Menjadi pelayan dan pengurus gereja, meski sukarela ternyata juga tidak boleh asal. Artinya mereka para awam yang nantinya akan terpilih menjadi pengurus, baik di tingkat lingkungan, wilayah, organisasi, dan seksi/dewan paroki, setidaknya harus memiliki kriteria tersebut.
Mengapa demikian? Ini penting karena bagaimana pun seorang pengurus dapat memberi dampak atau pengaruh kepada lingkungan di sekitarnya. Maka sejatinya memang pengurus-pengurus tersebut adalah orang-orang yang bisa menjadi panutan dan diusulkan oleh lingkungan/wilayah atau organisasinya.
Tepat kiranya apabila paroki meminta para pengurus lingkungan, wilayah dan seksi yang saat ini masih bertugas memberikan nama-nama yang bakal menjadi pengurus di 2016 nanti karena organisasilah yang lebih mengenal mereka.
Kriteria Pengurus
Paroki Katedral Bogor menetapkan enam kriteria calon pengurus sebagai persyaratan awal. Pertama ia memiliki integritas iman katolik, artinya ia hanya mengimani ajaran katolik, beribadat atau misa di gereja katolik, memiliki ketaatan pada hirarki gereja dan peraturannya. Dalam hal ini militan kekatolikannya tidak lagi diragukan.
Kedua, mempunyai nama baik dan tidak menjadi batu sandungan. Bayangkan jika seorang pengurus nanti memiliki citra yang tidak sedap, baik di keluarganya, lingkungannya, dan masyarakat sekitarnya. Ini jelas akan menjadi batu sandungan baginya untuk mewujudkan visi dan misi paroki dan mewujudkan kehidupan menggereja di lingkugan/organisasinya.
Ketiga, memiliki komitment dan ketulusan untuk melayani Tuhan dan sesama. Menjadi pengurus memang harus meluangkan waktu (bukan menyisakan waktu luang), ia harus konsisten dan tidak memiliki kepentingan apa pun untuk menjadi pelayan. Entah kepentingan untuk disanjung, dihormati, dihargai apalagi untuk berkuasa. Seperti yang diungkapkan Vikaris Yudisial Keuskupan Bogor RD Yohanes Driyanto, menjadi pengurus harus siap berkorban, baik waktu, tenaga dan juga materi.
Syarat keempat yakni bersedia bekerjasama dalam tim dan cepat tanggap. Inilah syarat yang juga harus dipenuhi oleh pengurus baru, baik di tingkat lingkungan, wilayah, seksi/organisasi. Syarat ini sungguh logis, karena sulit baginya untuk bisa bekerja sama jika ia tidak bisa diterima oleh tim atau anggota pengurus yang lain. Apalagi jika ia terpilih sebagai ketua. Tak mungkin pula ia mampu mewujudkan visi dan misi organisasi jika mendapat penolakan. Penerimaan anggota sangat penting, maka pola bottom up (dari bawah ke atas) dalam hal ini berlaku.
Kemudian syarat kelima, mempunyai jiwa kepemimpinan dan memahami cara kerja organisasi. Sifat-sifat kepemimpinan seperti mengayomi, bijaksana, rendah hati, ikut terlibat langsung dan tidak bersikap memerintah (mental bos) penting dalam organisasi yang bersifat pelayanan. Karena organisasi pelayanan bukanlah perusahaan komersil yang mengikat dan memaksa anggota tim untuk mau mengikuti kemauan ketuanya. Maka memimpin dengan hati, namun tegas dan penuh kasih dibutuhkan.
Yang tak kalah pentingnya lagi adalah mendapat dukungan keluarga. Ini merupakan syarat yang keenam. Tanpa dukungan dari suami, isteri atau anak, sulit rasanya bagi pengurus untuk bisa fokus mengurus organisasinya. Meski hanya bersifat meluangkan waktu, fokus terhadap tujuan organisasi tetap tak boleh dinomorduakan. Dukungan keluarga membantu memperlancar tugasnya karena itu merupakan pondasi awal, membantu motivasi seseorang untuk bisa melayani dengan baik.
Nah, itulah kriteria bagaimana seorang awam untuk menjadi pengurus. Tidak berat sesungguhnya selama ia memiliki motivasi yang tulus untuk melayani. Tanpa embel-embel apa pun juga, dan melibatkan Roh Allah bekerja dalam organisasi/lingkungan yang diikutinya bersama dengan seluruh anggota tim, niscaya pekerjaan tersebut akan menjadi berkat bagi banyak orang.
(Jam)