Matius
18:3 lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Permainan adalah sebuah wahana orang mengepresikan diri terhadap kehidupan ini. Setiap orang membutuhkan wahana permainan ini karena pada prinsipnya manusia adalah manusia bermain, homo ludens. Wilayah bermain ini bukan saja milik anak-anak, tetapi permainan itu adalah wilayah semua orang tanpa terkecuali. Perbedaannya terletak pada cara dan bentuk permainannya. Permainan itu bukan semata-mata mencari prestasi, tetapi lebih menjaga keseimbangan manusia dalam kesibukan sehari-hari terutama bagi orang dewasa. Aneka permainan itu adalah bentuk dari kreativitas manusia mengungkapkan diri sebagai homo ludens itu.
Hari liburan sekolah telah tiba saat anak-anak sekolah menghabiskan waktunya dengan aneka permainan. Segala permainan selalu ada mengisi liburan itu. Demikian juga anak-anak muda di gereja mengadakan acara bersama mengisi liburan yang berguna. Acara anak muda yang mereka nanti-nanti adalah camping rohani di pegunungan yang jauh dari keramaian, juga ada sungai yang jernih airnya. Indahnya alam itu mengambarkan betapa indahnya sang Pencipta. Kekaguman itu membuat manusia terhenyak untuk berdiam diri menikmati indahnya alam itu. Sebuah pendidikan iman bahwa merusak alam berarti merusak kehidupan pula. Penanaman kesadaran ini mesti selalu diingatkan seperti Paus mengigatkan dalam dokumen Laudato Si.
Salah satu acara di camping itu adalah menyelusuri sungai dengan beranang sebisanya. Kid jaman now menyebutnya BODY RAFTING. Dengan perlengkapan seadanya kami anak-anak mudika menyelurusi sungai dari hulu. Aliran sungai di musim kemarau tidak begitu membahayakan bagi orang-orang untuk menyelusuri, ditambah bebatuan yang sangat indah tampak di seluruh sungai itu. Sayangnya, ada beberapa spot yang terlihat kotor karena ulah manusia yang tidak mencintai lingkungan. Suara riuh anak-anak muda menambah seru perjalanan mereka di sungai seraya bermain air. Ada yang berjalan, ada yang berenang, ada juga yang merambat di pingirian karena takut air. Semua itu bercampur aduk dalam kebersamaan pagi itu. Mereka saling membantu satu dengan yang lain, saling menjaga demi keselamatan bersama. Di sinilah rasa kebersamaan itu tercipta dan menumbuhkan kekuatan dalam sebuah komunitas.
Perjalanan satu jam menyelurusi sungai tidak begitu terasa, tetapi ternyata belum sampai juga pada tujuan. Setelah beberapa waktu menyelusuri sungai, sejenak kami berhenti di spot bebatuan seraya mengela napas. Indahnya hutan yang terjaga menghiasi perjalanan kami. Rasa menyatu dengan alam membuat hilangnya rasa takut, rasa sedih, rasa khawatir, atupun rasa menyesal. Semua menampilkan kegembiraan sekalipun melewati medan yang begitu berat. Setelah beberapa waktu istirahat, kami meneruskan perjalanan menyelurusi sungai itu. Rasa penasaran semakin muncul, karena masih jauh tujuan perjalanan itu. Ternyata perjalanan tahap kedua masih membutuhkan waktu satu jam lagi, hingga sampai pada air terjun yang menyegarkan. Banyak dari anak-anak OMK yang terjun dari atas, tetapi ada pula yang takut mencari jalan aman dan meneruskan main air terjun sepuasnya.
Kegembiaraan itu sepertinya menghapuskan rasa lapar dan haus, bisa jadi mereka tidak kehausan karena minum air sungai dengan tidak sengaja. Kalaupun sengaja juga tidak apa-apa karena air sungai itu sangat jernih, hanya sedikit terusik oleh perjalanan anak-anak muda itu. Setelah puas main air terjun, kami kembali ke perkemahan untuk bersih-bersih dan dilanjutkan makan bersama. Entah ini makan siang atau makan malam, karena makan siang jelas sudah melewati jam makan, tetapi jika makan malam, kenapa siang belum makan. Jadi ya makan demi mengisi perut yang tertunda diisi. Kami dibagi tiap kelompok 10 orang. Makanan disajikan dengan alas daun pisang. Jadi kelompoknya dibagi lima cowok dan lima cewek.
“Jo, Paijo, Pimpin doa dulu sebelum makan,” seru Paimin yang menjadi teman satu grup.
“Baik lah,” seru Paijo seraya memimpin doa dengan singkat dan padat.
“Ahhhhh, dasar lapar ya, doamu singkat,” kata Paimin seraya ketawa.
“Betulllll, setuju,” sahut Parno yang juga sekelompok makan dengan Paijo.
“Jo, Paijo, makanmu cepat sekali,” seru Yanti yang juga satu kelompok makan.
“Lapar ya,” timpal Menik yang juga ada dalam kelompok itu.
“Iya, Lapar bingittttttt,” seru Paijo.
Kami bersepuluh itu dengan lahap menghabiskan makanan tanpa tersisa, sekalipun hanya lauk tempe dan tahu serta sambel terasi. Rasa lapar, kebersamaan membuat dorongan untuk makan dan tidak membuang-buang makanan. Jadi dalam kesempatan itu tidak ada istilah diet karbo. Semua makan sampai ludes, demikian juga kelompok lain pun sama. Terlihat tidak ada sisa makanan yang terbuang. Selepas makan itu mereka mencuci tangan dan membuang daun pisang bekas tempat makan sebagai bentuk cinta lingkungan dan tidak membuat sampak nonorganik. Selesai itu kami diminta untuk tetap dalam kelompok mensharing pengalaman seharian menyelusuri sungai.
“Wahhhhhh, ini pengalaman pertama saya dalam hidup. Walaupun kita dari desa, untuk menelusuri sungai ini baru pertama kali. Ini sesuatu yang indah, kita lupa diri, bahwa tidak lagi anak-anak, tetapi main air seperti anak-anak,” kata Paimin dalam sharingnya.
“Wahhhh, saya juga begitu. Padahal izin saya ke orangtua adalah kamping, jika tahu ada acara jalan di sungai, pasti sudah dilarang. Kalian tahu sendiri orangtua saya mendidik saya sangat protektif. Jadi kegiatan yang sifatnya mengarah pada membahayakan fisik pasti dilarang. Akan tetapi, pengalaman ini menyenangkan, belum tentu itu akan terjadi lagi” seru Yanti menimpal.
“Betul-betul, saya sependapat dengan Yanti. Kalaupun orang saya tahu, pasti tidak diberi izin. Namun dengan peristiwa ini bisa membuka wawasan orangtua saya. Sejak kecil saya dilarang main sungai. Orangtua saya selalu menakut-nakuti bahwa ada biatanag buas air yang menyeret anak-anak yang main di sungai. Pokoknya segala cerita mengerikan selalu diberikan dalam hidup saya, tetapi pengalaman ini membuka wawasan bahwa perintah orang tua itu tisak semuannya benar,” seru Menik.
“Ya, kalau saya sih itu bukan aneh lagi. Sungai dan rumput sudah menjadi bagian hidup saya. Simbok tidak pernah melarang itu, ya paling hanya cemberut saja jika pulang terlalu sore dan lupa ngasih makan kambing. Namun berjalan bersama menyelusuri sungai sejauh itu baru pertama kali juga. Ternyata ketika kita senang, tidak ada yang sakit. Kita lihat semua bahagia karena kebahagiaan itulah yang menjadi kekuatan manusia selalu sehat. Sebagai orang Katolik kita diingatkan Yesus supaya kita seperti anak-anak kecil jadi selalu bahagia tanpa terbebani. Itulah kuncinya,” seru Paijo sambil senyum-senyum.
“Wah Jo, Paijo. Bisa saja kamu menghubung-hungungkan dengan Kitab Suci, seperti frater kasih rekoleksi” sela Parno sambil ketawa.
“Heeeee, ya namanya juga orang Katolik sejak kecil. Jadi harus menghubungkan dengan iman,” seru Paijo sambil nyengir
“Betul betul saya setuju dengan Paijo. Memang dalam saat tertentu kita harus mesti seperti anak kecil. Anak kecil itu kalau bermain kadang lupa makan, karena senang. Anak-anak kecil tidak pernah kuatir dan risau kalau bermain, mereka lepas bebas mengungkapkan diri. Kita pun juga harus begitu, menempatkan diri seperti anak kecil agar kita dapat selalu bahagia. Makanya Yesus mengambil perumpamaan itu,” timpal Yanti dengan semangat.
Suasana semakin seru dalam sharing, bahkan terdengar ada yang ketawa riang tanpa henti dan silih berganti dalam kelompok terkait pengalaman hari itu. Ada pula yang meledek karena takut air. Semua pengalaman itu terangkum dalam kebersamaan bersama di tempat kamping itu. Setiap individu telah membagikan pengalaman hidupnya dengan suka cita. Itulah pengalaman sebagai homo ludens, manusia bermain.
Suasana kelompok kami jadi kacau karena terdengar dari salah satu kelompok buang angin dengan nada yang sepertinya ditahan, tetapi karena tidak tahan suara itu berirama membuat kita ketawa sambil bubar kembali ke kemah untuk istirahat sejenak. Selidik punya selidik ternyata suara dari perut Paijo.
“Jo, Paijooooooo, dasar perut tidak bisa kompromi,” seru Parno seraya ketawa meningglkan Paijo.
“Heeeeeeee,” Paijo pun menutup muka karena malu buang angin di hadapan teman-teman apalagi ada Menik dan Yanti.
“Jo, Paijo. Maluuuuuu bingitttt, dasar wong Ndeso,” seru Paijo dalam hati seraya pergi meninggalkan tempat sharing sambil tersenyum sendiri menahan malu.
(RD Nikasius Jatmiko)