Anda di sini
Beranda > Artikel > OMK dan Tantangan yang Harus Dihadapi

OMK dan Tantangan yang Harus Dihadapi

Loading

Seksi Kepemudaan (SKP) Paroki BMV Katedral baru saja menggelar pertemuan untuk anak-anak kita, Bina Iman Remaja (BIR) dengan tema  “Kabar Gembira di Tengah Gaya Hidup Modern”, Minggu (10/9).   Upaya SKP ini tentu saja berkaitan dengan Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN). Oleh karenanya dalam pengumuman dan selebaran disebutkan agar masing-masing peserta membawa Kitab Suci. Sayangnya, upaya cantik SKP hanya ditanggapi oleh 33 orang BIR saja! Ya, hanya 33 orang yang hadir. Bayangkan, dari 16 wilayah hanya 6 yang mengirimkan BIR.

Penulis amat paham bila membahas Kitab Suci, animo peserta terbilang minim, dibandingkan acara camping rohani dialam terbuka yang pada Paskah  lalu terbilang seratusan OMK di Cigombong, Sukabumi. SKP pun mengerti akan hal ini. Maka sebaiknya membicarakan atau membahas Kitab Suci harus dibawakan secara fun sesuai tingkat usia para BIR tersebut.

Di dalam OMK terdapat 4 kelompok usia yaitu  Remaja (13-15), Taruna (16-19), Madya (20-24), dan Karya (25-35).  Kelompok yang disebut terakhir merupakan kelompok yang tergolong sulit untuk bisa diajak berkegiatan bersama baik di Lingkungan, Wilayah, atau Paroki.  Hal ini tidak mengherankan karena mereka sedang dalam tahap berkarya mengatur dan merajut masa depan kehidupannya sendiri.  Namun demikian bukan berarti tiga kelompok lainnya, Remaja, Taruna, dan Madya lantas mudah diajak berkegiatan di Lingkungan, Wilayah atau Paroki. Dari pengamatan selama ini di wilayah tempat penulis bermukim dan diakui juga oleh RD Marselinus  Wisnu Wardhana, Pembina OMK Paroki BMV Katedral  bahwa  secara merata di hampir seluruh wilayah, mengajak  berkegiatan OMK bukanlah mudah. Ditengarai  penyebabnya adalah kurangnya dukungan orangtua dan belum sepenuhnya dipahami manfaat berkegiatan bersama dilingkungan saudara seiman.

Kendala yang umum terjadi  adalah pada OMK remaja yang notabene masih sering ikut berkegiatan bersama keluarga, terutama pada saat akhir pekan atau hari libur. Padahal, kegiatan yang dikelola Lingkungan, Wilayah, atau Paroki kerap dibuat pada akhir pekan atau hari libur.  Karena hanya itulah waktu yang pas. Kita memahami bahwa ritme kehidupan warga kota sering kali menuntut kebersamaan keluarga setelah sepekan orangtua sibuk bekerja. Namun demikian, kiranya perlu juga menyisihkan sedikit waktu untuk berkegiatan bersama saudara seiman untuk menjaga jangan sampai disuatu waktu kelak sang anak tahu-tahu – entah karena pernikahannya, atau  tertarik  ajarannya – bilang : “aku sudah pindah ke perahu tetangga”.  

Pertemuan dan berkegiatan dengan saudara seiman di Lingkungan, Wilayah ataupun Paroki  tidak merupakan jaminan bahwa sang anak akan tetap “satu perahu” dengan orang tuanya.  Akan tetapi setidaknya sudah ada upaya untuk menjaganya. Ini semacam investasi jangka panjang yang hasilnya baru diketahui nanti. Apa yang selama ini dan akan dilakukan oleh para Pendamping,  Pengurus SKP dan Pembina tidaklah memadai bila tidak didukung semangat orangtua mendorong putra-putrinya berkegiatan dilingkungan seiman. Selain orang-tua, tentu saja dibutuhkan ketekunan dan keseriusan   dari para Pendamping, Pembina dan SKP dalam menjalankan perannya. Sebab disitulah kepercayaan orangtua diletakkan. Perlu adanya kerja-sama erat, saling dukung antara orangtua dan pendamping, Pembina serta pengurus SKP. 

Masalah ini memang klasik, terjadi pada setiap angkatan dan generasi muda kita, seolah tak berkesudahan, sehingga menimbulkan kesan: dilema yang permanen. Walau begitu, tak ada salahnya tulisan ini mengangkatnya untuk mengingatkan kita semua.   Mari renungkan bersama.

(Henricus Poerwanto/John) 

Penulis Adalah Ketua Wilayah St. Bernadette, Jalan Baru periode 2016-2018.

Leave a Reply

Top