Matius 22:30 Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.
Markus 12:25 Sebab apabila orang bangkit dari antara orang mati, orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.
Lukas 20:36 Sebab mereka tidak dapat mati lagi; mereka sama seperti malaikat-malaikat dan mereka adalah anak-anak Allah, karena mereka telah dibangkitkan.
Undangan doa lingkungan itu sangat menyenangkan Paijo, terlebih jika ada intensi khusus dari keluarga. Peristiwa itu selalu dinanti-nanti juga anak-anak kecil, mungkin jika yang dewasa hanya tidak terungkap di dalam perkataan. Sementara anak-anak kecil selalu jujur mengatakan, ikut doa lingkungan yang ada intensi khusus pasti ujungnya ada makanan, wah pasti Hauce. Inilah MODUS, istilah jaman mileneal. Mereka berdoa dengan semangat karena termotivasi makan yang enak, alias perbaikan gizi, demikian kata-kata sering muncul di antara pembicaraan anak-anak di waktu itu.
Sore itu, ada undangan tetangga memperingati arwah 1000 hari, atau biasa disebut 3 tahun. Ada tradisi memberikan penjelasan bahwa 3 tahun atau 1000 hari adalah doa terakhir untuk orang yang sudah meninggal. Oleh karenanya, selepas doa itu pasti ada makan enak, bahkan ada kebiasaan memotong kambing sebagai upacara penutupan doa arwah. Betapa menyenangkan jika perut oriented, menjadi landasan untuk hadir. Kapan lagi makan enak seperti ini, Simbok tidak akan mungkin menyembelih kambing untuk makan-makan. Ehhhh, jadi inget di KITAB SUCI, Lukas 15:29 Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Wah jadi BAPER, nihhhh.
Pukul 5 sore, Paijo biasanya masih ada di ladang mengembala kambing, namun kini dia pulang lebih cepat tidak seperti biasanya.
“Maklum ada undangan doa lingkungan,” kata Paijo dalam hati seraya memegang perut tanda akan makan enak heeee.
“Embikkkkkkk, Dasar Modus,” begitulah kira-kira kambing-kambing itu ingin mengatakan secara Bahasa manusia heeeee.
”Wahhhh, dasar motivasi tidak jelas Paijo ini,” seru Paijo dalam hatinya mengamini suara kambing yang dibawa pulang lebih cepat dari biasanya.
Kambing-kambing pun menyindir lagi silih berganti dengan embikannya, kenapa dibawa pulang cepat-cepat,”embikkkkk, Embik.”
Suara kambing tidak terhiraukan demi motivasi tidak jelas itu. Sesudah mengandangkan kambing-kambing, Paijo pun segera mandi, hal itu sudah ditandai oleh Simbok bahwa ada MODUS dibalik itu kelakuan Paijo yang rajin mandi di sore hari.
“Jo, Paijo, pasti ada MODUS. Pukul 17.00 dah pulang dan mandi dengan rapi,” seru Simbok yang sudah hapal dengan kelakuannya.
“Cie-cie, Simbok tahu istilah MODUS. Heeeeee, tahu aja Simbok itu,” jawab Paijo dengan senyum-senyum.
Suasana sore sangat menyenangkan hati Paijo karena ada undangan doa lingkungan yang dengan sendirinya aka nada sajian makanan enak. Wissss blas memang gak jelas Paijo ini, mempunyai motivasi doa, dengan tujuan ada makanan hauce. Pukul 18.00 Paijo pun sudah berangkat berjalan kaki ke tempat undangan. Demikian, Simbok pun ikut bersama Paijo. Kebahagiaan Paijo sebetulnya juga terbersit dengan sandal baru yang belum lama dibeli. Simbok menjual kambingnya, satu ekor. Paijo pun mendapat hadiah sandal yang sekarang dia pakai. Jalannya pun terlihat hati-hati, seperti takut sandalnya menginjak kotoran kambing. Simbok hanya bisa tersenyum melihat tingkah Paijo yang sedang berbunga-bunga.
Sesampai di tempat undangan, masih banyak tempat kosong. Kebiasaan di kampung, doa lingkungan itu selalu dilakukan dengan duduk lesehan di tikar. Kesempatan datang lebih dulu biasanya menjadi alasan mencari tempat unutk bersandar. Orang-orang mencari tempat PW (Posisi WUEEEEENAK), begitu mereka selalu mengatakannya. Inilah bahawa kampung yang milineal, heeee. Tuan rumahpun memberikan salam dan mempersilakan masuk. Satu per satu undangan datang dan mulai memenuhi rumah.
Tepat pukul 19.00, doa memperingati arwah dimulai. Seperti biasa doa arwah tidak selalu dipimpin oleh pastor, karena terbatasanya tenaga. Doa-doa seperti ini terkadang dipimpin oleh umat sendiri dengan buku panduan yang sudah ada. Jadi petugas ini sering kali bergiliran memimpin doa. Jadi semua bisa mendapat giliran memimpin sekaligus memberikan renungan. Saat ini ada frater yang sedang bertugas di paroki kami, kebetulan pula beliau yang akan memimpin doa arwah itu.
Dalam renungannya, fr. Boni, namanya, memberikan penjelasan terkait apa yang terjadi setelah kematian. Fr. Boni ini seperti baru lulus kuliah, terlihat cara renungannya sangat ada bau-bau bangku kuliah. Jangan-jangan bau bangku kuliahnya ikut nempel dalam dirinya, heeeee. Penjelasan Fr. Boni itu memberikan gambaran yang baru bagi kami. Kami sering memahami bahwa setelah kematian kita akan kembali berkumpul seperti keluarga.
“Tidak seperti itu,” tegas Fr. Boni.
“Jadi setelah kita meninggal itu, seperti contohnya nanti Paijo, Simbok, terus bapak yang sudah mendahulu akan bertemu seperti keluarga lagi. Itu kan cara mikir manusia,” tegas Fr. Boni.
“Mungkin juga, Paijo berpikir bertemu lagi dengan kambing-kambingnya,” tegas Fr. Boni dalam kotbahnya sambil senyum melihat Paijo yang sedikit cemberut karena dipakai contoh kematian.
Singkatnya Fr. Boni menegaskan bahwa kematian membawa kita pada martabat bahwa kita itu sama dengan maliakat seperti dalam Injil yang tertulis. Penegasan itu mengakhiri kotbahnya yang singkat, padat, memikat dan membuat ngakak, heeeee.
Jangan-jangan, Fr. Boni juga sudah merasa lapar karena bau gulai kambing telah menyengat hidung kami ketika doa. Pasti konsentrasi doa terpecah terutama ketika mendengarkan kotbah. Ya, itulah situasi alam manusia yang tidak bisa dibohongi. Secepat itu doa arwah malam ini, membuat kita pun ikut senang dan lega. Rasa perut ini seperti telah membuyarkan konsetrasi. Selepas doa arwah kami pun saling ngobrol sana sini, sekalipun hati tertuju pada bau gulai kambing yang telah dihantarkan melalui angina sepoi-sepoi itu.
“Jooooo, Paijo, lapar Jo,” tanya Fr. Boni sambil menyapa. Sekalipun belum lama kenal tetapi sudah sok akrab dengan Paijo wajah deso itu.
“Engggaaaak frater, masih kuat,” kata Paijo diselingi suara bunyi perut karena laparr
“Haaaaaaa, huuuuu, hiiiii,” suara teman-teman itu serentak menertawakan Paijo.
Setelah ketawa, makanan pun menghampiri kelompok yang ribut itu; Paijo, frater dan teman-temannya menjadi satu gerombolan itu. Tanpa tunggu lama lagi, makanan itu seperti sebuah magnet yang langsung erat di dalam gengangan masing-masing. Mereka menerima satu piring gulai hangat dan kini gilirian nasi yang diedarkan. Jadi jelas bahwa dalam hitungan detik, nasi itu tinggal tempatnya saja. Sekejap nasi telah bepindah ke piring mereka.
“Mantab sekali, hmmmmmmm, enak sekali ya Jo, Paijo” seru fr. Boni kepada Paijo yang sudah asik dengan piring nasi lauk gulai kambing itu.
Suasana pun menjadi pecah dengan cerita-cerita yang hadir seraya makan bersama.
“Frater, ingat mari kita makan dengan senang hati. Sekarang posisi kita beda, lho,” seru Paijo seraya makan lagi
“Maksudmu apa, Jo, Paijo,” tanya Fr. Boni.
“Frater Boni, dipilih untuk menjadi calon imam. Saya dipilih jadi pengembala kambing, teman-teman yang lain juga beda-beda. Frater dapat gulainya lebih banyak, heeeeee. Beda kan. Ingat lho frater perbedaan itu hanya di dunia, tetapi nanti setelah mati kita sama. Sama-sama seperti malaikat, heeeeeeee,”Seru Paijo seraya tertawa lebar seakan senang sekali.
“Jooooo, Paijo. Bilang saja mau nambah. Nihhhh aku kasih jatahku,” seru Fr. Boni smbil ketawa.
“Nahhhhhh, gitu donk, itu baru sama, heeeeeee, di dunia dan di akherat,” kata Paijo sambil ketawa.
Selesai perjamuan mereka pun mengakhiri dengan makan buah pisang yang telah menjadi menu pokok di kampung. Tidak lupa teh manis yang selalu ada dalam setiap pertemuan dan doa. Doa kematian ini mengingatkan pula kepada manusia bahwa itu peristiwa yang akan terjadi, namun yang paling penting manusia akan mendapatkan martabat seperti malaikat dengan kemuliaannya.
Satu-satu kami pun pamit. Demkian fr. Boni pamit dan semua tamu undangan meninggalkan rumah itu. Paijo pun pulang dengan senang hati bersama Simbok. Paijo pulang seraya bersiul karena kenyang makan nasi dan gulai kambing bahkan nambah jatah dari fr. Boni. Sementara Simbok hanya tersenyum-senyum melihat tingkat Paijo.
“Jo, Paijo. Kamu tahu tidak bahwa kambing yang kita makan itu sebetulnya kambing kita yang dibeli dari kelaurga itu,” seru Simbok
“Wahhhhh, jadi saya makan kambing saya, Mbokkkkkk,” seru Paijo seraya kaget tidak percaya.
“Ohhhhhhh tidak, masa kambing makan kambinnnnng,” seru Paijo dengan suara lirih menyedihkan.
“Yaaaaaa, dah menyatu dengan tubuhmu Jo, Paijo,” seru Simbokkkkk sambil tersenyum.
(RD Nikasius Jatmiko)