengan Uskup dan pemimpin daerah setempat. Selain itu, ia meminta jabatan politik itu jangan sampai mengganggu karyanya sebagai pastor paroki.

Para politikus menyanggupi permintaan sang gembala. Puncaknya pada Januari 1970, Romo Cosmas menjadi Ketua DPRD Tingkat II, Jayawijaya, sekaligus pembina Golkar di Kabupaten. Ia juga sempat menjadi anggota DPRD I Provinsi Irian Barat (1971-1977).

Kejutan lain yang mewarnai panggilan Romo Cosmas adalah Takhta Suci menunjukanya sebagai Uskup Bogor. Banyak orang tak menyangka, mantan Minister Provisial OFM Provinsi Indonesia pertama itu terpilih sebagai orang nomer satu di Keuskupan Bogor. Memang, Bogor bukan daerah baru bagi Romo Cosmas, tapi saat itu ada calon kuat yang digadang-gadang  sebagai pengganti Mgr Ignatius Harsono (1975-1993).

Mgr Cosmas  memikul tanggung jawab berat untuk tugas baru itu. Dalam buku Emas untuk Tuhan: 50 Tahun Imamat Mgr Michael Cosmas Angkur OFM disebutkan, Mgr Cosmas tak hanya menata kehidupan rohani umat dan para gembalanya, tapi juga keorganisasian dan sistem tata kelola lembaga-lembaga di Keuskupan. “Monsinyur Michael Angkur mengambil alih kepemimpinan Keuskupan Bogor dalam kondisi kas hampir kosong,” tulis Romo Agustinus Surianto Himawan, penulis buku sekaligus ekonom Keuskupan semasa Mgr Angkur (1994-2014).

Berkat dukungan umat, kuria, para imam, dan biarawan-biarawati Keuskupan Bogor, Mgr. Angkur bisa menata kondisi Keuskupannya menjadi lebih baik, meski masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang diwarisi kepada penerusnya. Sebab, gereja memang selalu bergerak atau dinamis.

Tetap Rendah Hati

Sejak purnakarya sebagai Uskup Bogor, Mgr Angkur tinggal di komunitas Fransiskan di Kampung Gorontalo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT. Di biara yang ia dirikan itu, Mgr Angkur tinggal bersama dua kolega setarekat. Romo Lasarus Subagi OFM menceritakan, Mgr Angkur masih giat berdoa bersama konfraternya, bekerja di kebun, dan melayani kebutuhan rohani umat di sekitar biara.

Spirit pemegang suluh masih Mgr Angkur jaga hingga kini. Kata Romo Lasarus, tiap pagi Mgr Angkur yang membuatkan roti dan kopi untuk sarapan koleganya. Kadang kala, Mgr Angkur juga memasak untuk mereka. Menu favoritnya adalah daun dan bunga pepaya.

Pada 14 Juli 2017, Mgr Angkur bersama Romo Alex Lanur merayakan ulang tahun ke-50 tahbisan imamat. Mgr Paskalis Bruno Syukur mengakui, pendahulunya itu sebagai pemimpin yang visioner, selalu mencari solusi untuk mengembangkan terkat dan Keuskupan Bogor, serta setia dalam hidup doa dan komunitas, layaknya biarawan sejati.

(John/dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Top