Matius 22:21 Jawab mereka: “Gambar dan tulisan Kaisar.” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”
Setiap orang mempunyai kehendak bebas untuk melakukan segala sesuatu tanpa terkecuali. Kebebasan itu menjadi hak setiap orang yang lahir dan hidup di bumi ini. Tidak seorang pun berhak melarang dan membungkam kebebasan manusia, karena Allah sendiri memberikan kehendak bebas itu, yang kita kenal dengan “free will”. Kehendak bebas ini adalah sebuah anugerah terbesar diberikan kepada manusia, dan tidak diberikan kepada ciptaan lainnya. Akal budi menjadi sebuah pembeda utama bagaimana manusia mendapat karunia terbesar akan arti kebebasan.
Ketika manusia berbicara makna kebebasan, dengan sendirinya manusia mempunyai keterbatasan dan sekaligus terikat akan sebuah kebebasan. Alasannya, setiap manusia mempunyai kehendak bebas, hal itu akan menjadi sebuah keterbatasan ketika kehendak bebas itu berbenturan dengan orang lain. Kebebasan itu dengan sendirinya mempuyai batas-batas yang dengan sendirinya membuat sebuah sekat satu dengan lainnya. Ketika kita bebas mengumpat sesama, berarti kita bebas pula diumpat oleh orang lain. Demikian juga ketika kita berhak membantai orang lain, berarti kita juga berhak dibantai. Hal ini menandakan bahwa kebebasan itu tidak serta mutlak tanpa batas. Kebebsan harus sesuai pranata sosial yang ada demi sebuah keselarasan.
Akal budi manusia menjadi wasit akan makna sebuah kebebasan. Artinya akal budi mesti memilah jangan sampai kebebasan itu membuat orang lain menjadi menderita. Ibarat kita bebas merusak alam, tetapi dengan sendirinya alam dengan bebas mengancam hidup manusia. Jadi kebebasan itu hendaknya ditata agar menjadi sebuah keselarasan dalam kehidupan alam semesta, terutama keselarasan antarsesama.
Agustus adalah sebuah peristiwa penting bagi negara Indonesia. Anugerah kemerdekaan sekaligus terlepas dari cengkraman penjajahan sejak 17 Agustus 1945. Anugerah itu mesti dibayar mahal, karena banyak pengorbanan para pahlawan melawan penjajah demi kemerdekaan. Tugas utama penerus bangsa mengisi kemerdekaan dengan sebuah kebebasan. Kebebasan harus menjadi dasar untuk mengembangkan negara dan bangsa semakin menjadi baik. Akal budi menjadi kunci bagaimana anugerah itu kita gunakan dengan baik demi keselarasan hidup di dunia ini.
Terkait hari bahagia ini, tradisi kampung selalu menandai acara kemerdekaan itu dengan sebuah perayaan sebagai ucapan syukur. Demikan kiranya kampung saya tidak ketinggalan untuk mengadakan perayaan syukur kepada Tuhan atas segala karunia negeri ini yang paling indah. Ucapan syukur itu biasa kami tandai dengan doa bersama di sebuah lapangan besar tempat setiap orang bisa berkumpul bersama. Ucapan syukur berupa doa sekaligus mendoakan arwah para pahlawan yang telah membela bangsa ini dari penjajah.
Malam itu saya pun ada di antara kerumunan orang untuk ikut ambil bagian dalam acara syukur itu. Dengan doa bersama itu, kita disatukan dalam satu ikatan kasih sebagai sesama tanpa sekat-sekat kehidupan sosial, ras, agama, dan suku. Suasana doa itu sangat syahdu, berdoa menurut keyakinan masing-masing. Doa telah menyatukan dari segala unsur yang membatasi sesama manusia di bumi pertiwi. Doa syukur itu diakhiri dengan terikan merdeka, merdeka, merdeka.
Selesai doa syukur kami semua membubarkan diri, ada yang terus jalan-jalan, ada yang masih bergerombol dan ada juga yang langsung pulang. Sementara saya bersama Parjo dan Paino pulang ke rumah bersama.
“Jo, Paijo,” tanya Paino
“Ya, No, Paino,” jawab Paijo.
“Kita pernah dengar di dalam Kitab Suci berikan Kaisar yang menjadi hak Kaisar dan berikan kepada Allah yang menjadi hak Allah. Apa sih Jo, maksudnya,” tanya Paino.
“Ya, setahu saya, itu kan jebakan yang diberikan orang-orang Farisi dan ahli Taurat kepada Yesus. Situasi saat itu serbasalah. Jika Yesus membayar pajak berarti pro dengan penjajah, tetapi jika Yesus tidak membayar pajak berarti melawan pemerintah. Ini dua hal yang sangat menyulitkan. Namun, Yesus memberikan sebuah jawaban yang sangat tepat. Artinya tidak melawan penjajah dan juga mendukung pemerintah,” jawab Paijo.
“Oh, gitu ya. Apa yang dapat kita aplikasikan dengan hidup ini, bukankah sekarang kita sudah merdeka, tidak ada penjajahan lagi?” seru Parjo.
“Jo, Parjo. Memang benar bahwa penjajah sudah tidak ada dalam bumi pertiwi, tetapi justru penjajah utama itu adalah hidup kita. Artinya perilaku hidup kita sebagai warna negara kadang merusak bukan membangun. Ini bisa saya sebut sebagai penjajah,” seru Paijo.
“Ahhhh, Maksudmu apa,” seru Parjo dan Paino serentak seraya kaget.
“Ya, kita sekarang tinggal dalam keadaan nyaman. Kita harus ikut membangun kehidupan negara ini. Masalahnya kita lebih banyak membangun negara atau merusak negara demi kepentingan kita sendiri. Contoh, kita mencemari bumi kita dengan aneka sampah. Kita merusak alam ini, berarti kita menjajah hidup kita sendiri, karena alam itu akan mengancam hidup kita semua. Jadi bukankah penjajah utama adalah perilaku hidup kita yang serakah dan tidak mau memikirkan orang lain. Artinya mereka memberikan kebebasan tanpa batas dengan tidak memikirkan orang lain juga mempunyai hak yang sama,” seru Paijo.
“Wah, bener juga ya Jo, Paijo. Kamu cemerlang juga hari ini, biasanya bicara soal kambing, heeeee,” ledek Paino dan Parjo.
“Yaaaa, mesti berkembang donk. Paus juga mengingatkan kita dalam dokumen Laudato Si” seru Paijo sambil ketawa.
Selama perjalanan pulang, kami asyik berbicara dan sedikit bercanda seperti biasanya. Tidak lama kemudian kami sampai di kampung. Namun, kami harus melewati sebuah pohon besar yang oleh orang kampung dikatakan angker karena banyak penunggu dan suka mengganggu. Kami bertiga merasa tidak takut, apa lagi kami sudah berajak dewasa, padahal itu hanya menghibur diri saja. Sekalipun hati kami agak sedikit takut, kami mengisi dengan candaan. Tidak lama kami pun melewati tempat itu.
“Ahhhhhhhhh,” kami berteriak bersama sambil berlari ketakutan. Ketika kami melewati pohon keramat itu ada kain putih melambai di tempat itu. Kami pun tunggang langgang ketakutan. Bahkan kami sempat jatuh, lebih parah lagi, Paijo sandalnya putus. Oleh karena takut, kami tidak langsung pulang ke rumah, tetapi ke tempat pos jaga. Semua kejadian itu kami ceritakan dan kami pun semua kembali ke tempat itu. Kebetulan di situ ada Mbah Mitro dan beberapa orang yang ikut.
“Ada apa kalian seperti ketakutan,” tanya Mbah Mitro
“Ada, hannnnnnntuuuu,” sahut kami bertiga seraya ketakuatan.
“Ahhhhhh, dasar penakut semua,” kata Mbah Mitro yang kebetulan jaga malam itu. Mbah Mitro pun akhirnya mangajak kami kembali ke tempat di mana mereka melihat hantu itu. Dengan bekal lampu sorot, Mbah Mitro memimpin kami ke pohon itu. Sesampai di tempat itu Mbah Mitro menyinari pohon itu, dan terlihat kain bekas spanduk yang lepas talinya.
“Ini hanya kain spanduk yang lepas. Kamu laki-laki penakut,” seru Mbah Mitro sambil memberi wejangan.
“Wah maaf mbah, ternyata setan pun bisa bercanda juga ya, heeeeee,” seru kami serempak sambil menahan malu.
“Setan, setan. Iman kalian di mana,” bentak Mbah Mitro.
“Iya, ya, katanya kita pemberani, ternyata penakut juga ya, heeee. Dasar setan ikut menggunakan kebebasan, jadi malu dehhhhh, merdeka” senyum kami bertiga serasa tersipu.
(RD Jatmiko)