Anda di sini
Beranda > Mutiara Biblika > Aqua Fontis Vitae (Air Sumber Kehidupan)

Aqua Fontis Vitae (Air Sumber Kehidupan)

Ilustrasi Romo Iko Juli 2022

Loading

Kidung Agung  4:15 O, mata air di kebun, sumber air hidup, yang mengalir dari gunung Libanon!”

          Cuaca mendung melingkupi kampung Wonolali pagi itu. Matahari pun nampaknya enggan bersinar sehingga keindahan gunung di Wonolali itu tertutupi. Di lereng gunung itu ada sumber mata air yang terus mengalir tanpa henti. Aliran air itu menjadi berkat yang terus mengalir tanpa henti. Masyarakat sekitar yang mayoritas Katolik menandai tempat itu sebagai peziarahan dengan meletakkan patung Bunda Maria tepat di atas mata air itu berada. Orang menyebut tempat itu sebagai Gua Maria Sumber Ketentraman.

         Sumber air mengalir terus, sekalipun musim kemarau. Setiap kali datang ke tempat itu, gemericik alirannya terdengar secara teratur. Suara percikan itu menghantarkan kedamaian dan manusia dibuat hanyut di dalamnya.  Ritme keteraturan alam itu memberikan keheningan yang mendalam bagi yang hadir di situ. Suasana itu semakin mempunyai nilai rohani saat Bunda Maria ditahtakan di tempat itu. Penduduk setempat menghayati itu sebagai Maria sumber kedamaian. Maria menjadi model bagi setiap orang yang selalu mengalirkan berkat ibarat air itu. Kesejukan itu menghantarkan manusia dalam kedamaian yang luar biasa.

         Dalam kegalauan iman, Paijo, Paimin, dan Parman berkunjung ke tempat itu. Mereka meninggalkan kepenatan hidup yang terus terpacu dengan aneka persoalan. Agama mestinya membawa kedamaian justru menjadi sumber konflik yang tidak pernah selesai. Teman menjadi lawan terjadi saat mengetahui keyakinan berbeda. Situasi itu membuat banyak orang galau untuk apa beragama jika orang-orang saling berselisih. Semua kegaduhan itu sangat dirasakan oleh Paijo, Parman, dan Paimin.

         Pagi itu kebetulan tidak ada kegiatan sehingga mereka bertiga berziarah ke gua Maria tempat Bunda Maria ditahtakan sebagai sumber ketentreman. Mereka jalan kaki bersama menuju lereng Gunung Wonolali tempat Gua Maria itu dibangun. Dalam perjalanan mereka pun saling  bercanda ringan untuk menghilangkan rasa lelah selama perjalanan. Keringat jelas bercucuran, sekalipun mendung masih menyelimuti. Mereka bersyukur sebab cuaca mendung itu mereda kehausan selama di jalan. Mereka juga tidak membawa bekal apapun ke tempat itu, kecuali niat tulus untuk berdoa agar dirinya dan dunia menjadi tentram.

         Tiga jam mereka menempuh perjalanan hingga ke tempat peziarahan itu. Patung Maria terlihat tampak kecil di antara bukit-bukit, namun suasana tetap menghantarkan keheningan. Sesampai di situ, banyak orang telah hadir untuk berdoa. Sebagian orang bekerja untuk mempersiapkan acara misa sore. Mereka pun dengan siap sedia menyambut kehadiran kami bertiga dengan ramah, sekalipun kita belum saling mengenal. Keramahan penduduk setempat itu terpancar dari raut mukanya. Ketulusan hati itu menampilkan suasana damai sesuai semboyan tempat itu, Maria Sumber Katentreman.

         Setibanya  di tempat, mereka bertiga langsung mendatangi sumber mata air. Mereka  merasakan segarnya sumber air ini. Ini adalah sumber kehidupan bagi setiap orang yang belum tercemar dari aneka polusi dunia. Paijo, Paimin, dan Parman pun menyeburkan diri dalam aliran sumber mata air itu. Sentuhan kaki dengan air yang mengalir itu membawa pada kesejukan jiwa dan raga. Mereka bertiga duduk di tepi aliran sumber  air itu, seraya membiarkan ikan-ikan menggigit telapak telapak kaki. Ikan-ikan itu berebutan membersihkan kotoran yang menempel di kaki.

         Ahhhhh Geliii,” teriak Paijo saat kaki-kaki mulai dikerumuni ikan-ikan yang memakan kotoran kaki Paijo.

         Haaaaa, Jo Paijo dasar wong ndeso,” celetuk Paimin seraya sedikit mengejek.

         Suasana bahagia itu tiba-tiba muncul sekalipun awalnya dalam kepenatan. Namun kami bercanda dalam batas suara yang terjaga karena masih ada beberapa orang yang hadir ditempat itu. Mereka pun juga geli melihat tingkah laku kami bertiga. Setelah beradaptasi dengan kaki dikerumuni ikan, Paijo pun mulai merasakan kenyamanan. Paijo membiarkan kakinya dibersihkan oleh ikan-ikan itu seraya berdoa dalam hati. Paijo berpikir bahwa apa yang dianggap kotor oleh manusia, justru menjadi berkat bagi ikan-ikan. Ini menjadi pelajaran bahwa manusia tidak mungkin mau menerima kotoran orang lain. Situasi berisik di dunia ini terjadi karena orang selalu melempar kotoran. Manusia membuat polusi iman yang mengakibatkan kegaduhan. Di saat terjadi seperti ini, ikan-ikan itu memberikan pelajaran bagi manusia. Ikan-ikan itu membersihkan kotoran-kotoran itu. Manusia harusnya juga membersihkan kotoran rohani sehingga perselisihan antar keyakinan itu bisa diredam.

         Joooo, sudah belum,” seru Paimin yang selesai bercengkrama dengan ikan-ikan itu.

         Okkkk, siap” seru Paijo yang juga mengajak Paiman untuk bercengkrama di aliran air. Mereka pun berdoa sendiri-sendiri dan  siap-siap kembali.

         Suasana alam itu telah mengajarkan kepada setiap manusia. Alam telah memberikan kehidupan kepada manusia tanpa minta balas budi. Namun manusia sering kali merusak sang sumber kehidupan itu. Bunda Maria ditempatkan di situ sebagai peringatan bagi manusia agar tetap menjaga alam itu dengan baik. Alam akan memberikan kedamaian seperti Bunda Maria yang selalu hadir dalam kedamaian bagi orang yang datang kepadanya. Sang Bunda akan ikut melindungi umatnya yang berdoa kepada putraNya.

         Joooo, Paijo. Saya sangat senang tinggal di tempat ini. Rasanya jauh dari polusi kehidupan. Orang-orang disini sangat ramah dan menyambut kita dengan penuh kedamaian,” seru Parman.

         Iya, saya setuju. Alam itu memberikan pelajaran kepada kita. Air sang sumber kehidupan mengalir tanpa henti dan ikan-ikan itu membersihkan kaki-kaki kita. Semua itu adalah contoh kehidupan yang serasi,” seru Paijo.

         Betul Jo, Paijo. Kedamaian itu terjadi ketika kita siap memberikan diri kepada orang lain. Air memberikan diri kepada makhluk hidup dan ikan memberikan diri untuk membersihkan kotoran kaki kita. Semua itu sumber kedamaian, yakni saling memberikan diri,” seru Parman.

         Percakapan itu dilakukan seraya jalan pulang. Tenaga sudah mulai terkuras dan perut pun mulai minta perhatian. Suara perut terdengar silih berganti pertanda kosongnya isi perut mereka. Perjalanan masih cukup lumayan panjang sehingga mereka harus beristirahat di tempat yang kosong. Beberapa waktu setelah mereka beristirahat terlihat seorang bapak tua membawa arit menuju ke kebunnya.

         Nakkkk, mampir di sini,” seru bapak tua yang tidak dikenal itu.

         Terima kasih pak,” seru mereka serempak dengan suara yang sudah tersenggal-senggal.

         Sebentar ya nakkkk,” seru bapak itu.

         Tidak selang lama bapak itu kembali dengan membawakan tiga kelapa muda.

         Wowwww,” seru kami serentak.

         Nakkkkk, mari diminum. Ini bisa sebagai pelepas dahaga,” kata bapak itu.

         Tanpa menunda waktu kelapa muda itu menjadi santapan untuk memenuhi kebutuhan tubuh yang mulai layu. Herannya setelah kami selesai minum, bapak itu sudah tidak kelihatan lagi jadi kami pun tidak sempat berterima kasih.

         Wahhhh, bapaknya sudah tidak ada,” seru Parman

         Terima kasih ya pak,” seru serempak seraya meninggalkan tempat itu dengan kesegaran baru.

         Luar biasa, penduduk itu menerapkan spiritualitas saling memberi sekalipun mereka tidak mengenal,” seru Paijo

         Jooooo, Paijo, teladanlah hidup penduduk dan bapak itu agar dunia damai. Mereka memberikan kedamaian sekalipun kecil,” seru Paijo dalam hati sambil meneruskan perjalanan pulang.   

Penulis: RD Nikasius Jatmiko | Editor: Bernadus Wijayaka

 

Leave a Reply

Top