Tradisi gamelan sangat poluler di kampung saya. Gamelan itu dipakai dalam aneka acara, seperti mengiringi wayang kulit, menari, acara pernikahan bahkan juga mengiringi saat misa. Jadi hadirnya gamelan itu bisa diterima di mana saja sebagai pemersatu budaya yang mampu melintas sekat-sekat agama. Gamelan memberikan ruang lintas agama dan tidak membatasi kehidupan agama menjadi esklusif.
Malam Natal adalah hari sangat menggembirakan bagi umat Kristiani di seluruh dunia, termasuk kampung saya yang jauh dari keramaian itu. Sekalipun jauh dari keramaian, umat di kampung juga ingin memeriahkan malam Natal itu dengan hati gembira. Misa pada malam ini dirayakan di gereja diiringi dengan gamelan. Semua lagu diiringi dengan gamelan, bahkan yang paling menakjubkan, tidak semua penabuh beragama Katolik. Mereka ikut ambil bagian mengiringi lagu-lagu Kristiani itu dengan riang gembira, sekalipun di dalam gereja. Mereka mengiringi dengan sangat sakral dan kami pun bisa merayakan itu dengan penuh gembira.
Mbak Marto adalah salah satu penabuh gamelan yang ikut berpartisipasi dalam acara Natal itu. Beliau bukanlah orang Katolik, tetapi sungguh menghargai keragaman itu. Mbah Marto ini sangat luar biasa memainkan perangkat alat musik gamelan, bisa disebut Mbah Marto sebagai sesepuh kampung kami soal musik ini. Banyak orang belajar dari Mbah Marto bagaimana menabuh gamelan dengan baik.
Sore itu masih dalam suasana liburan Natal, saya dan teman-teman main ke tempat Mbah Marto seraya ingin juga berlatih gamelan. Siapa tahu mendapat ilmu tambahan untuk memainkan alat musik itu. Setidaknya ada sepuluh orang ingin berlatih bersama di tempat Mbah Marto itu. Walaupun kedatangan kami tidak memberi tahu lebih dahulu, kami tetap diterima dengan senang hati dan kami siap diajari untuk main gamelan. Awal pembicaraan Mbah Marto memberikan penjelasan terkait alat musik itu. Satu perangkat gamelan itu mempunyai aneka bentuk alat, dan setiap alat mempunyai peran masing-masing. Ibarat alam, gamelan itu adalah sebuah keserasian. Ketika satu salah alat dibunyikan salah, maka timbul kekacaun. Demikian juga ketika alam tidak sesuai dengan ekosistemnya, maka akan terjadi bencana, yakni tidak adanya keserasian alam.
Penjelasan awal Mbah Marto itu ingin mangajak kami supaya setiap orang itu saling menghargai peran orang lain. Jangan asal memukul alat musik tanpa ada irama. Keserasian itu menghasilkan keselarasan yang enak didengar. Demikian juga keserasian alam itu membuat manusia juga nyaman dalam kehidupan sehari-hari. Ketika alam dirusak maka alam akan mengancam hidup manusia sehingga menjadi tidak serasi lagi. Bencana itu bukan karena Tuhan marah kepada manusia, karena manusia sendiri merusak alam itu seenaknya.
Latihan awal ini lebih banyak mengenal apa itu gamelan dan fungsi serta bagaimana menabuh atau membunyikan alat itu dengan penuh rasa, bukan kekuatan fisik. Gamelan itu sebetulnya bisa membawa manusia kepada sebuah rasa yang dalam terkait kehidupan manusia. Musik yang dilantunkan itu adalah ungkapan cita dan rasa seseorang tergantung orang menabuhnya. Dua jam telah berlalu dan kami menyelesaikan latihan awal itu dengan gembira. Selepas latihan sebagian pada pulang, namun kami bertiga bicara dengan Mbah Marto di pendopo depan, tempat yang biasa digunakan untuk penampilan gamelan.
“Nak Paijo, Paimin, dan Parjo,” sapa Mbah Marto seraya menyalakan rokok.
“Iya, Mbah,” seru kami serentak.
“Musik Gamelan itu memang menjadi tradisi kekayaan kita. Musik itu melampaui batas-batas agama, suku, dan golongan. Semua orang boleh memainkan. Justru Musik gamelan ini adalah gambaran kehidupan kita di dunia,” seru Mbah Marto.
“Maksudnya bagaimana Mbah,” sela Paijo
“Nak Paijo, Paimin, dan Parjo. Musik Gemelan itu kan terdiri dari aneka macam alat. Setiap alat mempunyai peran masing-masing. Ini menjadi gambaran hidup kita, bahwa kita ini diciptakan Tuhan dengan peran masing-masing. Kita tidak boleh iri, karena itulah kehendak Tuhan untuk saling melengkapi. Termasuk kita beda keyakinan, namun kita masih tetap bisa saling melengkapi. Jika kita ingin tampil lebih superior, maka musik itu tidak enak didengar. Demikian juga ketika hidup itu kita tidak saling menghormati, bisa jadi terjadi ketidak selarasan dalam hidup,” seru Mbah marto.
“Oh gitu ya,” jawab kami seraya mengganguk-anggukan kepala.
“Nak Paijo, Paimin dan Parjo. Kalau dalam ilmu musik gamelan terutama pada malam hari ketika mengiringi wayang kulit, musik itu lebih ke suasana lebih halus dan tenang. Karena di situ wahyu akan diturunkan. Jadi musik gamelan menghantarkan ke dalam keheningan hati. Sehingga manusia bisa mendengarkan bisikan Tuhan. Makan bunyi gamelan itu nang ning nung, saat Kasatria yang bertapa dalam keheningan sebelum menerima wahyu,” jelas Mbak Marto.
“Nang, Ning, Nung, itu maksudnya apa Mbah?” tanya Paimin
“Itu adalah bentuk dari ‘Heneng, Meneng dan Hening’. Pertama, Heneng itu menyelaraskan pikiran, supaya tetap terbuka pada kehendak Allah. Manusia diberi akal supaya berpikir, namun ada kalanya manusia mengedepankan pikiran itu mengolah dengan semestinya agar berguna bagi kehidupan. Kedua, Meneng itu berarti diam. Pada saat tertentu manusia perlu diam, membiarkan diri Tuhan bicara kepada kita. Kita mempunyai dua telingga, biarlah Roh Allah merasuk dalam hidup kita dengan tidak banyak bicara. Ketiga Hening, artinya manusia perlu batin yang tenang. Karena ketenangan batin itu akan menjadi sarana manusia mudah memahami kehendak Allah,” jelas Mbah Marto.
“Mbah Marto, saya ingat bahwa iman kami mengajarkan melalui injil Matius ‘14:23 Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ’. Yesus mengajarkan juga untuk berdoa sendirian di tempat yang sepi. Bisa jadi apa yang dijelaskan Mbah Marto tadi ada hubungannya. Artinya dalam keheningan bisa berdoa kepada Allah. Saya semakin paham bahwa iman saya pun juga memberikan sebuah gambaran doa dalam keheningan seperti Yesus doa pada malam hari sendirian di tempat yang sepi,” sahut Paijo dengan bangga.
“Ya nak Paijo, bisa jadi demikian. Kiranya apa pun agamannya selalu mengajarkan untuk berdoa dalam keheningan agar manusia dapat menerima terang Allah itu dengan jernih,” sahut Mbah Marto.
“Mbah Marto, saya setuju keselarasan hidup itu adalah sebuah kunci kedamaian di dunia yang digambarkan dengan main musik Gamelan tadi. Bentuk dari keheningan pikiran dan hati adalah kunci bagaimana manusia bisa berkomunikasi dengan Allah sendiri. Bentuk nyata bahwa kita bisa komunikasi baik dengan Allah jika kita bisa hidup damai dengan sesama, lebih tepatnya hidup selaras dengan manusia,” seru Paimin
“Wahhhhhh, wahhhhh, kalian memang sangat paham akan sebuah makna hidup. Semoga itu bukan hanya sebagai slogan, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, baik dalam keluarga maupun masyarakat,” serum Mbah Marto lagi.
Percakapan itu begitu mengasikkan sehingga waktu sudah menjelang malam. Kami pun pamitan dengan Mbah Marto untuk pulang. Karena saya harus memberi makan kambing-kambing. Kami pun pulang bersama, sampai perempatan kami berpisah menuju rumah masing-masing. Saya pun saling mengucapkan perpisahan dengan Paimin dan Parjo.
“Jo, Paijo, salam ke kambing-kambing ya, jangan lupa kasih makan, biar selaras heeeeee,” seru Paimin dan Parjo sambil meledek.
“Embekkkkkkk, embekkkkk,” sahut Paijo menirukan kambingnya..
“Jo, Paijo. Kamu dan kambing selaras sekali, embekkkkk, embekkkkk” seru Paijo dalam hati seraya berpisah dengan teman-temannya.
(RD Jatmiko)